Pendidikan
Kritis Sebagai Pembebasan
Sejarah telah menorehkan
luka yang dalam ketika kita di jajah baik secara fisik, ekonomi maupun
pengetahuan lebih dari 350 tahun. Dan ketika proklamasi di degungkan pada 17
Agustus 1945, sebagai sebuah momentum bangsa yang telah mengantarkan rakyat
pada pintu gerbang kemerdekaan, maka saat ini setelah 64 tahun lebih, apakah
kita masih berada pada pintu gerbang kemerdekaan ?
Sebagai generasi penerus
perjuangan bangsa, seyogyanya mari kita sama-sama merenung. Jika hanya secara
formalitas belaka, kita telah merebut kemerdekaan atas penjajahan fisik dll.
Kita telah terbukti bisa bebas dan merdeka. Namun demikian, secara sadar maupun
tidak sadar, terkadang kita telah lupa dengan esensi ajaran dari sebuah kata
Merdeka.
Jika esensi terpenting
dari kata Merdeka adalah bagaimana kita
bisa membebaskan diri dari ranah kebodohan, kesombongan, keserakahan dan juga
egoistis. Lalu setelah kita merdeka atasnya, maka seharusnya kita berusaha
untuk bisa membantu orang lain agar terbebas dari tirani tersebut. Maka apakah
saat ini kita benar-benar telah merdeka ?
Miris rasanya jika kita
melihat realita saat ini. Ranah kebodohan dan pembodohan masih terus bertempur
di berbagai pelosok nusantara. Lihat saja kurikulum pendidikan kita saat ini
yang masih mengacu pada pedoman era industry. Dimana sekolah-sekolah dan tempat
kuliah sekalipun terus-menerus hanya mencetak para robot agar bisa bekerja,
bekerja dan bekerja. Terbukti ketika terjadi pembukaan lowongan PNS, yang di
butuhkan paling cuma 10 orang saja, yang mendaftar bisa sampai ribuan. Tidak
hanya itu, lowongan pekerjaan swastapun demikian halnya. Hampir satu juta
pengangguran intelektual kita saat ini. Apakah tidak ada evaluasi sama sekali
dari kasus tersebut untuk bisa merancang sebuah arsitek pembangunan SDM masa
depan ?
Ini baru satu kasus,
masih banyak sekali ranah kebodohan dan pembodohan yang lain yang bisa kita perlihatkan.
Dan ini artinya kita benar-benar belum Merdeka.
Pendidikan perlu untuk
menumbuhkan kesadaran kritis peserta didiknya. Pendidikan harus mengajak peserta
didik untuk jeli melihat ketidakadilan di dalam kehidupan sosial, bersikap
reflektif, merumuskan pemikirannya tentang ketidakadilan itu, dan kemudian
mengajukan solusi untuk melenyapkannya. (Amelia, 2009) Pendidikan yang masih
berfokus pada pengajaran teknis yang sempit di dalam tembok-tembok displin ilmu
tidak akan pernah mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki kesadaran
kritis. Di dalam masyarakat demokratis seperti Indonesia, pendidikan yang
berfokus pada penciptaan kesadaran kritis amatlah diperlukan. Sebuah negara
yang masih berfokus pada penciptaan ‘tukang-tukang’ ilmiah tidak akan mampu
menciptakan kultur demokratis yang diperlukan, guna menciptakan masyarakat yang
adil dan sejahtera melalui jalan-jalan demokratis.
Di Indonesia mayoritas guru
dan dosen masih berfokus pada transfer pengetahuan teknis, tanpa ada dorongan
lebih jauh untuk membuka mata peserta didik terhadap ketidakadilan sosial yang
terjadi sehari-hari di Indonesia. Akibatnya peserta didik menjadi tidak peka
terhadap situasi sekitar mereka. Dan lebih parah lagi, mereka justru menjadi
orang-orang yang melestarikan dan bahkan mengembangkan penindasan sosial yang
ada.
Pola pendidikan semacam
itu sama sekali tidak membebaskan dan menyadarkan. Sebaliknya pola pendidikan
semacam itu pada akhirnya akan menghancurkan masyarakat secara umum. Para
peserta didik menjadi orang yang angkuh dan berpikir konservatif. Mereka merasa
diuntungkan dengan adanya penindasan, maka mereka lalu diam saja, atau justru
memperparah keadaan. Dalam arti ini tujuan pendidikan telah gagal sejak awal.
Dipaksa
untuk Bebas
Proses penyadaran dan
pembebasan memang tidak datang dari surga. Sebaliknya proses tersebut harus
diawali dengan penderitaan dalam bentuk paksaan. Secara normatif hal tersebut
memang tidak bisa dibenarkan. Namun secara realistik setiap bentuk kebebasan
selalu muncul dari adanya penindasan dan paksaan.
Setiap orang bebas untuk
memilih makanan kesukaannya. Namun terlebih dahulu ia perlu belajar cara makan
yang tepat. Untuk memperoleh pengetahuan tentang cara makan yang tepat, ia
harus dipaksa belajar oleh orang tuanya. Setiap orang berhak untuk menuliskan
pemikirannya secara bebas. Namun untuk bisa menulis, ia perlu dipaksa untuk
belajar oleh guru dan orang tuanya.
Dengan demikian kesadaran
dan kebebasan adalah sesuatu yang muncul dari bangkai peradaban yang memang
berisi penindasan. Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) juga muncul dari pengalaman
traumatis atas perbudakan dan penjajahan. Maka sudah sewajarnya untuk bisa
berpikir kritis, orang perlu untuk dilatih dalam tekanan dan paksaan terlebih
dahulu. Harapannya ia kemudian menjadi sadar, dan tergerak dari dalam untuk
mengembangkan kesadarannya itu.
Pendidikan
Demokrasi
Di dalam masyarakat
demokratis, setiap orang berhak untuk berpikir dan menyampaikan pemikirannya
tersebut. Ia berhak untuk membentuk kelompok ataupun organisasi, dan
menyampaikan pemikirannya di dalam organisasi itu. Dalam arti ini dapatlah
disimpulkan, bahwa konsep kebebasan sangatlah penting di dalam masyarakat
demokratis. Namun kebebasan macam apa yang perlu untuk dirawat dan
dikembangkan?
Kebebasan yang diperlukan
adalah kebebasan yang berakar pada kesadaran kritis orang yang tergerak oleh
penindasan ataupun ketidakadilan sosial yang terjadi di depan matanya.
Kebebasan di dalam masyarakat demokratis bukanlah kebebasan tanpa arah dan
anarkis, melainkan kebebasan yang berorientasi pada upaya-upaya kritis, guna
menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Dalam arti ini kebebasan dan
kesadaran kritis adalah dua hal yang tidak boleh dipisahkan! Pendidikan
memainkan peranan yang sangat penting untuk menciptakan kesadaran kritis di
pikiran para peserta didik. Ingat, ditangan merekalah masa depan Bangsa
Indonesia ditentukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar