Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang
segala gejala yang dengan berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara
berada di dunia. Cara berada manusai di dunia berbeda dengan cara berada
makhluk-makhluk lain. Benda mati dan hewan tidak menyadari keberadaannya, tapi
manusia sadar bahwa di aberada di dunia. Manusia sadar bahwa ia bereksistensi.
Itulah sebabnya, segalanya mempunyai arti sejauh berkaitan dengan manusia.
Dengan kata lain, manusia memberi arti kepada segalanya. Manusia menentukan
perbuatannya sendiri. Ia memahami diri sebagai pribadi yang bereksistensi.
Jadi, eksistensi berpandangan bahwa pada manusia
eksistensi mendahului esensi (hakekat), sebaliknya pada benda-benda lain esensi
mendahului eksistensi. Manusia berada lalu menentukan diri sendiri menurut
proyeksinya sendiri. Hidupnya tidak di tentukan lebih dulu. Sebaliknya
benda-benda lain bertindak menurut esensi atau kodrat yang mamang tidak dapat
dielakkan.
Tokoh-tokoh terpenting eksistensialisme adalah Martin
Heidegger (1883-1976), Jean Paul Sartre (1905-1980), Karl Jaspers (1883-1969)
dan Gabriel Marcel (1889-1973), Soren Kiergaard (1813-1855), Friedrich
Nietzzche (1844-1900), Nicholas Alexandrovitch Berdyaev (1874-1948) juga sering
dimaksudkan kedalam kelompok filsuf-filsuf eksistensialis.
Patut dicatat bahwa sebetulnya diantara para filsuf
eksistensialis terdapat perbedaan. Sebagian mereka bahkan tidak mau
dikelompokkan sebagai para filsuf eksistensialis. Akan tetapi mereka semua
mempunyai kesamaan padangan bahwa filsafat harus bertitik tolak pada manusia
konkret, manusia yang bereksistensi. Dalam kaitan denan ini mereka berpendapat
pada manusia eksistensi mendahului esensi.
Sebagian filsuf eksistensialisme adalah atheis,
seperti Jean-Paul Sartre, tetapai tetap ada juga yang mengakui Allah, seperti
Gabriel Marcel. Jean-Paul Sartre adalah satu-satunya filsuf kontemporer yang
menenpatkan kebebasan pada titik yang sangat ekstrim. Dia berpendapat bahwa
manusia itu bebas atau sama sekali tidak bebas. Tentang kebebasan, Sarte
mengatakan :”manusia bebas, manusia adalah kebebasan”. Dalam sejarah filsafat
tidak pernah ada ungkapan begitu ekstrim tentang kebabasan. Sarte tidak
memandang kebebasan sebagi salah satu ciri manusia, tapi menganggap manusia
sebagai kebebasan.
Konsep kebebasan ini membawa Sartre kepada penolakan
adanya Allah. Menurut Sartre, jika ada Allah maka manusia tidaka akan bebas
lagi, sebab Allah sudah menentukan esensi manusia. Pisau yang dibuat tukang,
kata Sartre sudah ada dalam konsep tukang yang membuatnya sebelum pisau itu
hadir dalam bentuk tertentu. Dalam pikirannya, tukang pisau sudah memikirkan
bahwa pisau ituterbuat dari baja atau besi, tajam, berujung runcing, diberi
gagang tanduk rusa, digunakan untuk memeotong daging atau mencukur rambut, dan
ciri-ciri lainnya. Itulah esensi pisau yang sudah ada di kepala tukang sebelum pisau itu betul-betul hadir
dalam wujud tertentu.
Kalau ada Allah, kara Sartre maka Allah pasti sudah
mngetahui esensi manusia, itu berarti manusia tidak bebas lagi, manusia akan
melakukan apa yang sudah ditentukan oleh Allah itu. Tapi ibni tidak mungkin
sebab pada manusia eksistensi mendahului esensi, sebab itu tidak ada Allah.
Menurut Sartre manusia tidak memiliki kodrat. Ia ada
begitu saja, baru sesudahnya ia membuat kodratnya sendiri. Mengapa? Karena
memnag tidak ada Allah yang mengkonsepkan itu.
Menusia tidak memiliki kewajiban terhadap suatu yang
lain, kecuali dirinya sendiri. Seandainya Allah ada, manusia kehilangan kodrat
manusianya. Maka mustahil bagi Allah dan manusia ada berdampingan. Manusia yang
hanya merupakan alat tangan di tangan Allah, kata Sartre, bukan manusia bebas.
Dalam bukunya Exixtentialism and Humanism Sarte
memberikan tanggapan kepda orang-orang yang mengatakan bahwa eksistensialisme
adalah ateisme. Sartre mengatakan bahwa eksistensialisme sama sekali bukan
ateisme ytang menolak adanya Allah. Seandainya Allah itu ada, itu sama sekali
tidak akan mengubah apa-apa. Kata Sartre.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar