Belajar dalam Paradigma Kritis
Setiap
praktek pendidikan dimanapun adanya, tentu tidak akan terlepas dari paradigma
yang dipakai dalam sistem pembelajarannya. Kaum penjajah misalnya tentu
mempunyai paradigma pendidikan yang disesuaikan dengan cita-cita dan tujuan
mereka, sehingga dalam praksis pendidikan mereka sangat tidak diinginkan
lahirnya pemahaman kritis, sebab hal itu akan sangat berbahaya bagi eksistensi
mereka. Di negara kita pun dapat kita jumpai berbagai macam cara pandang
(paradigma) yang dipakai oleh berbagai macam lembaga pendidikan yang sangat
berbeda-beda.
A.
Beberapa Paradigma Dalam Pendidikan
Sebuah penggolongan paradigma secara sederhana oleh Henry Giroux dan Aronowitz yang membaginya pada tiga kelompok yaitu konservatif, liberal & kritis. Bagi paradigma konservatif ketidak sederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami yang mustahil bisa dihindari. Pendidikan tidak perlu bersusah payah untuk memperjuangkan perubahan social karena mereka yang bodoh, menderita, miskin, dsb adalah akibat dari kesalahan mereka sendiri, atau mungkin juga sudah takdir Tuhan. Institusi pendidikan adalah sebuah alat untuk melanggengkan hubungan yang tidak sederajat ini. Paradigma ini biasa dipakai kaum penjajah atau kaum feodal yang "kolot".
Sebuah penggolongan paradigma secara sederhana oleh Henry Giroux dan Aronowitz yang membaginya pada tiga kelompok yaitu konservatif, liberal & kritis. Bagi paradigma konservatif ketidak sederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami yang mustahil bisa dihindari. Pendidikan tidak perlu bersusah payah untuk memperjuangkan perubahan social karena mereka yang bodoh, menderita, miskin, dsb adalah akibat dari kesalahan mereka sendiri, atau mungkin juga sudah takdir Tuhan. Institusi pendidikan adalah sebuah alat untuk melanggengkan hubungan yang tidak sederajat ini. Paradigma ini biasa dipakai kaum penjajah atau kaum feodal yang "kolot".
Paradigma
liberal lebih moderat, menurut mereka memang ada masalah di masyarakat tetapi
pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat.
Tradisi individualisme dan pengutamaan terhadap prestasi, keunggulan, kemampuan
akademik adalah crri-ciri mereka, dengan penekanan pada aspek kompetitifnya.
Mungkin kategori inilah yang saat ini dipraktekan oleh pendidikan nasional
kita, dengan fenomena banyaknya sekolah-sekolah unggulan, iming-iming beasiswa,
hingga sistem belajar CBSA dll. Berbeda dengan paradigma diatas adalah
paradigma kritis yang baginya pendidikan harus menciptakan sikap kritis
terhadap sistem dan dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan
tertindas untuk menciptakan sebuah sistem social baru yang lebih adil. Termasuk
dalam kategori paradigma ketiga inilah konsep-konsep yang diajukan oleh Paulo
Freire sebagai bentuk advokasi nyata pada rakyat tertindas dan
terdzalimi.
B.
Tinjauan Filosofis Eksistensi Manusia
Manusia hanya akan mengada didalam dunia apabila ia menjadi subyek. Manusia dilahirkan tidak seperti hewan yang hanya ada "di dalam dunia" tenggelam bersama dunia, beradaptasi dan tergantung pada lingkungannya. Manusia ada "bersama dunia", ia mengada secara aktif dan mampu mengatur dunia, selalu berhubungan dengan dunia secara kritis. Dan hanya dengan demikianlah ia disebut sebagai manusia sebenarnya. Walaupun pemikiran semacam ini juga membawa dampak fatal seperti yang dialami Nietsche yang akhirnya berkesimpulan "God is Dead", maka kita harus kesampingkan akibat negatif yang terlalu berlebihan ini.
Manusia hanya akan mengada didalam dunia apabila ia menjadi subyek. Manusia dilahirkan tidak seperti hewan yang hanya ada "di dalam dunia" tenggelam bersama dunia, beradaptasi dan tergantung pada lingkungannya. Manusia ada "bersama dunia", ia mengada secara aktif dan mampu mengatur dunia, selalu berhubungan dengan dunia secara kritis. Dan hanya dengan demikianlah ia disebut sebagai manusia sebenarnya. Walaupun pemikiran semacam ini juga membawa dampak fatal seperti yang dialami Nietsche yang akhirnya berkesimpulan "God is Dead", maka kita harus kesampingkan akibat negatif yang terlalu berlebihan ini.
Posisi
manusia sedemikian adalah sebagai Das Sollen yang seharusnya dimiliki manusia.
Ternyata realitas berbicara lain. Murid sebagai manusia seharusnya diposisikan
sebagai subyek dalam proses pendidikan dan bukan obyek. Dalam artian murid
tidak harus menerima begitu saja kebenaran dari guru yang dipaksakan, dan murid
tidak boleh dianggap bodoh secara mutlak.
C. Sistem Pendidikan Kita
Dunia
kampus merupakan harapan besar kita agar tercipta sebuah proses pendidikan
kritis yang mampu menciptakan suasana dialogis dalam arti yang sebenarnya tidak
dalam situasi hegemonis dan dominatif seperti yang banyak terjadi dalam praktek
pendidikan pada umumnya. Sangat menarik dalam hal ini bila kita mengutip
pendapat Azyumardi Azra yang mengatakan bahwa hingga saat ini sistem dan metode
yang banyak dipakai di IAIN adalah lebih banyak mengikuti pada pendidikan gaya
bank (The Banking Concept of Education) yang kurang memberi kesempatan pada
pengembangan kualitas mahasiswa secara maksimal. Pola komunikasinya lebih
bersifat satu arah dengan guru sebagai figure sentral. Ciri-ciri konkret
pendidikan gaya bank adalah :
1) Guru mengajar, murid diajar.
1) Guru mengajar, murid diajar.
2) Guru mengetahui sesuatu dan murid tidak mengetahui
apa-apa.
3) Guru berpikir dan murid dipikirkan.
4) Guru bercerita dan murid patuh mendengarkan.
5) Guru menentukan peraturan dan murid diatur.
6) Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid
menyetujui.
7) Guru berbuat,murid membayangkan dirinya berbuat
melalui perbuatan gurunya.
8) Guru memilih bahan pelajaran, murid tanpa diminta
pendapatnya menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
9) Guru mencampur adukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan
jabatannya yang dilakukan untuk menghalangi kebebasan murid.
10) Guru adalah subyek dalam proses belajar dan mengajar, murid hanya obyek belaka.
Penempatan murid seperti ini jelas tidak sesuai dengan kodrat manusia yang
terlahir sebagai subyek yang harus mengada ke dunia secara bebas.
Sebagai solusi dalam mengatasi penindasan yang telah masuk dalam lapangan pendidikan ini Freire menawarkan konsep pendidikan hadap masalah (Problem Possing) sebagai jalan keluar. Konsep ini menempatkan guru dan murid sebagai subyek dalam sebuah proses pendidikan. Dan realitas dunialah yang dijadikan obyek. Tujuan pendidikan sebagai tabungan harus diganti dengan penghadapan pada masalah-masalah manusia dalam hubungannya dengan dunia. Kini pendidikan bukanlah lagi sebuah proses transfer ilmu dari guru dan murid, sebab keduanya kini bersama-sama dalam suasana dialogis membuka cakrawala realita dunia.
Dialog
merupakan sarana yang harus ada dalam proses ini. Sehingga pendidikan menjadi
tanggung jawab bersama guru dan murid. Proses dialog inipun tidak boleh menjadi
proses yang hegemonis dan dominatif yang berpihak pada guru, namun haruslah
menjadi sebuah motivasi munculnya kesadaran-kesadaran kritis baik dari guru
ataupun murid khususnya. Sehingga proses ini akan senantiasa merefleksikan
antara pengalaman murid dan guru. Di sini guru menyajikan pelajarannya kepada
murid sebagai bahan pemikiran mereka dan menguji kembali pemikirannya terdahulu
ketika murid mengemukakan hasil pemikirannya sendiri. Peran pendidik disini
adalah bersama-sama dengan murid menciptakan pengetahuan sejati yang tidak
bersifat dogmatis. Murid disini diusahakan dapat mengungkapkan segala sesuatu dengan
bahasa mereka, pendapat mereka, sebagai sebuah proses yang selalu menjadi dan
belum selesai. Karena manusia adalah makhluk yang terus manjawab tantangan
realitas dunia agar ia dapat mengada dengan sejati, dan bukan diatur,
ditentukan atau didikte orang lain.
Konsep
yang kedua ini tentu akan menghasilkan murid yang mampu memandang dengan kritis
terhadap dunia, mampu berpikir bebas yang dengan demikian akan berpandangan
optimis terhadap dunianya. Sebaliknya pendidikan gaya bank akan menghasilkan
murid-murid yang berpandangan fatalis terhadap dunianya. Ia akan menjadi orang
bentukan yang harus tunduk pada aturan-aturan yang sesungguhnya bisa jadi
diciptakan segelintir manusia demi kepentingan mereka.
D.
Belajar efektif
Idealnya
para mahasiswa (murid) harus dilibatkan secara aktif dalam proses pendidikan
dalam arti yang komprehensif. Sejak penyusunan kurikulum, penentuan proses
pengajaran, bahkan guru yang yang tidak disenangi seharusnya tidak bisa
dipaksakan untuk mengajar. Dengan demikian proses pendidikan merupakan tanggung
jawab bersama dan bukan monopoli para "penguasa" pendidikan. Karena
boleh jadi apa yang disampaikan kepada murid tidak sesuai dengan kebutuhan
mereka. Para siswa di kampung nelayan misalnya mereka tidak lagi perlu belajar
cara penanaman padi yang baik, sistem irigasi dsb. Mereka lebih butuh pada
bagaimana cara menangkap ikan yang efektif.
Kalaulah
demikian paradigma yang kita pakai maka murid juga harus secara aktif mengada
dalam kapasitasnya sebagai subyek dalam pendidikan. Maka diperlukan cara
belajar yang tidak lagi menghafal, mengulang apa saja yang dikatakan dosen,
seperti robot yang diisi informasi. Sebaliknya mahasiswa harus secara aktif
mencari apa yang akan dijadikan kajian, bagaimana pendapat saya, dan saya tidak
harus mengekor pendapat orang, termasuk guru.Walaupun tidak berarti kita
menolak kebenaran.
Diakui
atau tidak, bentuk pendidikan kritis cenderung untuk disalah artikan pada
tataran negatif. Demi alasan demokratis, kebebasan intelektual dan seribu
alasan lain, ada yang lalu seolah menghalalkan tindakan-tindakan yang tidak
sesuai dengan norma yang masuk dalam lingkungan akademis kita. Sungguh amat
disayangkan jika dengan alasan yang suci mereka melakukan hal-hal yang tidak
pantas. Pola berpikir kritis tidak harus meninggalkan kehormatan kita pada kaum
intelektual (guru), almamater, atau siapa saja yang seharusnya pantas untuk
dihormati.
Sumber, Syafaat Setiawan, S.Ag. 2012. Belajar
Dalam Paradigma Kritis. Diperoleh dari http://temanfbku.blogspot.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar