Aliran-aliran
Filsafat India
Ada banyak aliran filsafat yang
muncul di India. Namun hanya beberapa aliran yang terpenting yang akan dijelsakan yakni:
Carvaka, Jainisme, Budhisme, Nyaya, dan Veisesika, Sankhya dan Yoga, Purva
Mimamsa, Uttara Mimamsa, Pasupata, Sakta dan Pancarata.
1. Carvaka
Carvaka
didirikan oleh Brhaspati, cirinya; materialistis hedonistis. Aliran ini tidak
menerima kehidupan sesudah kematian. Alasannya, kehidupan diakhirat tidak dapat
diverivikasi, apalagi belum ada seorangpun yang menyaksikannya. Jadi, aliran
ini hanya mengakui eksistensi duniaw, dan menolak kebakaan jiwa.
Etika
aliran ini bersifat hedonistis. Menurut aliran ini, menusia boleh melakukan apa
saja, karena tidak ada hukum yang mengikat. Jadi, mereka menolak konsep hukum
karma dan kelahiran kembali yang terdapat pada system filsafat India yang lain.
Dalam kamastura disebut dengan bahasa yang lebih halus “sejauh hukum moral
mengenai sesuatu, sejauh itu pula harus kita taati, jika bukan demi kebahagiaan
hidup mendatang, sekurang-klurangnya untuk membuat hidup masa kini mudah dan
terhormat’
Carvaka
mengajarkan bahwa satu-satunya realitas adalah materi, yang terdiri dari empat
unsur yakni tanah, air, udara dan api. Aliran ini hanya menerima pengetahuan
berdasarkan persepsi langsung. Mereka menolak induiksi dan deduksi. Mreka
menolak deduksi karena menurut mereka, kebenaran sudah terkandung dalam
premisnya. Mereka juga menolak kesaksian verbal karena potensial terhadap
misinterprestasi penyimpangan dan kebohongan.
2. Jainisme
Filsafat
jainisme menolak seluruh otoritas Veda. Setiap pendapat adalh sah. Bukan bearti
mereka tidak mengakui adanya kontradiksi-kontradiksi, tetapi mereka melihat
adanya kompleksitas realitas.
Perpedaan
pendapat terjadi karena perbedaan titik tolak yang digunakan orang, atau
keterbatasan penemuan pada satu aspek realitas saja. Oleh sebab itu jainisme
berpendapat bahwa tidak mungkin ada pengetahuan absolut. Penegtahuan dinyatakan
sah hanya dalam hubungannya dengan titik tolak yang digunakan. Oleh sebab itu
pedekatan yang benar adalah menerima keabsahan sebagai suatu yang relative.
Jainisme meneganal tujuh titik tolak dalam memandang realitas, yakni : Ada,
Tiada, Tak dapat dilukiskan, Ada dan tak dapat dilukiskan, Tiada dan tak dapat
dilukiskan, Ada dan tiada, Ada, tiada dan tidak dapat dilukiskan. Adapun lima
macam pengetahunnya yakni:
a. Mati (pengetahuan
sehari-hari), meliputi ingatan, pemahaman dan induksi.
b. Sruti, pengetahuan
yang diturunkan dari tanda-tanda, symbol, kata.
c. Awadhi, pengetahuan
langsung atas benda-benda
d. Manahparyaya, pengetahuan
alngsung akan apa yang ipikirkan orang
e. Kevala: pengetahuan
sempurna
Menurut
jainisme, hakikat diri atau jiwa adalah kesadaran. Tujuan tertinggi adalah
relasi kondisi murninya. Tapi ini bisa dicapai dengan disiplin rohani yang
keras, memutuskan hubungan dengan dunia, yang merupakan partikel-partikel yang
mengelilingi jiwa.
Jiwa
memiliki keutamaan-keutamaan, yaitu ahimsa (tanpa kekerasan), menghargai hidup,
harta dan benda, bicara yang benar, tidak mencuri, kemurnian dan ketidaklekatan
pada hal-hal duniawi.
Substansi
adalah penggabungan atom-atom yang tidak berukuran, dalm formasi yang
berbeda-beda. Atom-atom tersebut masing-masing telah memiliki prinsip
penginderaan (sentuhan, pengecap dan penciuman) dan warna. Dua atom dapat
bergabung jika ada perbedaan dalam kelembaban . ajaran tentang kontak atom ini
merupakan ajaran yang esensial (dalam Budhisme tidak dikenal)
3. Budhisme
Budhisme
didirikan oleh Sidharta Gautama, ia berasal dari keluarga Shakya, lahir sekitar
tahun 558 dan meninggal tahun 478 SM. Kitab suci Budhisme adalah Tripitaka.
Salah satu ciri khas Budhisme adalah pesimisme, inti ajarannya adalah suatu
yang ril oleh sebab itu manusia harus berusaha melepaskan diri dari
kesengsaraan. Tapi bukan berati Budhisme mengajarkan keputusasaan. Budha
mengajarkan empat kebenaran utama (empat aryasatyani) yakni:
a. Hidup
adalah sengsara (dukha)
b.
Penderitaan itu timbul
karena keinginan (samudaya). Keinginan mencoba menggapai suatu hal dalam aliran
air, seolah-olah itu merupakan suatu
substansi. Bila kita tidak berusaha memperoleh sesuatu, tapi
menyangkalnya, maka kita tidak akan merasa sedih atau kecewa dalam proses
menjadi yang abadi. Bukan dunia tapi kita sendiri menjadi sebab dari
penderitaan, karena kepalsuan sikap kita terhadap dunia.
c.
Penderitaan dapat
diakhiri dan dicapi nirvana di masa segala aliran kehidupan berakhir. Nirvana
buka sorga, bukan pula keadaan keamanan kita masuk. Nirvana dicapi dengan
menghentikan semua keinginan. Sehingga tidak ada proses baru lagi. Nirvana
hanya dapat dilukiskan secra negative.
d.
hal ini hanya dapat
terlaksana dengan perbuatan-perbuatan disiplin (marga), yang berpuncak pada
konsentrasi dan meditasi. Jalan mencapai pembebasan ini ditunjukan budha dalam
bentuk Delapan Jalan Pembebasan Manusia.
Ada
tingkat penderitaan, yakni 1) penderitaan yang berkaitan dengan proses
kehidupan (terutama kelahiran, sakit, usia, tua, mati). 2) penderitaan sebgai
akibat dari kesadaraan akan adanya kesenjangan dan distansi antara apa yang
kita inginkan dan apa yang diperoleh, serta kesadaraan akan kesementraan dan 3)
penderitaan sebgai akibat dari kondisi kemanusiaan.
Semuanya
ini mendorong Budha untuk bertanya apakah “diri” manusia yang menderita itu?
Jawabanya adalah “ego” tidak ada. Tidak ada “aku” yang menderita. Hanya ada
keseluruhan kompleks yang disebut manusia, yang berada pada perubahan
terus-menerus. Budhisme berbicara tentang anatta (bukan aku).
4.
Nyaya dan Veisesika
Kedua
aliran ini memandang realitas dengan pandangan yang plurataris. Mereka sangat
mirip, dan sebab itu biasanya dibicarakan secara bersamaan. Nyaya dan Veiseka
megajarkan tentang tujuh kategori, yakni:
a.
Substansi. Ada Sembilan
substansi yakni tanah, air, api, udara, eter, waktu, ruang, jiwa dan kesadaran
b.
Kualitas
c.
Aktivitas
d.
Universal
e.
Particular
f.
Inheren
g.
Negasi
Tanah,
air, udara, dan api bukan saja bersifat keras, lunak, lembut, dan sebagainya,
tapi merupakan sebab khusus dari kelengkapan bau, rasa, warna, sentuhan, dan
suara. Nyaya dan veiseka mengajarkan
bahwa keselamatan berarti kembali pada keadaan tidak sadar dari atman (jiwa),
lepas dari kontak dengan dunia dan kembali pada eksistensi buta, tidak sadar,
kekosongan dari sengsara, dan bukan kosong dari kebahagian dan kesenangan.
5.
Sankhya dan Yoga
Perbedaan
Sankhya dan Yoga adalah bahwa Sankhya menolak Tuhan (sekurang-kurangnya
menganggap Tuhan ini tidak relevan), sebaliknya Yoga menerimanya. Selebihnya,
kedua aliran ini mempunyai kesamaan pandangan filosofis.
Yoga
(dengan sitem filsafat Yogusutra dan Pantajali), membuat problem penting
terhadap konsep Sankhya. Yoga menerima adanaya unsur Parusa dan Prakti seperti
yang diajarkan Sankhya. Tapi yoga menganggap perlu memperkenalkan penyembahan
kepada Tuhan dalam pencarian Kesempurnaan.
Menurut
Yoga, Tuhan (Isvara) adalah tipe khusus dari jiwa, tidak tersentuh oleh
penderitaan, karma atau hasil perbutan dan kesan-kesan. Tuhan adalah guru dan
tidak terbatas pada waktu. Tuhan dianggap sebgai roh Maha Mulia dan Yang Maha
Sempurna, dan sebab itu menjadi subjek penyembahan.
6.
Purva Mimamsa
Purva
mimamsa didirikan oleh Jimini. Pada mulanya Mimamsa bukan merupakan system
filsafat, melaikan usaha untuk menjelaskan hakikat umum, peraturan atau
kewajiban (drahma), yang menurut system ini terdiri atas ketaatan terhadap
perintah Veda dan larangan-larangannya.
Veda mengajarkan orang untuk berkurban demi kebahagian di dunia dan
diakhirat. Lalu mimamsa bertanya : bagaimana mungkin kurban bisa mendatangkan
kebahaguian? Ini akhirnya membawa kepada hakikat diri, Tuhan dan perbuatan
(karma).
Hakikat
diri adalah kesadaran, bukan kebahagiaan. Upacara kurban dianggap sebagai
sarana untuk mencapai keselamatan. Karma (perbutan, termasuk penyelenggaraan
kurban) merupakan daya yang tidak kelihatan, apurva, umum yang membawa orang
kepada keselamatan.
Konsep Tuhan justru berasal dari konsep
tentang karma sebagai penjamin keselamatan. Tuhan dianggap sebagai penjaga
prinsip karma. Tuhan adalah prinsip karma, hukum atau peraturan, yang isinya
termuat dalam Veda. Tekanan pada Veda ini terpusat pada bagian pertama Veda,
yakni mantra-mantra dan Brahmana. Inilah yang membedakannya dari Uttra Mimamsa.
Purva Mimmamsa membedakan diri pada Veda, sebaliknya uttara Mimamsa mendasarkan
diri pada Upanishad.
7.
Uttra Mimamsa (Vedanta)
Ada
banyak sitem Vedanta, dan bersifat realis, idealis, monistis, atau pluralis.
Tiga system yang terkenal adalah Sankara, Ramnuja, dan Madhava. Semuanya
menmerima Brahmana sebagai realitas tertinggi. Barahman harus direalisasi
sebagai jiwanya sendiri, yaitu absolut dalam diri kita. Usaha ini dilakukan
dengan orientasi kedalam.
a.
Sankara: adalah system
nodualitas. Menurut Sankara, Atman sama dengan Brahman, yakni esensi
subyektivitas yang bersatu dengan esensi dunia. Dunia seluruhnya tergantung
pada Brahman, tapi Brahman tidak tergantung pada dunia.
Brahman
adalah dasar seluruh pengalaman, ia tidak sama dengan dunia, tidak berbeda
dengan dunia, tidak empiris, tidak obyektif, bukan tidak ada, sangat berbeda
dengan yang lain. Moksa atau pemebebasan diri dicapai dengan praktik devosi dan
mewujudkan nilai-nilai etis. Ini dicapai selama orang hidup di dunia.
b.
Ramanuja: menekankan
perbedaan dalam nondualisme Sankara. Dunia diri. Tuhan (Brahman) itu riil, tapi
duni dan diri tergantung pada Brahman. Diri memiliki eksistensi abadi. Dunia
atau materi, diri dan Tuhan membentuk satu kesatuan, tapi diri dan dunia hanya
sebagai tubuh Brahman. diluar tidak ada apa-apa. Itulah sebabnya teori Ramanuja
disebut nondualisme dengan perbedaan, yaitu satu Brahman memiliki dua bentuk:
diri dan meteri.
Keselamatan
bukan penghayatan diri dalam Brahman, melaikan pembebasan diri dari
hambatan-hambatan. Setinggi apapun manusia merealisasikan diri, Tuahn masih
lebih tinggi. Manusia harus selalu menghormati Tuhan. Itulah sebabnya, Ramanuja
menekankan aspek kebaktian kepada Tuhan.
c.
Madhava: bersifat
dualistis. Dunia, diri, dan Brahman merupaqkan eksistensi abadi, tapi dunia dan
diri itu tergantung pada Brahman. Brahman memiliki segala kesempurnaan dan
digambarkan sebgai Vinsu. Aliran ini mengajarkan bahwa individu dan alam adalah
realitas indevenden.
d.
Pasputa, Sakta dan
Pancaratra: ketiganya merupakan sekte yang berlawanan dengan Veda. Dalam system
pancaratra, Visnu sama dengan Brahman, tapi atribut-atributnya tak dapat
menampakan diri tanpa Sakti yang dinamakan Laksmi. Sakti ini memiliki dua aspek
yaitu aktivitas dan menjadi (activity and
becoming).
Bila
Sakti itu aktif, keenam Visnu memanisfestasikan diri dalam pengetahuan,
ke-Tuahanan, kemampuan, kekuatan, keperkasaan dan kemuliaan. Dalam system
Pasupata (Saiva), saiva sama dengan Brahman dalam Upanishad. Hakikatnya adalah “Aku murni”, tanpa atribut, tanpa keterangan,
kesadaran murni.
Sumber,
Massofa. 2011. Buku Pengantar Filsafat. Diperoleh
dari https://massofa.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar