Pengetahuan Sain
1. Objek
Pengetahuan Sain
Objek
pengetahuan sain (yaitu objek-objek yang diteliti sain) ialah semua objek yang
empiris. Jujun S. Suriasumantri (Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, 1994:
105) menyatakan bahwa objek kajian sain hanyalah objek yang berada dalam ruang
lingkup pengalaman manusia. Yang dimaksud pengalaman di sini ialah pengalaman
indera. Objek kajian sain haruslah
objek-objek yang empiris sebab bukti-bukti yang harus ia temukan adalah
bukti-bukti yang empiris. Bukti empiris ini diperlukan untuk menguji bukti
rasional yang telah dirumuskan dalam hipotesis.
Apakah objek yang boleh diteliti oleh sain itu
bebas? Artinya, apakah sain boleh meneliti apa saja asal empiris? Menurut sain
ia boleh meneliti apa saja, ia ebas; menurut filsafat akan tergantung pada
filsafat yang mana; menurut agama belum tentu bebas. Objek-objek yang dapat
diteliti oleh sain banyak sekali: alam, tetumbuhan, hewan, dan manusia, serta
kejadian-kejadian di sekitar alam, tetumbuhan, hewan dan manusia itu; semuanya
dapat diteliti oleh sain. Dari penelitian itulah muncul teori-teori sain.
Teori-teori itu berkelompok atau dikelompokkan dalam masing-masing cabang sain.
Teori-teori yang telah berkelompok itulah yang disebut struktur sain, baik
cabang-cabang sain maupun isi masing-masing cabang sain tersebut.
2. Cara
Memperoleh Pengetahuan Sain
Pengalaman
manusia sudah berkembang sejak lama. Yang dapat dicatat dengan baik ialah sejak
tahun 600-an SM. Yang mula-mula timbul agaknya ialah pengetahuan filsafat dan
hampir bersamaan dengan itu berkembang pula pengetahuan sain dan pengetahuan
mistik. Perkembangan sain didorong oleh paham Humanisme. Humanismei alah paham
filsafat yang mengajarkan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam.
Humanisme telah muncul pada zaman Yunani Lama (Yunani Kuno).
Sejak
zaman dahulu, manusia telah menginginkan adanya aturan untuk mengatur manusia.
Tujuannya ialah agar manusia itu hidup teratur. Hidup teratur itu sudah menjadi
kebutuhan manusia sejak dahulu. Untuk menjamin tegaknya kehidupan yang teratur
itu diperlukan aturan. Manusia juga
perlu aturan untuk mengatur alam. Pengalaman manusia menunjukkan bila alam
tidak diatur maka alam itu akan menyulitkan kehidupan manusia. Sementara itu
manusia tidak mau dipersulit oleh alam. Bahkan sebaiknya – kalau dapat –
manusia ingin alam itu mempermudah kehidupannya. Karena itu harus ada aturan
untuk mengatur alam. Bagaimana membuat
aturan untuk mengatur manusia dalam alam? Siapa yang dapat membuat aturan itu?
Orang Yunani Kuno sudah menemukan: manusia itulah yang membuat aturan itu.
Humanisme
mengatakan bahwa manusia mampu mengatur dirinya (manusia) dan alam. Jadi,
manusia itulah yang harus membuat aturan untuk mengatur manusia dan alam. Bagaimana membuatnya dan apa alatnya? Bila
aturan itu dibuat berdasarkan agama atau mitos, maka akan sulit sekali
menghasilkan aturan yang disepakati. Pertama, mitos itu tidak mencukupi untuk
dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur manusia, dan kedua, mitos itu
amat tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur alam.
Kalau begitu, apa sumber aturan itu? Kalau dibuat berdasarkan agama?
Kesulitannya ialah agama mana? Masing-masing agama menyatakan dirinya benar,
yang lain salah.
Jadi,
seandainya aturan itu dibuat berdasarkan agama maka akan banyak orang yang
menolaknya. Padahal aturan itu seharusnya disepakati oleh semua orang.
Begitulah kira-kira mereka berpikir.
Menurut mereka aturan itu harus dibuat berdasarkan dan bersumber pada
sesuatu yang ada pada manusia. Alat itu ialah akal. Mengapa akal? Pertama,
karena akal dianggap mampu, kedua, karena akal pada setiap roang bekerja
berdasarkan aturan yang sama. Aturan itu ialah logika alami yang ada pada akal
setiap manusia. Akal itulah alat dan sumber yang paling dapat disepakati. Maka,
Humanisme melahirkan Rasionalisme.
Rasionalisme ialah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan
pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan
akal pula.
Dicari
dengan akal ialah dicari dengan berpikir logis. Diukur dengan akal artinya
diuji apakah temuan itu logis atau tidak. Bila logis, benar; bila tidak, salah.
Nah, dengan akal itulah aturan untuk mengatur manusia dan alam itu dibuat. Ini
juga berarti bahwa kebenaran itu bersumber pada akal. Dalam proses pembuatan aturan itu, ternyata
temuan akal itu seringkali bertentangan. Kata seseorang ini logis, tetapi kata
orang lain itu logis juga. Padahal ini dan itu itu tidak sama, bahkan
kadang-kadang bertentangan. Orang-orang sophis pada zaman Yunani Kuno dapat membuktikan
bahwa bergerak sama dengan diam, kedua-duanya sama logisnya. Apakah anak panah
yang melesat dari busurnya bergerak atau diam? Dua-duanya benar. Apa itu
bergerak? Bergerak ialah bila sesuatu pindah tempat. Anak panah itu pindah dari
busur ke sasaran.
Jadi,
anak panah itu bergerak. Anak panah itu dapat juga dibuktikan diam. Diam ialah
bila sesuatu pada sesuatu waktu berada pada suatu tempat. Anak panah itu setiap
saat berada di suatu tempat. Jadi, anak panah itu diam. Ini pun benar, karena
argumennya juga logis. Jadi, bergerak sama dengan diam, sama-sama logis. Apa yang diperoleh dari kenyataan itu? Yang
diperoleh ialah berpikir logis tidak menjamin diperolehnya kebenaran yang
disepakati. Padahal, aturan itu seharusnya disepakati. Kalau begitu diperlukan
alat lain. Alat itu ialah Empirisme.
Empirisisme
ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang logis dan ada
bukti empiris. Nah, dalam hal anak panah tadi, menurut Empirisisme yang benar
adalah bergerak, sebab secara empiris dapat dibuktikan bahwa anak panah itu
bergerak. Coba saja perut Anda menghadang anak panah itu, perut anda akan
tembus, benda yang menembus sesuatu haruslah benda yang bergerak. Ya, memang,
sesuatu yang diam tidak akan mampu menembus. Logis juga. Nah dengan Empirisisme
inilah aturan (untuk mengatur manusia dan alam) itu dibuat.
Tetapi nanti dulu, ternyata Empirisisme masih
memiliki kekurangan. Kekurangan Empirisisme ialah karena ia belum terukur.
Empirisisme hanya sampai pada konsep-konsep yang umum. Kata Empirisisme, air
kopi yang baru diseduh ini panas, nyala api ini lebih panas, besi yang mendidih
ini sangat panas. Kata Empirisisme, kelereng ini kecil, bulan lebih besar, bumi
lebih besar lagi, matahari sangat besar. Demikianlah seterusnya. Empirisisme hanya
menemukan konsep yang sifatnya umum. Konsep itu belum operasional, karena belum
terukur. Jadi, masih diperlukan alat lain.
Alat
lain itu ialah Positivisme.
Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empirisme,
yang terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting Positivisme. Jadi, hal panas
tadi oleh Positivisme dikatakan air kopi ini 80 derajat celcius, air mendidih
ini 100 derajat celcius, besi mendidih ini 1000 derajat celcius, ini satu meter
panjangnya, ini satu ton beratnya, dan seterusnya. Ukuran-ukuran ini
operasional, kuantitatif, tidak memungkinkan perbedaan pendapat. Sebagaimana
Anda lihat, aturan untuk mengatur manusia dan aturan untuk mengatur alam yang
kita miliki sekarang bersifat pasti dan rinci. Jadi, operasional. Bahkan dada
dan pinggul sekarang ini ada ukurannya, katanya, ini dalam kerangka ukuran
kecantikan. Dengan ukuran ini maka kontes kecantikan dapat dioperasikan.
Kehidupan kita sekarang penuh oleh ukuran.
Positivisme
sudah dapat disetujui untuk memulai upaya membuat aturan untuk mengatur manusia
dan mengatur alam. Kata Positivisme, ajukan logikanya, ajukan bukti empirisnya
yang terukur. Tetapi bagaimana caranya? Kita masih memerlukan alat lain. Alat
lain itu ialah Metode Ilmiah.
Sayangnya, Metode Ilmiah sebenarnya tidak mengajukan sesuatu yang baru; Metode
Ilmiah hanya mengulangi ajaran Positivisme, tetapi lebih operasional. Metode
Ilmiah mengatakan, untuk memperoleh pengetahuan yang benar lakukan langkah
berikut: logico-hypothetico-verificartif.
Maksudnya, mula-mula buktikan bahwa itu logis, kemudian ajukan hipotesis
(berdasarkan logika itu), kemudian lakukan pembuktian hipotesis itu secara
empiris.
Dengan
rumus Metode Ilmiah inilah kita membuat aturan itu. Metode Ilmiah itu secara
teknis dan rinci menjelaskan dalam satu bidang ilmu yang disebut Metode Riset. Metode Riset menghasilkan
Model-model Penelitian. Nah, Model-model Penelitian inilah yang menjadi
instansi terakhir dan memang operasional dalam membuat aturan (untuk mengatur
manusia dan alam) tadi.
Dengan menggunakan Model Penelitian tertentu
kita mengadakan penelitian. Hasil-hasil
penelitian itulah yang kita warisi sekarang berupa tumpukan pengetahuan sain
dalam berbagai bidang sain. Inilah sebagian dari isi kebudayaan manusia. Isi
kebudayaan yang lengkap ialah pengetahuan sain, filsafat dan mistik.
3. Ukuran
Kebenaran Pengetahuan Sain
Ilmu berisi teori-teori. Jika Andamengambil
buku Ilmu (sain) Pendidikan, maka Anda akan menemukan teori-teori tentang
pendidikan. Ilmu Bumi membicarakan teori-teori tentang bumi, Ilmu Hayat
membahas teori-teori tentang makhluk hidup. Demikian seterusnya. Jadi, isi ilmu
ialah teori. Jika kita bertanya apa ukuran kebenaran sain, maka yang kita tanya
ialah apa ukuran kebenaran teori-teori sain.
Ada teori Sain Ekonomi: bila penawaran
sedikit, permintaan banyak, maka harga akan naik. Teori ini sangat kuat, karena
kuatnya maka ia ditingkatkan menjadi hukum, disebut hukum penawaran dan
permintaan. Berdasarkan hukum ini, maka barangkali benar dihipotesiskan: Jika
hari hujan terus, mesin pemanas gabah tidak diaktifkan, maka harga beras akan
naik. Untuk membuktikan apakah hipotesis itu benar atau salah, kita cukup
melakukan dua langkah. Pertama, kita uji apakah teori itu logis? Apakah logis
jikahari hujan terus harga gabah akan naik?
Jika
hari hujan terus,maka orang tidak dapat menjemur padi, penawaran beras akan
menurun, jumlah orang yang memerlukan tetap, orang berebutan membeli beras,
kesempatan itu dimanfaatkan pedagang beras untuk memperoleh untung sebesar
mungkin, maka harga beras akan naik. Jadi, logislah bila hujan terus harga
beras akan naik. Hipotesis itu lolos ujian pertama, uji logika. Kedua, uji
empiris. Adakan eksperimen. Buatlah hujan buatan selama mungkin, mesin pemanas
gabah tidak diaktifkan, beras dari daerah lain tidak masuk. Periksa pasar.
Apakah harga beras naik? Secara logika seharusnya naik. Dalam kenyataan mungkin
saja tidak naik, misalnya karena orang mengganti makannya dengan selain beras.
Jika eksperimen itu dikontrol dengan ketat, hipotesis tadi pasti didukung oleh
kenyataan. Jika didukung oleh kenyataan (beras naik) maka hipotesis itu menjadi
teori, dan teori itu benar, karena ia logis dan empiris.
Jika
hipotesis terbukti, maka pada saatnya ia menjadi teori. Jika sesuatu teori
selalu benar, yaitu jika teori itu selalu didukung bukti empiris, maka teori
itu naik tingkat keberadaannya menjadi hukum atau aksioma.
Agaknya banyak mahasiswa menyangka bahwa
hipotesis bersifat mungkin benar mungkin salah, dengan kata lain, hipotesis itu
kemungkinan benar atau salahnya sama besar, maupun seimbang, Prasangkaan itu salah.
Hipotesis (dalam
sain) ialah pernyataan yang sudah benar secara logika, tetapi belum ada bukti
empirisnya. Belum atau tidak ada bukti empiris bukanlah merupakan bukti bahwa
hipotesis itu salah. Hipotesis benar, bila logis, titik. Ada atau tidak ada
bukti empirisnya adalah soal lain. Dari sini tahulah kita bahwa kelogisan suatu
hipotesis– juga teori – lebih penting ketimbang bukti empirisnya. Harap
dicatat, bahwa kesimpulan ini penting.
Sumber, Tafsir,
Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu. Bandung :
PT Remaja Bosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar