Jumat, 23 Desember 2016

Aliran-aliran Filsafat India

Aliran-aliran Filsafat India
Ada banyak aliran filsafat yang muncul di India. Namun hanya beberapa aliran yang  terpenting yang akan dijelsakan yakni: Carvaka, Jainisme, Budhisme, Nyaya, dan Veisesika, Sankhya dan Yoga, Purva Mimamsa, Uttara Mimamsa, Pasupata, Sakta dan Pancarata.
1.      Carvaka
Carvaka didirikan oleh Brhaspati, cirinya; materialistis hedonistis. Aliran ini tidak menerima kehidupan sesudah kematian. Alasannya, kehidupan diakhirat tidak dapat diverivikasi, apalagi belum ada seorangpun yang menyaksikannya. Jadi, aliran ini hanya mengakui eksistensi duniaw, dan menolak kebakaan jiwa.
Etika aliran ini bersifat hedonistis. Menurut aliran ini, menusia boleh melakukan apa saja, karena tidak ada hukum yang mengikat. Jadi, mereka menolak konsep hukum karma dan kelahiran kembali yang terdapat pada system filsafat India yang lain. Dalam kamastura disebut dengan bahasa yang lebih halus “sejauh hukum moral mengenai sesuatu, sejauh itu pula harus kita taati, jika bukan demi kebahagiaan hidup mendatang, sekurang-klurangnya untuk membuat hidup masa kini mudah dan terhormat’
Carvaka mengajarkan bahwa satu-satunya realitas adalah materi, yang terdiri dari empat unsur yakni tanah, air, udara dan api. Aliran ini hanya menerima pengetahuan berdasarkan persepsi langsung. Mereka menolak induiksi dan deduksi. Mreka menolak deduksi karena menurut mereka, kebenaran sudah terkandung dalam premisnya. Mereka juga menolak kesaksian verbal karena potensial terhadap misinterprestasi penyimpangan dan kebohongan.
2.      Jainisme
Filsafat jainisme menolak seluruh otoritas Veda. Setiap pendapat adalh sah. Bukan bearti mereka tidak mengakui adanya kontradiksi-kontradiksi, tetapi mereka melihat adanya kompleksitas realitas.
Perpedaan pendapat terjadi karena perbedaan titik tolak yang digunakan orang, atau keterbatasan penemuan pada satu aspek realitas saja. Oleh sebab itu jainisme berpendapat bahwa tidak mungkin ada pengetahuan absolut. Penegtahuan dinyatakan sah hanya dalam hubungannya dengan titik tolak yang digunakan. Oleh sebab itu pedekatan yang benar adalah menerima keabsahan sebagai suatu yang relative. Jainisme meneganal tujuh titik tolak dalam memandang realitas, yakni : Ada, Tiada, Tak dapat dilukiskan, Ada dan tak dapat dilukiskan, Tiada dan tak dapat dilukiskan, Ada dan tiada, Ada, tiada dan tidak dapat dilukiskan. Adapun lima macam pengetahunnya yakni:
a.       Mati (pengetahuan sehari-hari), meliputi ingatan, pemahaman dan induksi.
b.      Sruti, pengetahuan yang diturunkan dari tanda-tanda, symbol, kata.
c.       Awadhi, pengetahuan langsung atas benda-benda
d.      Manahparyaya, pengetahuan alngsung akan apa yang ipikirkan orang
e.       Kevala: pengetahuan sempurna
Menurut jainisme, hakikat diri atau jiwa adalah kesadaran. Tujuan tertinggi adalah relasi kondisi murninya. Tapi ini bisa dicapai dengan disiplin rohani yang keras, memutuskan hubungan dengan dunia, yang merupakan partikel-partikel yang mengelilingi jiwa.
Jiwa memiliki keutamaan-keutamaan, yaitu ahimsa (tanpa kekerasan), menghargai hidup, harta dan benda, bicara yang benar, tidak mencuri, kemurnian dan ketidaklekatan pada hal-hal duniawi.
Substansi adalah penggabungan atom-atom yang tidak berukuran, dalm formasi yang berbeda-beda. Atom-atom tersebut masing-masing telah memiliki prinsip penginderaan (sentuhan, pengecap dan penciuman) dan warna. Dua atom dapat bergabung jika ada perbedaan dalam kelembaban . ajaran tentang kontak atom ini merupakan ajaran yang esensial (dalam Budhisme tidak dikenal)
3.      Budhisme
Budhisme didirikan oleh Sidharta Gautama, ia berasal dari keluarga Shakya, lahir sekitar tahun 558 dan meninggal tahun 478 SM. Kitab suci Budhisme adalah Tripitaka. Salah satu ciri khas Budhisme adalah pesimisme, inti ajarannya adalah suatu yang ril oleh sebab itu manusia harus berusaha melepaskan diri dari kesengsaraan. Tapi bukan berati Budhisme mengajarkan keputusasaan. Budha mengajarkan empat kebenaran utama (empat aryasatyani) yakni:
a.       Hidup adalah sengsara (dukha)
b.   Penderitaan itu timbul karena keinginan (samudaya). Keinginan mencoba menggapai suatu hal dalam aliran air, seolah-olah itu merupakan suatu  substansi. Bila kita tidak berusaha memperoleh sesuatu, tapi menyangkalnya, maka kita tidak akan merasa sedih atau kecewa dalam proses menjadi yang abadi. Bukan dunia tapi kita sendiri menjadi sebab dari penderitaan, karena kepalsuan sikap kita terhadap dunia.
c.    Penderitaan dapat diakhiri dan dicapi nirvana di masa segala aliran kehidupan berakhir. Nirvana buka sorga, bukan pula keadaan keamanan kita masuk. Nirvana dicapi dengan menghentikan semua keinginan. Sehingga tidak ada proses baru lagi. Nirvana hanya dapat dilukiskan secra negative.
d.   hal ini hanya dapat terlaksana dengan perbuatan-perbuatan disiplin (marga), yang berpuncak pada konsentrasi dan meditasi. Jalan mencapai pembebasan ini ditunjukan budha dalam bentuk Delapan Jalan Pembebasan Manusia.
Ada tingkat penderitaan, yakni 1) penderitaan yang berkaitan dengan proses kehidupan (terutama kelahiran, sakit, usia, tua, mati). 2) penderitaan sebgai akibat dari kesadaraan akan adanya kesenjangan dan distansi antara apa yang kita inginkan dan apa yang diperoleh, serta kesadaraan akan kesementraan dan 3) penderitaan sebgai akibat dari kondisi kemanusiaan.
Semuanya ini mendorong Budha untuk bertanya apakah “diri” manusia yang menderita itu? Jawabanya adalah “ego” tidak ada. Tidak ada “aku” yang menderita. Hanya ada keseluruhan kompleks yang disebut manusia, yang berada pada perubahan terus-menerus. Budhisme berbicara tentang anatta (bukan aku).
4.      Nyaya dan Veisesika
Kedua aliran ini memandang realitas dengan pandangan yang plurataris. Mereka sangat mirip, dan sebab itu biasanya dibicarakan secara bersamaan. Nyaya dan Veiseka megajarkan tentang tujuh kategori, yakni:
a.    Substansi. Ada Sembilan substansi yakni tanah, air, api, udara, eter, waktu, ruang, jiwa dan kesadaran
b.   Kualitas
c.    Aktivitas
d.   Universal
e.    Particular
f.    Inheren
g.   Negasi
         Tanah, air, udara, dan api bukan saja bersifat keras, lunak, lembut, dan sebagainya, tapi merupakan sebab khusus dari kelengkapan bau, rasa, warna, sentuhan, dan suara. Nyaya dan  veiseka mengajarkan bahwa keselamatan berarti kembali pada keadaan tidak sadar dari atman (jiwa), lepas dari kontak dengan dunia dan kembali pada eksistensi buta, tidak sadar, kekosongan dari sengsara, dan bukan kosong dari kebahagian dan kesenangan.
5.      Sankhya dan Yoga
Perbedaan Sankhya dan Yoga adalah bahwa Sankhya menolak Tuhan (sekurang-kurangnya menganggap Tuhan ini tidak relevan), sebaliknya Yoga menerimanya. Selebihnya, kedua aliran ini mempunyai kesamaan pandangan filosofis.
Yoga (dengan sitem filsafat Yogusutra dan Pantajali), membuat problem penting terhadap konsep Sankhya. Yoga menerima adanaya unsur Parusa dan Prakti seperti yang diajarkan Sankhya. Tapi yoga menganggap perlu memperkenalkan penyembahan kepada Tuhan dalam pencarian Kesempurnaan.
Menurut Yoga, Tuhan (Isvara) adalah tipe khusus dari jiwa, tidak tersentuh oleh penderitaan, karma atau hasil perbutan dan kesan-kesan. Tuhan adalah guru dan tidak terbatas pada waktu. Tuhan dianggap sebgai roh Maha Mulia dan Yang Maha Sempurna, dan sebab itu menjadi subjek penyembahan.
6.      Purva Mimamsa
Purva mimamsa didirikan oleh Jimini. Pada mulanya Mimamsa bukan merupakan system filsafat, melaikan usaha untuk menjelaskan hakikat umum, peraturan atau kewajiban (drahma), yang menurut system ini terdiri atas ketaatan terhadap perintah Veda dan larangan-larangannya.  Veda mengajarkan orang untuk berkurban demi kebahagian di dunia dan diakhirat. Lalu mimamsa bertanya : bagaimana mungkin kurban bisa mendatangkan kebahaguian? Ini akhirnya membawa kepada hakikat diri, Tuhan dan perbuatan (karma).
Hakikat diri adalah kesadaran, bukan kebahagiaan. Upacara kurban dianggap sebagai sarana untuk mencapai keselamatan. Karma (perbutan, termasuk penyelenggaraan kurban) merupakan daya yang tidak kelihatan, apurva, umum yang membawa orang kepada keselamatan.
 Konsep Tuhan justru berasal dari konsep tentang karma sebagai penjamin keselamatan. Tuhan dianggap sebagai penjaga prinsip karma. Tuhan adalah prinsip karma, hukum atau peraturan, yang isinya termuat dalam Veda. Tekanan pada Veda ini terpusat pada bagian pertama Veda, yakni mantra-mantra dan Brahmana. Inilah yang membedakannya dari Uttra Mimamsa. Purva Mimmamsa membedakan diri pada Veda, sebaliknya uttara Mimamsa mendasarkan diri pada Upanishad.
7.      Uttra Mimamsa (Vedanta)
Ada banyak sitem Vedanta, dan bersifat realis, idealis, monistis, atau pluralis. Tiga system yang terkenal adalah Sankara, Ramnuja, dan Madhava. Semuanya menmerima Brahmana sebagai realitas tertinggi. Barahman harus direalisasi sebagai jiwanya sendiri, yaitu absolut dalam diri kita. Usaha ini dilakukan dengan orientasi kedalam.
a.    Sankara: adalah system nodualitas. Menurut Sankara, Atman sama dengan Brahman, yakni esensi subyektivitas yang bersatu dengan esensi dunia. Dunia seluruhnya tergantung pada Brahman, tapi Brahman tidak tergantung pada dunia.
Brahman adalah dasar seluruh pengalaman, ia tidak sama dengan dunia, tidak berbeda dengan dunia, tidak empiris, tidak obyektif, bukan tidak ada, sangat berbeda dengan yang lain. Moksa atau pemebebasan diri dicapai dengan praktik devosi dan mewujudkan nilai-nilai etis. Ini dicapai selama orang hidup di dunia.
b.   Ramanuja: menekankan perbedaan dalam nondualisme Sankara. Dunia diri. Tuhan (Brahman) itu riil, tapi duni dan diri tergantung pada Brahman. Diri memiliki eksistensi abadi. Dunia atau materi, diri dan Tuhan membentuk satu kesatuan, tapi diri dan dunia hanya sebagai tubuh Brahman. diluar tidak ada apa-apa. Itulah sebabnya teori Ramanuja disebut nondualisme dengan perbedaan, yaitu satu Brahman memiliki dua bentuk: diri dan meteri.
Keselamatan bukan penghayatan diri dalam Brahman, melaikan pembebasan diri dari hambatan-hambatan. Setinggi apapun manusia merealisasikan diri, Tuahn masih lebih tinggi. Manusia harus selalu menghormati Tuhan. Itulah sebabnya, Ramanuja menekankan aspek kebaktian kepada Tuhan.
c.    Madhava: bersifat dualistis. Dunia, diri, dan Brahman merupaqkan eksistensi abadi, tapi dunia dan diri itu tergantung pada Brahman. Brahman memiliki segala kesempurnaan dan digambarkan sebgai Vinsu. Aliran ini mengajarkan bahwa individu dan alam adalah realitas indevenden.
d.   Pasputa, Sakta dan Pancaratra: ketiganya merupakan sekte yang berlawanan dengan Veda. Dalam system pancaratra, Visnu sama dengan Brahman, tapi atribut-atributnya tak dapat menampakan diri tanpa Sakti yang dinamakan Laksmi. Sakti ini memiliki dua aspek yaitu aktivitas dan menjadi (activity and becoming).
Bila Sakti itu aktif, keenam Visnu memanisfestasikan diri dalam pengetahuan, ke-Tuahanan, kemampuan, kekuatan, keperkasaan dan kemuliaan. Dalam system Pasupata (Saiva), saiva sama dengan Brahman dalam Upanishad. Hakikatnya adalah  “Aku murni”, tanpa atribut, tanpa keterangan, kesadaran murni.
Sumber,
Massofa. 2011. Buku Pengantar Filsafat. Diperoleh dari  https://massofa.wordpress.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar