Jumat, 30 Desember 2016

Tokoh-tokoh filsafat Analitik dan pemikirannya

Tokoh-tokoh filsafat Analitik dan pemikirannya

Pada dasarnya perkembangan filsafat analitika bahasa itu meliputi tiga aliran yang pokok yaitu‘atomisme logis’ (logical atomism), ‘Positivisme logis’ (logical empirism), dan ‘filsafat bahasa biasa’ (ordinary language philosophy). Pada pembahasan tokoh ini penulis hanya menguraikan tiga tokoh utama dalam perkembangan filsafat analitik tersebut, sebagai berikut:
  1. Gottlob Frege
Para filosof analitik berpendapat bahwa filsuf Jerman, Gottlob Frege (1848-1925), adalah filosof terpenting setelah Immanuel Kant. Frege hendak merumuskan logika yang rigorus sebagai metode berfilsafatnya. Dengan kata lain, filsafat itu sendiri pada intinya adalah logika. Dalam hal ini, ia dipengaruhi filsafat analitik, filsafat-logika, dan filsafat bahasa. Frege berpendapat bahwa dasar yang kokoh bagi matematika dapat ‘diamankan’ melalui logika dan analisis yang ketat terhadap logika dasar kalimat-kalimat. Cara itu juga bisa menentukan tingkat kebenaran suatu pernyataan.
Akar-akar analisis linguistik ditanam di lahan yang disiangi oleh seorang matematikawan bernama G. Frege, ia memulai sebuah revolusi logika (analitik), yang implikasinya masih dalam proses penanganan oleh filosof-filosof kontemporer. Ia menganggap bahwa logika sebetulnya bisa direduksi ke dalam matematika, dan yakin bahwa bukti-bukti harus selalu dikemukakan dalam bentuk langkah-langkah deduktif yang diungkapkan dengan gamblang.  Salah satu idenya yang paling berpengaruh adalah membuat perbedaan antara “arti” (sense) proposisi dan “acuan” (reference)-nya, dengan mengetengahkan bahwa proposisi memiliki makna hanya apabila mempunyai arti dan acuan.
Frege juga menyusun notasi baru yang memunkinkan terekpresikannya “penentu kuantitas” (kata-kata seperti “semua”, “beberapa” dan sebagainya) dalam bentuk simbol-simbol. Ia berharap para filosof bisa menggunakan notasi ini untuk menyempurnakan bentuk logis argumen mereka, sehingga memungkinkan mereka untuk jauh lebih dekat, daripada waktu-waktu sebelumnya, dengan ide pembuatan filsafat menjadi ilmu yang ketat.
  1. Bertrand Russell
 Bertrand Russel (1872-1970)  lahir dari keluarga bangsawan. Pada umur 2 dan 4 tahun berturut-turut ia kehilangan ibu dan ayahnya. Ia dibesarkan di rumah orang tua ayahnya. Di Cambrige, ia belajar ilmu pasti dan filsafat, antara lain pada A. Whitehead. Kita sudah mendengar bahwa George Moore termasuk sahabatnya. Selama hidupnya yang amat panjang, ia menulis banyak sekali, 71 buku dan brosur) tentang berbagai pokok, antara lain filsafat, masalah-masalah moral, pendidikan, sejarah, agama, dan politik. Pada tahun 1950 ia memperoleh hadiah Nobel bidang sastra. Namanya menjadi masyhur di seluruh dunia terutama karena pendapat-pendapatnya yang nonkonformistis tentang moral dan politik. Dari sudut ilmiah jasanya yang terbesar terdapat di bidang logaika Matematis.
Pemikiran filosofis Bertrand Russell yaitu ia mencoba menggabungkan logika Frege tersebut dengan empirisme yang sebelumnya telah dirumskan oleh David Hume.  Bagi Russell, dunia terdiri dari fakta-fakta atomis (atomic facts). Dalam  konteks ini, kalimat-kalimat barulah bisa disebut sebagai kalimat bermakna, jika kalimat tersebut berkorespondensi langsung dengan fakta-fakta atomik. Ludwig Wittgenstein (1889-1951) juga nantinya banyak dipengaruhi oleh Russell. Dia sendiri mempengaruhi Lingkaran Wina dan membantu membentuk aliran positivisme logis pada dekade 1920-30 an.
Jalan pemikiran Russell ini menawarkan jalan keluar untuk aliran atomisme logik. Atomisme logik berpendapat bahwa bahasa keseharian itu banyak menampilkan kekaburan arti. Russerl menawarkan dasar-dasar logico-epistemologik untuk bahasa. Russell mengetengahkan tentang fakta,  bentuk logika, dan bahasa ideal. Dia mengetengahkan prinsip dasarnya, yaitu: ada isomorphisme (kesepadanan) antara fakta dengan bahasa, dan dunia ini merupakan totalitas fakta-fakta, bukan benda. Fakta dalam pemikiran Russerl merupakan ciri-ciri atau relasi-relasi yang dimiliki oleh benda-benda.
Ia berpendapat bahwa grammar dari bahasa yang biasa kita gunakan sebenarnya tidak tepat. Baginya, dunia terdiri dari fakta-fakta atomis, dan hanya bahasa-bahasa yang mengacu pada fakta atomis inilah yang dapat disebut sebagai bahasa yang sahih. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa salah satu tugas terpenting filsafat adalah menganalisis proposisi-proposisi bahasa untuk menguji kesahihan ‘forma logis’ dari proposisi tersebut. untuk itu tugas filsafat adalah analisis logis yang disertai dengan sintesis logis.
Berdasarkan prinsip-prinsip pemikiran itulah maka Russerl menekankan bahwa konsep atomismenya tidak didasarkan pada mefisikanya melainkan lebih didasarkan pada logikanya karena menurutnya logika adalah yang paling dasar dalam filsafat, oleh karena itu pemikiran Russell dinamakan ‘atomisme logis’.
  1. Ludwig Wittgenstein
Ludwig Wittgenstein dilahirkan di wina (Austria) pada tanggal 26 April 1889 sebagai anak bungsu dari delapan anak. Ayahnya berasal dari famili yahudi yang telah memeluk agama Kristen Protestan dan ibunya beragama katolik. Ayahnya seorang insinyur yang dalam jangka waktu sepuluh tahun berhasil menjadi pemimpin suatu industri baja yang besar.
Pada Tahun 1906 Wittgenstein mulai belajar di suatu Sekolah Tinggi Teknik di Berlin. Setelah itu Ia pindah ke inggris dan melakukan penyelidikan tentang aeronautical selama tiga tahun. Karena tertarik kepada buku Principles of Mathematics tulisan Bertrand Russell, ia pergi ke Cambridge untuk belajar kepada Russell, ia mendapat kemajuan pesat dalam studi tentang logika. Setelah perang dunia I meletus, ia bergabung dengan tentara Austria sebagai sukarelawan dan ditawan oleh tentara Italia pada tahun 1918.  setelah dibebaskan ia mengajar di sekolah, tetapi pada tahun 1929, ia kembali ke Cambridge untuk berkecimpung dalam filsafat. Pada tahun 1939 ia mengganti G.E. Moore sebagai guru besar fislafat di Cambridge University, Inggris. Karyanya merupakan factor penting dalam timbulnya aliran-aliran Logical Positivism, Linguistic Analysis dan semantics.
Adapun pemikiran filosofis Ludwig Wittgenstein yaitu tebagi kedalam dua priode yakni: Periode pertama Tractatus Logico-philosophicus dan periode kedua Philosophical Investigation. pada periode pertama Wittgeinsten mengkritik bahasa filsafat yang dikatakannya bahwa penggunaan bahasa filsafat tidak memiliki struktur logis, sehingga ia mengungkapkan persoalan timbul karena para filosof yang menggunakan bahasa kurang tepat dalam mengungkapkan realitas melalui logika bahasa. Banyak ungkapan-ungkapan filsafat terutama ungkapan metafisis tidak melukiskan suatu realitas fakta dunia secara empiris, sehingga bahasa filsafat terutama metafisika, filsafat nilai, estetika, etika, dan cabang-cabang lainnya sebenarnya tidak mengungkapkan apa-apa. 
Sedangkan dalam philosophical Investigations ia menolak pendapatnya yang pertama. Menurutnya bahasa itu digunakan tidak hanya untuk mengungkapkan proposisi-proposisi logis melainkan digunakan dalam banyak cara (form of lifes) yang berbeda untuk mengungkapkan pembenaran, pertanyaan-pertanyaan, perintah, pengumuman  dan banyak lagi gejala-gejala yang dapat diungkapkan dengan kata-kata. Terdapat banyak sekali jenis-jenis yang berbeda dalam penggunaan bahasa.
Kemudian untuk menjelaskan bahwa bahasa dipakai dengan rupa-rupa cara, dalam Philosophical Investigations Wittgenstein mengintrodusir istilah language games(permainan-permainan bahasa), suatu permainan dapat dilukiskan sebagai aktivitas yang dilakukan menurut aturan.
Permainan bahasa ini menggambarkan aktivitas manusia. Jika ilmu pengetahuan memiliki permainan bahasanya sendiri, maka kita juga bisa berpartisipasi di dalam permainan bahasa agama-agama, permainan bahasa estetika, dan banyak permainan bahasa lainnya. Pada titik ini, kata-kata memiliki maknanya dari penggunaannya di dalam suatu permainan bahasa tertentu.
Dalam dua karya yang dibicarakan oleh Wittgenstein terdapat dua pandangan yang berbeda. Oleh karena itu sudah menjadi kebiasaan untuk membedakan Witgeinsten I dan Witgeinsten II. Dengan dua pandangan ini ia menjadi sumber inspirasi bagi dua aliran filosofis yang cukup penting, biarpun kedua-duanya tidak disetujui oleh Wittgeinsten  itu sendiri. Disatu pihak lingkungan Wina yang memegang peranan penting kira-kira satu dasawarsa sebelum prang dunia II. Di lain pihak gerakan filosofis yang di tunjukkan dengan pelbagai nama, antara lain, “filsafat analisis”. Gerakan ini mulai berkembang di Cambridge, tetapi sesudah perang dunia II terutama berpusat di Oxford. Terpengaruh oleh Wittgeinsten II, mereka berpendapat bahwa filsafat harus berpegang pada prinsip Don’t ask for the meaning, ask for the use (jangan tanyakan makna, tanyakanlah pemakaian bahasa).
            Sumber,  Filsafat Analitik. 2009.  diperoleh dari https://jaringskripsi.wordpress.com
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar