Aliran
– Aliran Dalam Filsafat
Ø Progessivisme
Progressivisme mempunyai konsep yang
didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai
kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi masalah yang menekan atau
mengecam adanya manusia itu sendiri. Aliran Progressivisme mengakui dan
berusaha mengembangakan asas Progressivisme dalam semua realitas, terutama
dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia,
harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya. Berhubungan
dengan itu progressivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak
otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.
Progresivisme yang lahir sekitar abad
ke-20 merupakan filsafat yang bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang
diperkenalkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859- 1952), yang
menitikberatkan pada segi manfaat bagi hidup praktis. Filsafat progressivisme
dipengaruhi oleh ide-ide dasar filsafat pragmatisme dimana telah memberikan
konsep dasar dengan azas yang utama yaitu manusia dalam hidupnya untuk tetap
survive terhadap semua tantangan, harus pragmatis memandang sesuatu dari segi
manfaatnya.
Filsafat progressivisme telah
memberikan kontribusi yang besar di dunia pendidikan, dimana telah meletakkan
dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada peserta didik. Anak didik
diberikan kebebasan secara fisik maupun cara berfikir, guna mengembangakan
bakat, kreatifitas dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh
rintangan yang dibuat oleh orang lain. Berdasarkan pandangan di atas maka
sangat jelas sekali bahwa filsafat progressivisme bermaksud menjadikan anak
didik yang memiliki kualitas dan terus maju sebagai generasi yang akan menjawab
tantangan zaman peradaban baru.
Tokoh Filsafat Progresivisme
1. William James (11 Januari 1842 – 26 Agustus 1910)
William James seorang psychologist yang lahir di
New York pada tanggal 11 januari 1842 dan meninggal pada tanggal 26 Agustus
1910 di Choruroa, New Hemshire. Selain sebagai seorang psikolog, ia juga
sebagai filosof Amerika yang sangat terkenal. Paham, ajaran, dan kepribadiannya
sangat berpengaruh di berbagai negara Eropa dan Amerika, selain sebagai penulis
yang sangat brilian, dosen, dan penceramah dibidang filsafat, ia juga dikenal
sebagai pendiri aliran pragmatisme. James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran,
seperti juga aspek dari eksitensi organik, harus mempunyai fungsi biologis dan
nilai kelanjutan hidup.Dia menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu
dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam.
2. John
Dewey (1859 – 1952)
John Dewey lahir pada tanggal 20 Oktober 1859 di
Burlington, Vermon, dan meninggal pada tanggal 1 Januari 1952 di New York.
Aliran progresivisme yang didukung juga oleh filsafat pragmatisme John Dewey
yang menyatakan bahwa yang benar adalah apa yang membuktikan dirinya sebagai
benar dengan perantaaan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Teori
Dewey tentang sekolah adalah "Progressivism" yang lebih menekakan
pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri.Maka muncullah
"Child Centered Curiculum", dan "Child Centered School".
Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum
jelas. Menurut Dewey pendidikan adalah proses dari kehidupam dan bukan
persiapan masa yang akan datang.
Selain itu, ia juga memandang bahwa pendidikan
sebagai proses dan sosialisasi. Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak didik
dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka
dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab
belajar yang baik tidak cukup disekolah saja.Dengan demikian, sekolah yang
ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan
sekitar.Sekolah harus dapat mengupayakan pelestarian karakteristik atau
kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah dimana sekolah itu berada.
Untuk itu filsafat progresivisme menghendaki sistem pendidikan dengan bentuk
belajar “ sekolah sambil berbuat” atau learning by doing.
3. Hans Vaihinger (1852 – 1933)
Hans Vaihinger berpendapat bahwa tahu itu hanya
mempunyai arti praktis.Persesuaian dengan obyeknya tidak mungkin dibuktikan;
satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya (dalam bahasa Yunani Pragma)
untuk mempengaruhi kejadian-kejadian di dunia.Segala pengertian itu sebenarnya
buatan semata-mata; jika pengertian itu berguna.untuk menguasai dunia, bolehlah
dianggap benar, asal orang tahu saja bahwa kebenaran ini tidak lain kecuali
kekeliruan yang berguna saja.
Inti
progres
Oleh karena itu kemajuan atau progress ini menjadi
inti perhatian progressivisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu
menumbuhkan kemajuan dipandang oleh progressivisme merupakan bagian-bagian
utama dari kebudayaan. Progessivisme dinamakan instrumentalisme, karena aliran
ini beranggapan bahwa kemampuan intelegasi manusia sebagai alat untuk hidup, kesejahteraan, mengembangkan
kepribadian manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran tersebut
menyadari dan mempraktekkan asa eksperimen yang merupakan untuk menguji
kebenaran suatu teori. Sedangkan dinamakan environmetalisme karena aliran ini
menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian.
Ø Idealisme
Idealisme adalah salah satu aliran
filsafat pendidikan yang berpaham bahwa pengetahuan dan kebenaran tertinggi
adalah ide. Semua bentuk realita adalah manifestasi dalam ide. Karena
pandangannya yang idealis itulah idealisme sering disebut sebagai lawan dari
aliran realisme. Tetapi, aliran ini justru muncul atas feed back realisme yang
menganggap realitas sebagai kebenaran tertinggi.
Idealisme merupakan suatu aliran
yang mengedepankan akal pikiran manusia. Sehingga sesuatu itu bisa terwujud
atas dasar pemikiran manusia. Dalam pendidikan, idealisme merupakan suatu
aliran yang berkontribusi besar demi kemajuan pendidikan. Hal tersebut bisa
dilihat pada metode dan kurikulum yang digunakan. Idealisme mengembangkan
pemikiran peserta didik sehingga menjadikan peserta didik mampu menggunakan
akal pikiran atau idenya dengan baik dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Sejarah Idealisme
Secara
historis, idealisme diformulasikan dengan jelas pada abad IV sebelum masehi
oleh Plato (427-347 SM). Semasa Plato hidup kota Athena adalah kota yang berada
dalam kondisi transisi (peralihan). Aliran filsafat Plato dapat dilihat sebagai
suatu reaksi terhadap kondisi perubahan terus-menerus yang telah meruntuhkan
budaya Athena lama. Ia merumuskan kebenaran sebagai sesuatu yang sempurna dan
abadi (eternal). Dan sudah terbukti, bahwa dunia eksistensi keseharian
senantiasa mengalami perubahan. Dengan demikian, kebenaran tidak bisa ditemukan
dalam dunia materi yang tidak sempurna dan berubah. Plato percaya bahwa disana
terdapat kebenaran yang universal dan dapat disetujui oleh semua orang.
Contohnya dapat ditemukan pada matematika, bahwa 5 + 7 = 12 adalah selalu benar
(merupakan kebenaran apriori), contoh tersebut sekarang benar, dan bahkan di
waktu yang akan datang pasti akan tetap benar.
Idealisme
dengan penekanannya pada kebenaran yang tidak berubah, berpengaruh pada
pemikiran kefilsafatan. Selain itu, idealisme ditumbuh kembangkan dalam dunia
pemikiran modern. Tokoh-tokohnya antara lain: Rene Descartes (1596-1650),
George Berkeley (1685-1753), Immanuel Kant (1724-1804) dan George W. F. Hegel
(1770-1831). Seorang idealis dalam pemikiran pendidikan yang paling berpengaruh
di Amerika adalah William T. Harris (1835-1909) yang menggagas Journal of
Speculative Philosophy. Ada dua penganut idealis abad XX yang telah berjuang
menerapkan idealisme dalam bidang pendidikan modern, antara lain: J. Donald
Butler dan Herman H. Horne. Sepanjang sejarah, idealisme juga terkait dengan
agama, karena keduanya sama-sama memfokuskan pada aspek spiritual dan
keduniawian lain dari realitas.
Tokoh-tokoh
Idealisme :
1).
Plato (477 -347 Sb.M)
Menurut
Plato, kebaikan merupakan hakikat tertinggi dalam mencari kebenaran. Tugas ide
adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja
yang telah mengetahui ide, manusia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga
dapat menggunakannya sebagai alat untuk mengukur, mengklarifikasikan dan menilai
segala sesuatu yang dialami sehari-hari.
2). Immanuel Kant (1724 -1804)
Ia
menyebut filsafatnya idealis transendental atau idealis kritis dimana paham ini
menyatakan bahwa isi pengalaman langsung yang kita peroleh tidak dianggap
sebagai miliknya sendiri melainkan ruang dan waktu adalah forum intuisi kita.
Dapat disimpulkan bahwa filsafat idealis transendental menitik beratkan pada
pemahaman tentang sesuatu itu datang dari akal murni dan yang tidak bergantung
pada sebuah pengalaman.
3). Pascal (1623-1662)
Kesimpulan
dari pemikiran filsafat Pascal antara lain :
a. Pengetahuan diperoleh melalaui dua
jalan, pertama menggunakan akal dan kedua menggunakan hati.
b. Manusia besar karena pikirannya,
namun ada hal yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia yaitu pikiran
manusia itu sendiri. Menurut Pascal manusia adalah makhluk yang rumit dan kaya
akan variasi serta mudah berubah. Untuk itu matematika, pikiran dan logika
tidak akan mampu dijadikan alat untuk memahami manusia. Menurutnya alat-alat
tersebut hanya mampu digunakan untuk memahami hal-hal yang bersifat bebas
kontradiksi, yaitu yang bersifat konsisten. Karena ketidak mampuan filsafat dan
ilmu-ilmu lain untuk memahami manusia, maka satu-satunya jalan memahami manusia
adalah dengan agama. Karena dengan agama, manusia akan lebih mampu menjangkau
pikirannya sendiri, yaitu dengan berusaha mencari kebenaran, walaupun bersifat
abstrak.
c. Filsafat bisa melakukan apa saja, namun
hasilnya tidak akan pernah sempurna. Kesempurnaan itu terletak pada iman.
Filsafat bisa menjangkau segala hal, tetapi tidak bisa secara sempurna. Karena
setiap ilmu itu pasti ada kekurangannya, tidak terkecuali filsafat.
4). J. G. Fichte (1762-1914 M.)
Ia
adalah seorang filsuf jerman. Ia belajar teologi di Jena (1780-1788 M). Pada
tahun 1810-1812 M, ia menjadi rektor Universitas Berlin. Filsafatnya disebut “Wissenschaftslehre”
(ajaran ilmu pengetahuan). Secara sederhana pemikiran Fichte: manusia memandang
objek benda-benda dengan inderanya. Dalam mengindra objek tersebut, manusia
berusaha mengetahui yang dihadapinya. Maka berjalanlah proses intelektualnya
untuk membentuk dan mengabstraksikan objek itu menjadi pengertian seperti yang
dipikirkannya.
5). F. W. S. Schelling (1775-1854 M.)
Schelling
telah matang menjadi seorang filsuf disaat dia masih amat muda. Pada tahun 1798
M, dalam usia 23 tahun, ia telah menjadi guru besar di Universitas Jena. Dia
adalah filsuf Idealis Jerman yang telah meletakkan dasar-dasar pemikiran bagi
perkembangan idealisme Hegel.
Inti
dari filsafat Schelling: yang mutlak atau rasio mutlak adalah sebagai identitas
murni atau indiferensi, dalam arti tidak mengenal perbedaan antara yang
subyektif dengan yang obyektif. Yang mutlak menjelmakan diri dalam 2 potensi
yaitu yang nyata (alam sebagai objek) dan ideal (gambaran alam yang subyektif
dari subyek). Yang mutlak sebagai identitas mutlak menjadi sumber roh (subyek)
dan alam (obyek) yang subyektif dan obyektif, yang sadar dan tidak sadar.
Tetapi yang mutlak itu sendiri bukanlah roh dan bukan pula alam, bukan yang
obyektif dan bukan pula yang subyektif, sebab yang mutlak adalah identitas
mutlak atau indiferensi mutlak.
Maksud
dari filsafat Schelling adalah, yang pasti dan bisa diterima akal adalah
sebagai identitas murni atau indiferensi, yaitu antara yang subjektif dan
objektif sama atau tidak ada perbedaan. Alam sebagai objek dan jiwa (roh atau
ide) sebagai subjek, keduanya saling berkaitan. Dengan demikian yang mutlak itu
tidak bisa dikatakan hanya alam saja atau jiwa saja, melainkan antara keduanya.
6). G. W. F. Hegel (1770-1031 M.)
Ia
belajar teologi di Universitas Tubingen dan pada tahun 1791 memperoleh gelar
Doktor. Inti dari filsafat Hegel adalah konsep Geists (roh atau spirit), suatu
istilah yang diilhami oleh agamanya. Ia berusaha menghubungkan yang mutlak
dengan yang tidak mutlak. Yang mutlak itu roh atau jiwa, menjelma pada alam dan
dengan demikian sadarlah ia akan dirinya. Roh itu dalam intinya ide (berpikir).
Idealisme Dalam Pendidikan
Aliran
idealisme terbukti cukup banyak
berpengaruh dalam dunia pendidikan. William T. Harris adalah salah satu
tokoh aliran pendidikan idealisme yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat.
Idealisme terpusat tentang keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang
melakukan oposisi secara fundamental terhadap naturalisme. Pendidikan harus
terus eksis sebagai lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai
kebutuhan spiritual, dan tidak sekedar kebutuhan alam semata.
Pendidikan
idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi
kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis,
dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih
baik. Sedangkan tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah
perlunya persaudaraan antar manusia. Sedangkan tujuan secara sintesis
dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan sosial sekaligus,
yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.
Guru dalam
sistem pengajaran menurut aliran idealisme berfungsi sebagai:
1).
Guru adalah personifikasi dari kenyataan anak didik. Artinya, guru merupakan
wahana atau fasilitator yang akan mengantarkan anak didik dalam mengenal
dunianya lewat materi-materi dalam aktifitas pembelajaran.
2.)
Guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa.
Artinya, seorang guru itu harus mempunyai pengetahuan yang lebih dari pada anak
didik.
3). Guru haruslah menguasai teknik
mengajar secara baik. Artinya, seorang guru harus mempunyai potensi pedagogik
yaitu kemampuan untuk mengembangkan suatu model pembelajaran, baik dari segi
materi dan yang lainnya.
4). Guru haruslah menjadi pribadi yang
baik, sehingga disegani oleh murid. Artinya, seorang guru harus mempunyai
potensi kepribadian yaitu karakter dan kewibawaan yang berbeda dengan guru yang
lain.
5). Guru menjadi teman dari para
muridnya. Artinya, seorang guru harus mempunyai potensi sosial yaitu kemampuan
dalam hal berinteraksi dengan anak didik.
Kurikulum
yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran idealisme harus lebih
memfokuskan pada isi yang objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada
pengajaran yang textbook. Agar pengetahuan dan pengalamannya aktual. Sedangkan
implikasi Aliran Idealisme dalam Pendidikan yaitu :
1) Tujuan, untuk membentuk karakter,
mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta kebaikan sosial.
2) Kurikulum, pendidikan liberal untuk
pengembangan kemampuan dan pendidikan praktis untuk memperoleh pekerjaan.
3) Metode, diutamakan metode dialektika
(saling mengaitkan ilmu yang satu dengan yang lain), tetapi metode lain yang
efektif dapat dimanfaatkan.
4) Peserta didik bebas untuk mengembangkan
kepribadian, bakat dan kemampuan dasarnya.
5) Pendidik bertanggungjawab dalam
menciptakan lingkungan pendidikan melalui kerja sama dengan alam.
Implementasi
Idealisme dalam Pendidikan:
1) Pendidikan bukan hanya mengembangkan
dan menumbuhkan, tetapi juga harus menuju pada tujuan yaitu dimana nilai telah
direalisasikan ke dalam bentuk yang kekal dan tak terbatas.
2) Pendidikan adalah proses melatih pikiran,
ingatan, perasaan. Baik untuk memahami realita, nilai-nilai, kebenaran, maupun
sebagai warisan sosial.
3) Tujuan pendidikan adalah menjaga keunggulan
kultural, sosial dan spiritual. Memperkenalkan suatu spirit intelektual guna
membangun masyarakat yang ideal.
4) Pendidikan idealisme berusaha agar seseorang
dapat mencapai nilai-nilai dan ide-ide yang diperlukan oleh semua manusia
secara bersama-sama.
5) Tujuan pendidikan idealisme adalah ketepatan
mutlak. Untuk itu, kurikulum seyogyanya bersifat tetap dan tidak menerima
perkembangan.
6) Peranan pendidik menurut aliran ini
adalah memenuhi akal peserta didik dengan hakekat-hakekat dan pengetahuan yang tepat.
Ø Eksistensialisme
Istilah
eksistensialisme dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman Martin Heidegger
(1889-1976). Eksistensialisme adalah merupakan filsafat dan akar metodologinya
berasal dari metoda fenomologi yang dikembangkan oleh Hussel (1859-1938).
Munculnya eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Kieggard dan Nietzche.
Kiergaard Filsafat Jerman (1813-1855) filsafatnya untuk menjawab pertanyaan
“Bagaimanakah aku menjadi seorang individu)”. Hal ini terjadi karena pada saat
itu terjadi krisis eksistensial (manusia melupakan individualitasnya).
Kiergaard menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa
menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen
pribadi dalam kehidupan. Nitzsche (1844-1900) filsuf jerman tujuan filsafatnya
adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia unggul”.
Jawabannya manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk
merealisasikan diri secara jujur dan berani.
Eksistensialisme
merupakan filsafat yang secara khusus mendeskripsikan eksistensi dan pengalaman
manusia dengan metedologi fenomenologi, atau cara manusia berada.
Eksistensialisme adalah suatu reaksi terhadap materialisme dan idealisme.
Pendapat materialisme bahwa manusia adalah benda dunia, manusia itu adalah
materi , manusia adalah sesuatu yang ada tanpa menjadi Subjek. Pandangan
manusia menurut idealisme adalah manusia hanya sebagai subjek atau hanya
sebagai suatu kesadaran. Eksistensialisme berkayakinan bahwa paparan manusia
harus berpangkalkan eksistensi, sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan
lukisan-lukisan yang kongkrit.
Manusia
adalah pencipta esensi dirinya. Dalam kelas guru berperan sebagai fasilitator
untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan membiarkan berbagai bentuk
pajanan (exposure) dan jalan untuk dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari
nalar, maka kaum eksistensialis menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk
manusia secara utuh, bukan hanya sebagai pembangunan nalar. Sejalan dengan
tujuan itu, kurikulum menjadi fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan
untuk dipilih siswa. Kelas mesti kaya dengan materi ajar yang memungkinkan
siswa melakukan ekspresi diri, antara lain dalam bentuk karya sastra film, dan
drama. Semua itu merupakan alat untuk memungkinkan siswa ‘berfilsafat’ ihwal
makna dari pengalaman hidup, cinta dan kematian.
Eksistensialisme
biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari sebagian terbesar reaksi
terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia kedua. Dengan
demikian Eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran filsafat yang
bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup
asasi yang dimiliki dan dihadapinya.
Sebagai
aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan filsafat eksistensi. Paham
Eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia pada dirinya sendiri,
sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagai arti katanya, yaitu:
“filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.”
Secara
singkat Kierkegaard memberikan pengertian eksistensialisme adalah suatu
penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah.
Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutkan rasional.[3] Dengan demikian
aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman, dan situasi
sejarah yang ia alami, dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak
serta spekulatif. Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi,
keyakinan yang tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk
mencapai keyakinan hidupnya.
Atas
dasar pandangannya itu, sikap di kalangan kaum Eksistensialisme atau penganut
aliran ini seringkali Nampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan
untuk freedom to[4] adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan
perbuatannya.
Pandangannya
tentang prendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam Existentialism and
Education, bahwa “Eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan
pendidikan dalam segala bentuk.”[5] Oleh sebab itu Eksistensialisme dalam hal
ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang. Namun
bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang diajukan oleh Morris sebagai
“Eksistensialisme’s concept of freedom in education”, menurut Bruce F. Baker, tidak
memberikan kejelasan. Barangkali Ivan Illich dengan Deschooling Society, yang
banyak mengundang reaksi di kalangan ahli pendidikan, merupakan salah satu
model pendidikan yang dikehendikan aliran Eksistensialisme tidak banyak
dibicarakan dalam filsafat pendidikan.
Pandangan
eksistensialisme adalah:
Menurut
metafisika: (hakekat kenyataan) pribadi manusia tak sempurna, dapat diperbaiki
melalui penyadaran diri dengan menerapkan prinsip & standar pengembangan
kepribadian.
Epistimologi: (hakekat pengetahuan),
data-internal–pribadi, acuannya kebebasan individu memilih.
Logika: (hakekat penalaran), mencari
pemahaman tentang kebutuhan & dorongan internal melaui analis &
introfeksi diri \
Aksiologi (hakekat nilai), Standar
dan prinsip yang bervariasi pada tiap individu bebas untuk dipilih-diambil
Etika (hakekat kebaikan), tuntutan
moral bagi kepentingan pribadi tanpa menyakiti yang lain
Estetika (hakekat keindahan),
keindahan ditentukan secara individual pada tiap orang oleh dirinya
Tujuan hidup menyempurnakan diri
melalui pilihan standar secara bebas oleh tiap individu, mencari kesempurnaan
hidup
Sumber
Anonym,
2013. Lima Filsafat Pendidikan Idealisme.
Diperoleh dari http://singokalijogo.blogspot.co.id
Wahyudisy.
2008. Aliran Progretivisme. Diperoleh dari http://wahyudisy.blogspot.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar