Filsafat bahasa (Analitik)
Perhatian
filosof terhadap bahasa semakin besar. Mereka sadar bahwa dalam kenyataannya
banyak persoalan-persoalan filsafat, konsep-konsep filosofis akan menjadi jelas
dengan menggunakan analisis bahasa. Tokoh-tokoh filsafat analitika bahasa hadir
dengan terapi analitika bahasanya untuk mengatasi kelemahan kekaburan,
kekacauan yang selama ini ada dalam berbagai macam konsep filosofis. Secara
etimologi kata analitik berarti investigative, logis, mendalam, sistematis,
tajam dan tersusun.
Adapun
menurut Rudolph Carnap, filsafat analitik adalah pengungkapan secara sistematik
tentang syntax logis (struktur gramatikal dan aturan-aturannya) dari
konsep-konsep dan bahasa khususnya bahasa ilmu yang semata-mata formal. Didalam
kamus populer filsafat, filsafat analitik adalah aliran dalam filsafat yang
berpangkal pada lingkaran Wina. filsafat analitik menolak setiap bentuk
filsafat yang berbau metafisik. Juga ingin menyerupai ilmu-ilmu alam yang
empirik, sehingga kriteria yang berlaku dalam ilmu elsakta juga harus dapat
diterapkan pada filsafat (misalnya harus dapat dibuktikan dengan nyata,
istilah-istilah yang dipakai harus berarti tunggal, jadi menolak kemungkinan
adanya analogi).
Filsafat
analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di Inggris dan
Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba
menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan,
atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis
dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan. Yang
pokok bagi filsafat analitik adalah pembentukan definisi baik yang linguistik
atau nonlinguistik nyata atau yang konstektual. Filsafat analitik sendiri,
secara umum, hendak mengklarifikasi makna dari penyataan dan konsep dengan
menggunakan analisis bahasa.
Bilamana
dikaji perkembangan filsafat setidaknya terdapat empat fase perkembangan
pemikiran filsafat, sejak munculnya pemikiran yang pertama sampai dewasa ini,
yang menghiasi panggung sejarah umat manusia. Pertama, yaitu fase
pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana
filsafat, yaitu yang terjadi pada zaman kuno. kedua, yaitu fase
pemikiran filsafat yang meletakkan Tuhan sebagai pusat pembahasan filsafat,
yang berkembang pada zaman abad pertengahan. Ketiga, antroposentris yaitu
fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia sebagai objek wacana filsafat,
hal ini terjadi dan berkembang pada zaman modern. Keempat, logosentris yaitu
fase perkembangan pemikiran filsafat yang meletakkan bahasa sebagai pusat
perhatian pemikiran filsafat dan hal ini berkembang setelah abad modern sampai
sekarang. Fase perkembangan terakhir ini ditandai dengan aksentuasi filosof
pada bahasa yang disadarinya bahwa bahasa merupakan wahana pengungkapan
peradaban manusia yang sangat kompleks itu.
Perhatian
filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman
Pra Sokrates, yaitu ketika Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu
termasuk alam semesta. Bahkan Aristoteles menyebutnya sebagai “para fisiologis
kuno” atau ‘hoi arkhaioi physiologoi’. Seluruh minat herakleitos
terpusatkan pada dunia fenomenal. Ia tidak setuju bahwa di atas dunia fenomenal
ini, terdapat ‘dunia menjadi’ namun ada dunia yang lebih tinggi, dunia idea,
dunia kekal yang berisi ‘ada’ yang murni. Meskipun begitu ia tidak puas hanya
dengan fakta perubahan saja, ia mencari prinsip perubahan.
Menurut
Herakleitos, prinsip perubahan ini tidak dapat ditemukan dalam benda material. Petunjuk
ke arah tafsiran yang tepat terhadap tata kosmis bukanlah dunia material
melainkan dunia manusiawi, dan dalam dunia manusiawi ini kemampuan bicara
menduduki tempat yang sentral. Dalam pengertian inilah maka medium Herakleitos
bahwa “kata” (logos) bukan semata-mata gejala antropologi. Kata tidak hanya
mengandung kebenaran universal. Bahkan Herakleitos mengatakan “jangan dengar
aku”, “dengarlah pada sang kata dan akuilah bahwa semua benda itu satu”.
Demikian sehingga pemikiran yunani awal bergeser dari filsafat alam kepada
filsafat bahasa yang meletakkan sebagai objek kajian filsafat.
Filsafat
bahasa mulai berkembang pada abad ke XX dengan telaah analitik filosofik
Wittgenstein tentang bahasa. Noam Chomskylah yang pertama-tama mengangkat
bahasa sebagai disiplin linguistic. Grice dan Quinelah yang mengangkat meaning
sebagai intensionalitas si pembicara dan meaning dalam konteks kejadiannya.
Davidson lebih lanjut mengetengahkan tentang struktur semantik, untuk memahami
bahasa, termasuk unsur-unsurnya dan mengembangkan tentang interpretasi yang
dapat berbeda antara si pembicara dan yang dibicarakan. Frege lebih lanjut
mengembangkan konsep tentang referensi. Ekspresi bahasa bukan hanya
representasi of mine, tetapi juga mengandung referensi, yaitu hal-hal
yang relevan dengan pernyataan yang ditampilkan.
Filsafat
abad modern memberikan dasar-dasar yang kokoh terhadap timbulnya filsafat
analitika bahasa. Peranan rasio, indra, dan intuisi manusia sangat menentukan
dalam pengenalan pengetahuan manusia. Oleh karena itu aliran rasionalisme yang
menekankan otoritas akal, aliran empirisme yang menekankan peranan pengalaman
indera dalam pengenalan pengetahuan manusia serta aliran imaterialisme dan
kritisme Immanuel kant menjadi sangat penting sekali pengaruhnya terhadap
tumbuhnya filsafat analitika bahasa terutama dalam pengungkapan realistas
segala sesuatu melalui ungkapan bahasa.
Sumber,
Filsafat Analitik. 2009.
diperoleh dari https://jaringskripsi.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar