Senin, 12 Desember 2016

Dua Sayap Pendidikan



Dua Sayap Pendidikan

Di berbagai negara, kita menemukan banyak pejabat politik yang terjebak korupsi. Mereka memiliki gelar pendidikan tinggi.  Mereka juga memiliki nama baik di lingkungan sosialnya. Namun, latar belakang pendidikan tinggi, pengetahuan agama, serta nama baik sama sekali tidak menghalangi mereka untuk mencuri dan merugikan orang lain. Kecenderungan yang sama juga sering kita temukan di kalangan  pemuka agama. Mereka adalah orang-orang yang dianggap bijak, karena memiliki pengetahuan agama yang tinggi. Namun, kerap kali, mereka juga jatuh ke dalam sikap bejat yang sama. Korupsi, pemerkosaan, penipuan, serta beragam pelanggaran lainnya juga kerap mereka lakukan, karena kerakusan dan kekosongan batin yang mereka  alami. 
Kita juga sering mendengar berita tentang perilaku bejat para manajer dan direktur perusahaan-perusahaan besar. Mereka menggunakan segala cara, guna meraih keuntungan ekonomis. Mereka juga
tak segan untuk merugikan orang lain, guna mencapai tujuan itu. Kekayaan dan kecerdasan justru bisa digunakan untuk tujuan-tujuan  yang merusak. Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa pengetahuan yang luas tidak  menjamin orang bebas dari korupsi? Mengapa pengetahuan agama yang mendalam tidak mendorong orang menjadi lebih baik, melainkan justru menjadi lebih bejat dengan menggunakan pembenaran-pembenaran palsu dari pengetahuan agama yang dimilikinya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mesti kita jawab bersama. Akar dari gejala ini adalah cacat di dalam paradigma pendidikan  kita di Indonesia. Pendidikan kita tak punya sayap. Di dalam tradisi Filsafat Timur, pendidikan selalu dilihat sebagai kerja sama dari dua aspek yang tak terpisahkan, yakni pengetahuan dan pengalaman. 
Ketika dua sayap ini ada, barulah pendidikan bisa mendorong orang tidak hanya untuk cerdas, tetapi juga terbang menuju kebijaksanaan. Pengetahuan bisa diperoleh, ketika kita mendengar ajaran dari orang lain. Kita juga bisa memperoleh pengetahuan dari membaca  buku. Dengan pengetahuan yang ada, kita bisa meningkatkan mutu hidup kita, sekaligus membantu orang lain. Namun, pengetahuan  semata tidaklah cukup, karena kita masih menciptakan jarak antara  diri kita dengan kenyataan melalui konsep-konsep yang kita rumuskan. Yang lebih penting adalah pengalaman. Pengalaman disini adalah  per sentuhan langsung dengan kenyataan apa adanya, tanpa terlebih  dahulu dihalangi oleh konsep. Pola semacam ini dapat diperoleh, jika orang melakukan refleksi, yakni melihat jauh ke dalam dirinya sendiri,  guna memahami jati diri sejatinya sebagai manusia. Inilah kiranya yang  kurang di dalam paradigma pendidikan di Indonesia. Pemahaman akan jati diri sejati berarti orang bergerak melampaui  segala bentuk pemahaman yang terkait dengan identitas sosial. 
Kita bukanlah identitas sosial kita. Itu hanya satu bagian kecil dari kemanusiaan kita. Pemahaman akan jati diri sejati, ditambah dengan  pengetahuan yang luas, akan mendorong orang masuk ke dalam kebijaksanaan Ketika pendidikan tidak bersayap, ia justru akan menghasilkan  manusia-manusia bodoh. Ketika pendidikan hanya memiliki satu sayap, ia akan rapuh dan akan menghasilkan manusia-manusia yang cacat. Ketika pendidikan hanya berfokus pada pengetahuan, ia akan menghasilkan manusia-manusia cerdas yang siap menipu dan korupsi, ketika ada kesempatan. Ketika pendidikan hanya berfokus  pada pengalaman, ia akan menghasilkan manusia-manusia yang tidak  terampil, dan tidak memiliki arah.
 Kita tidak perlu lagi orang pintar. Sudah banyak orang pintar di  muka bumi ini. Yang kita butuhkan adalah orang yang hidup dalam  dua sayap pendidikan, yakni pengetahuan dan pengalaman. Dengan pengetahuan maka kita akan tahu seseuatu yang belum kita ketahuai dan dengan pengalaman kita bisa belajar untuk tahu mana pengalaman yang baik dan mana pengalaman yang buruk seperti kata pepatah ‘guru terbaik dalam hidup adalah pengalaman’ . Jadi buat apa gelar tinggi dan pengetahuan agama yang luas, jika itu hanya  digunakan untuk membenarkan perilaku bejat di dalam kehidupan? Buat apa gelar tinggi dan tampilan memikat, namun hatinya kosong  dan menderita, sehingga menciptakan penderitaan tidak hanya untuk  dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain.
Sumber, A. Wattimena, Reza A. 2016. Tentang Manusia. Yogyakarta: Maharsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar