Sabtu, 10 Desember 2016

Pengetahuan Sain



Pengetahuan Sain

1.      Objek Pengetahuan Sain
Objek pengetahuan sain (yaitu objek-objek yang diteliti sain) ialah semua objek yang empiris. Jujun S. Suriasumantri (Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, 1994: 105) menyatakan bahwa objek kajian sain hanyalah objek yang berada dalam ruang lingkup pengalaman manusia. Yang dimaksud pengalaman di sini ialah pengalaman indera.  Objek kajian sain haruslah objek-objek yang empiris sebab bukti-bukti yang harus ia temukan adalah bukti-bukti yang empiris. Bukti empiris ini diperlukan untuk menguji bukti rasional yang telah dirumuskan dalam hipotesis.
 Apakah objek yang boleh diteliti oleh sain itu bebas? Artinya, apakah sain boleh meneliti apa saja asal empiris? Menurut sain ia boleh meneliti apa saja, ia ebas; menurut filsafat akan tergantung pada filsafat yang mana; menurut agama belum tentu bebas. Objek-objek yang dapat diteliti oleh sain banyak sekali: alam, tetumbuhan, hewan, dan manusia, serta kejadian-kejadian di sekitar alam, tetumbuhan, hewan dan manusia itu; semuanya dapat diteliti oleh sain. Dari penelitian itulah muncul teori-teori sain. Teori-teori itu berkelompok atau dikelompokkan dalam masing-masing cabang sain. Teori-teori yang telah berkelompok itulah yang disebut struktur sain, baik cabang-cabang sain maupun isi masing-masing cabang sain tersebut.
2.      Cara Memperoleh Pengetahuan Sain
Pengalaman manusia sudah berkembang sejak lama. Yang dapat dicatat dengan baik ialah sejak tahun 600-an SM. Yang mula-mula timbul agaknya ialah pengetahuan filsafat dan hampir bersamaan dengan itu berkembang pula pengetahuan sain dan pengetahuan mistik. Perkembangan sain didorong oleh paham Humanisme. Humanismei alah paham filsafat yang mengajarkan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam. Humanisme telah muncul pada zaman Yunani Lama (Yunani Kuno). 
Sejak zaman dahulu, manusia telah menginginkan adanya aturan untuk mengatur manusia. Tujuannya ialah agar manusia itu hidup teratur. Hidup teratur itu sudah menjadi kebutuhan manusia sejak dahulu. Untuk menjamin tegaknya kehidupan yang teratur itu diperlukan aturan.  Manusia juga perlu aturan untuk mengatur alam. Pengalaman manusia menunjukkan bila alam tidak diatur maka alam itu akan menyulitkan kehidupan manusia. Sementara itu manusia tidak mau dipersulit oleh alam. Bahkan sebaiknya – kalau dapat – manusia ingin alam itu mempermudah kehidupannya. Karena itu harus ada aturan untuk mengatur alam.  Bagaimana membuat aturan untuk mengatur manusia dalam alam? Siapa yang dapat membuat aturan itu? Orang Yunani Kuno sudah menemukan: manusia itulah yang membuat aturan itu.
Humanisme mengatakan bahwa manusia mampu mengatur dirinya (manusia) dan alam. Jadi, manusia itulah yang harus membuat aturan untuk mengatur manusia dan alam.  Bagaimana membuatnya dan apa alatnya? Bila aturan itu dibuat berdasarkan agama atau mitos, maka akan sulit sekali menghasilkan aturan yang disepakati. Pertama, mitos itu tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur manusia, dan kedua, mitos itu amat tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur alam. Kalau begitu, apa sumber aturan itu? Kalau dibuat berdasarkan agama? Kesulitannya ialah agama mana? Masing-masing agama menyatakan dirinya benar, yang lain salah.
Jadi, seandainya aturan itu dibuat berdasarkan agama maka akan banyak orang yang menolaknya. Padahal aturan itu seharusnya disepakati oleh semua orang. Begitulah kira-kira mereka berpikir.  Menurut mereka aturan itu harus dibuat berdasarkan dan bersumber pada sesuatu yang ada pada manusia. Alat itu ialah akal. Mengapa akal? Pertama, karena akal dianggap mampu, kedua, karena akal pada setiap roang bekerja berdasarkan aturan yang sama. Aturan itu ialah logika alami yang ada pada akal setiap manusia. Akal itulah alat dan sumber yang paling dapat disepakati. Maka, Humanisme melahirkan Rasionalisme. Rasionalisme ialah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula.
Dicari dengan akal ialah dicari dengan berpikir logis. Diukur dengan akal artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak. Bila logis, benar; bila tidak, salah. Nah, dengan akal itulah aturan untuk mengatur manusia dan alam itu dibuat. Ini juga berarti bahwa kebenaran itu bersumber pada akal.  Dalam proses pembuatan aturan itu, ternyata temuan akal itu seringkali bertentangan. Kata seseorang ini logis, tetapi kata orang lain itu logis juga. Padahal ini dan itu itu tidak sama, bahkan kadang-kadang bertentangan. Orang-orang sophis pada zaman Yunani Kuno dapat membuktikan bahwa bergerak sama dengan diam, kedua-duanya sama logisnya. Apakah anak panah yang melesat dari busurnya bergerak atau diam? Dua-duanya benar. Apa itu bergerak? Bergerak ialah bila sesuatu pindah tempat. Anak panah itu pindah dari busur ke sasaran.
Jadi, anak panah itu bergerak. Anak panah itu dapat juga dibuktikan diam. Diam ialah bila sesuatu pada sesuatu waktu berada pada suatu tempat. Anak panah itu setiap saat berada di suatu tempat. Jadi, anak panah itu diam. Ini pun benar, karena argumennya juga logis. Jadi, bergerak sama dengan diam, sama-sama logis.  Apa yang diperoleh dari kenyataan itu? Yang diperoleh ialah berpikir logis tidak menjamin diperolehnya kebenaran yang disepakati. Padahal, aturan itu seharusnya disepakati. Kalau begitu diperlukan alat lain. Alat itu ialah Empirisme.
Empirisisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang logis dan ada bukti empiris. Nah, dalam hal anak panah tadi, menurut Empirisisme yang benar adalah bergerak, sebab secara empiris dapat dibuktikan bahwa anak panah itu bergerak. Coba saja perut Anda menghadang anak panah itu, perut anda akan tembus, benda yang menembus sesuatu haruslah benda yang bergerak. Ya, memang, sesuatu yang diam tidak akan mampu menembus. Logis juga. Nah dengan Empirisisme inilah aturan (untuk mengatur manusia dan alam) itu dibuat.
 Tetapi nanti dulu, ternyata Empirisisme masih memiliki kekurangan. Kekurangan Empirisisme ialah karena ia belum terukur. Empirisisme hanya sampai pada konsep-konsep yang umum. Kata Empirisisme, air kopi yang baru diseduh ini panas, nyala api ini lebih panas, besi yang mendidih ini sangat panas. Kata Empirisisme, kelereng ini kecil, bulan lebih besar, bumi lebih besar lagi, matahari sangat besar. Demikianlah seterusnya. Empirisisme hanya menemukan konsep yang sifatnya umum. Konsep itu belum operasional, karena belum terukur. Jadi, masih diperlukan alat lain.
Alat lain itu ialah Positivisme. Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empirisme, yang terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting Positivisme. Jadi, hal panas tadi oleh Positivisme dikatakan air kopi ini 80 derajat celcius, air mendidih ini 100 derajat celcius, besi mendidih ini 1000 derajat celcius, ini satu meter panjangnya, ini satu ton beratnya, dan seterusnya. Ukuran-ukuran ini operasional, kuantitatif, tidak memungkinkan perbedaan pendapat. Sebagaimana Anda lihat, aturan untuk mengatur manusia dan aturan untuk mengatur alam yang kita miliki sekarang bersifat pasti dan rinci. Jadi, operasional. Bahkan dada dan pinggul sekarang ini ada ukurannya, katanya, ini dalam kerangka ukuran kecantikan. Dengan ukuran ini maka kontes kecantikan dapat dioperasikan. Kehidupan kita sekarang penuh oleh ukuran. 
Positivisme sudah dapat disetujui untuk memulai upaya membuat aturan untuk mengatur manusia dan mengatur alam. Kata Positivisme, ajukan logikanya, ajukan bukti empirisnya yang terukur. Tetapi bagaimana caranya? Kita masih memerlukan alat lain. Alat lain itu ialah Metode Ilmiah. Sayangnya, Metode Ilmiah sebenarnya tidak mengajukan sesuatu yang baru; Metode Ilmiah hanya mengulangi ajaran Positivisme, tetapi lebih operasional. Metode Ilmiah mengatakan, untuk memperoleh pengetahuan yang benar lakukan langkah berikut: logico-hypothetico-verificartif. Maksudnya, mula-mula buktikan bahwa itu logis, kemudian ajukan hipotesis (berdasarkan logika itu), kemudian lakukan pembuktian hipotesis itu secara empiris.
Dengan rumus Metode Ilmiah inilah kita membuat aturan itu. Metode Ilmiah itu secara teknis dan rinci menjelaskan dalam satu bidang ilmu yang disebut Metode Riset. Metode Riset menghasilkan Model-model Penelitian. Nah, Model-model Penelitian inilah yang menjadi instansi terakhir dan memang operasional dalam membuat aturan (untuk mengatur manusia dan alam) tadi.
 Dengan menggunakan Model Penelitian tertentu kita  mengadakan penelitian. Hasil-hasil penelitian itulah yang kita warisi sekarang berupa tumpukan pengetahuan sain dalam berbagai bidang sain. Inilah sebagian dari isi kebudayaan manusia. Isi kebudayaan yang lengkap ialah pengetahuan sain, filsafat dan mistik.
3.      Ukuran Kebenaran Pengetahuan Sain
 Ilmu berisi teori-teori. Jika Andamengambil buku Ilmu (sain) Pendidikan, maka Anda akan menemukan teori-teori tentang pendidikan. Ilmu Bumi membicarakan teori-teori tentang bumi, Ilmu Hayat membahas teori-teori tentang makhluk hidup. Demikian seterusnya. Jadi, isi ilmu ialah teori. Jika kita bertanya apa ukuran kebenaran sain, maka yang kita tanya ialah apa ukuran kebenaran teori-teori sain.
 Ada teori Sain Ekonomi: bila penawaran sedikit, permintaan banyak, maka harga akan naik. Teori ini sangat kuat, karena kuatnya maka ia ditingkatkan menjadi hukum, disebut hukum penawaran dan permintaan. Berdasarkan hukum ini, maka barangkali benar dihipotesiskan: Jika hari hujan terus, mesin pemanas gabah tidak diaktifkan, maka harga beras akan naik. Untuk membuktikan apakah hipotesis itu benar atau salah, kita cukup melakukan dua langkah. Pertama, kita uji apakah teori itu logis? Apakah logis jikahari hujan terus harga gabah akan naik? 
Jika hari hujan terus,maka orang tidak dapat menjemur padi, penawaran beras akan menurun, jumlah orang yang memerlukan tetap, orang berebutan membeli beras, kesempatan itu dimanfaatkan pedagang beras untuk memperoleh untung sebesar mungkin, maka harga beras akan naik. Jadi, logislah bila hujan terus harga beras akan naik. Hipotesis itu lolos ujian pertama, uji logika. Kedua, uji empiris. Adakan eksperimen. Buatlah hujan buatan selama mungkin, mesin pemanas gabah tidak diaktifkan, beras dari daerah lain tidak masuk. Periksa pasar. Apakah harga beras naik? Secara logika seharusnya naik. Dalam kenyataan mungkin saja tidak naik, misalnya karena orang mengganti makannya dengan selain beras. Jika eksperimen itu dikontrol dengan ketat, hipotesis tadi pasti didukung oleh kenyataan. Jika didukung oleh kenyataan (beras naik) maka hipotesis itu menjadi teori, dan teori itu benar, karena ia logis dan empiris.
Jika hipotesis terbukti, maka pada saatnya ia menjadi teori. Jika sesuatu teori selalu benar, yaitu jika teori itu selalu didukung bukti empiris, maka teori itu naik tingkat keberadaannya menjadi hukum atau aksioma.
 Agaknya banyak mahasiswa menyangka bahwa hipotesis bersifat mungkin benar mungkin salah, dengan kata lain, hipotesis itu kemungkinan benar atau salahnya sama besar, maupun seimbang,  Prasangkaan itu salah. 
Hipotesis (dalam sain) ialah pernyataan yang sudah benar secara logika, tetapi belum ada bukti empirisnya. Belum atau tidak ada bukti empiris bukanlah merupakan bukti bahwa hipotesis itu salah. Hipotesis benar, bila logis, titik. Ada atau tidak ada bukti empirisnya adalah soal lain. Dari sini tahulah kita bahwa kelogisan suatu hipotesis– juga teori – lebih penting ketimbang bukti empirisnya. Harap dicatat, bahwa kesimpulan ini penting.
Sumber, Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu. Bandung : PT Remaja Bosdakarya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar