Sabtu, 10 Desember 2016

Filsafat Perennial



Filsafat Perennial
Salah satu filsafat yang masih “baru” ialah Filsafat Perennial. Istilah perennial berasal dari bahasa Latin perennis yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Inggris perennial yang berarti kekal.  Dengan demikian, Filsafat Perennial (Philosophia Perennis) adalah filsafat yang dipandang dapat menjelaskan segala kejadian yang bersifat hakiki, menyangkut kearifan yang diperlukan dalam menjalani hidup yang benar, yang menjadi hakikat seluruh agama dan tradisi besar spiritualitas manusia  
Hakikat itu menjadi inti pembicaraan Filsafat Perennial, yaitu adanya yang suci (The Sacred) atau yang satu (The One) dalam seluruh manifestasinya seperti dalam agama, filsafat, seni, dan sain. Jadi, dalam definisi teknisnya Filsafat Perennial ialah pengetahuan filsafat tentang yang selalu ada. Dalam pertengahan abad 19 mempopulerkan istilah perennial melalui bukunya  The Perennial Philosophy mengemukakan bahwa hakikat Filsafat Perennial, ada tiga yaitu metafiika, psikologi dan etika (The Perennial Philosophy, 1945:vii).
Metafisika untuk mengetahui adanya hakikat realitas Ilahi yang merupakan substansi dunia ini baik yang material, biologis maupun intelektual. Psikologi adalah jalan untuk mengetahui adanya sesuatu dalam diri manusia (yaitu soul) yang identik dengan Realitas Ilahi. Dan etika adalah yang meletakkan tujuan kahir kehidupan manusia. Dengan demikian, maka Filsafat Perennial memperlihatkan kaitan seluruh eksistensi yang ada di alam semester ini dengan Realitas Ilahi itu. Realitas pengetahuan tersebut hanya dapat dicapai melalui apa yang disebut Plotinus intelek atau soul atau spirit yang jalannya pun hanya melalui tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-simbol, dan sarana-sarana yang diyakini oleh kalangan perennialis sebagai berasal dari Tuhan.
 Pengenalan metafisika lebih dahulu sebelum pengetahuan lainnya mungkin disebabkan karena perkembangan filsafat pada awalnya adalah metafisika, sehingga untuk memahami isi alam harus dipahami lebih dahulu wujud Tuhan. Mengenai psikologi sebagai hal kedua yang harus dikenali adanya karena kenyataan bahwa Tuhan sebagai tujuan  merupakan sesuatu yang tidak terbatas yang hanya dapat diketahui oleh bagian dari unsur “dalam” manusia. Atas dasar tersebut dapat dikemukakan bahwa pembicaraan tentang cara mengetahui (epistemologi) objek Filsafat Perennial sama artinya  dengan pembicaraan tentang proses batin manusia “menangkap” Realitas Absolut itu
 Metafisika Filsafat Perennial mengatakan bahwa eksistensi-eksistensi tertata secara hirarkis. Realitas selalu saling terkait, jumlahnya meningkat ketika level-nya naik. Melalui Filsafat Perennial disadari adanya Yang Infinite dibalik kenyataan ini (level of reality). Juga dalam diri manusia (level of selfhood) yang terdiri dari body, mind, dan soul, dipercayai adanya yang disebut spirit (roh). Alam semesta dan manusia pada dasarnya hanyalah tajalli atau penampakan infinite atau spirit yang dalam Islam disebut al-Haqq. Karena adanya dua level ini maka diyakini dunia ini bersifat hirarkis. Tingkat-tingkat eksistensi ini menjelaskan bahwa tradisi (agama misalnya) adalah jalan yang memberi tahu kita tentang cara menempuh “pendakian” dan tingkat eksistensi yang lebih rendah, yaitu kehidupan sehari-hari, ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu Tuhan melalui pengalaman mistis atau pengalaman kesatuan.
 Wujud realini dapat disamakan dengan klaim Realisme mengenai apa yang tampak nyata. Tetapi real di sini adalah real dengan sendirinya. Bagi orang yang telah terbiasa dengan Rasionalisme atau Empirisme pembedaan ini agak sulit dilakukan. Bukankah manusia sudah real lalu ada realitas lain yang lebih real yang tampak? Mengenai hal ini Houston Smith mengemukakan alegori Plato sebagai analognya. Mengenai alegori dalam legenda Plato itu orang yang punya bayangan orang itu adalah sesuatu yang real, tetapi orang yang punya bayangan adalah lebih real dibandingkan dengan bayangannya. Di dalam alegori itu hendak digambarkan juga(oleh Plato) bahwa manusia yang tidak dilengkapi dengan “cahaya” akan terus berkutat pada bentuk tertentu dan tidak akan tiba pada dimensi yang lebih tinggi. Hanya dengan “cahaya” itulah manusia akan mampu melihat adanya dimensi lain yang lebih real daripada ia lihat sekarang.
 Inti alegoriitu adalah untuk menggambarkan kemungkinan adanya sesuatu kehidupan yang lebih tinggi yang sekarang sulit dipahami karena manusia tidak mampu ikut serta dalam penampakannya. Manusia dikelilingi oleh benda-benda, benda-benda itu membatasi manusia untuk meningkat ke kualitas lebih tinggi. Manusia mampu meningkat ke tingkat lebih tinggi itu dengan kemampuan “cahaya”. Dengan demikian, jelaslah bahwa ada hirarki realitas.  Realitas tanpa batas hanya dapat diungkapkan melalui citra-citra.
Melalui pencitraan itu realitas tanpa batas dapat diukur dalam enam hal yakni energi, durasi, ruang lingkup, kesatuan, nilai penting, dan kebaikan. Energi atau kekuatan misalnya, merupakan suatu pengaruh yang menyebabkan yang lain memberikan respon atas keberadaannya. William James mengatakan bahwa dikatakan real jika sesuatu menyebabkan kita berkewajiban untuk berurusan dengannya.
 Suatu wujud dikatakan tak terhingga jika ia memasuki enam kategori di atas. Misalnya jika energi atau powertak terhingga, ia Maha Kuasa, jika durasi tak terhingga, artinya durasinya tak terputus, maka ia Abadi; jika ruang lingkupnya tak terbatas, ia Ada dimana-mana; jika kesatuannya tanpa syarat, ia Murni (tidak memuat apapun); jika nilai pentingnya diutamakan, ia menjadi Mutlak; jika kebaikannya ditonjolkan, ia Mahasempurna. Kesemuanya itu adalah Tuhan.  Pembicaraan mengenai objek utama Filsafat Perennial tentu akan sulit bila tidak dihubungkan dengan alam sebagai citraan Tuhan. Tuhan dan alam sesuai dengan hirarkinya masing-masing harus dibicarakan. Pembicaraan ini berakibat pada penciptaan eksistensi yang hirarkis dari atas ke bawah, yang lebih atas berarti lebih real yaitu Godheadatau Yang Tak Terhingga, yaitu Tuhan menyatakan adanya level lebih real bukan berarti level di bawahnya tidak real melainkan kurang real dibandingkan dengan eksistensi level di atasnya.
 Psikologi. Manusia adalah makhluk yang mencerminkan alam raya, demikian juga sebaliknya. Manusia suatu saat dapat menjadi makrokosmos pada saat yang lain menjadi mikrokosmos. Kedua kemungkinan itu akan berpengaruh pada penilaian mana yang lebih baik dalam hirarki kemanusiaan. Yang terbaik dalam diri manusia adalah yang paling “dalam”, ia adalah basis dan dasar bagi wujud manusia. Pada basis yang paling dalam inilah kaum sufi menemukan suatu lokus percakapan antara mansuia dengan Tuhan.
  Untuk memahami lebih jauh tentang kondisi “dalam” manusia, Filsafat Perennial melihat dua kecenderungan dalam manusia, yaitu Aku-Objek (me) yang bersifat terbatas dan Aku-Subyek (I) yang dalam kesadarannya tentang keterbatasan ini mampu membuktikan bahwa dalam dirinya sendiri ia bebas dari keterbatasannya.  Filsafat Perennial yang mencoba mencari keabadian, memilih Aku-Subyek yang tak terhingga yang menenggelamkan diri pada pusat diri yang paling dalam, menutup segala permukaan inderawi, persepsi maupun pemikiran, dibungkus dalam kantung jiwa yang bersifat Ilahi, sehingga masuk pada suatu pencapaian yang bukan jiwa, bukan personal, melainkan Segala-Diri (all-self) yang melampaui segala kedirian.
Filsafat Perennial menggariskan bahwa di dalam manusia “menginkarnasi” Tuhan yang tak terhingga, jika manusia mampu membuang penutup-penutup akal indrawi, membuang kerangkeng materi dan terbang melampaui ruang dan waktu. Kondisi semacam itulah mungkin yang diungkapkan oleh Gabriel Marcel “Semakin dalam aku menjangkau diriku, semakin tampak ia melampaui diriku”. Manusia mampu menangkap limpahan Aku-Subyek yang tak terbatas di saat sedang tenggelam dalam tugas yang tidak memberikan sedikitpun perhatian pada kepentingan pribadi. Dalam bahasa I-Metidak ada lagi meyang tersisa. Maqamitu dapat dicapai melalui empat level. Pertama, sebuah kehidupan yang secara primer diidentikkan dengan kesenangan dan kebutuhan fisik (memberi atau menerima, hidup sekedar menghabiskan umur) akan bersifat atau bernilai pinggiran;
kedua seseorang yang dapat mengembangkan perhatian pada akal, ini dapat menjadi diri yang menarik; ketiga, jika manusia dapat beralih pada hati, ia akan menjadi orang baik; keempat, jika ia dapat melewatinya dan sampai ke roh, yang menjaga dari lupa diri dan mempertahankan egalitarianisme yakni kepentingan pribadi sama dengan kepentingan orang lain, ia akan menjadi orang sempurna (Houston Smith, 1979:18).
 Filsafat Perennial bukan berarti tidak menghargai akal. Namun dalam menghargai akal itu yang dihargai ialah orang yang menggunakannya bukan pada kemampuan akal itu. Etika. Suasana batin tertentu pada tataran psikologis ternyata sanggup menembus sampai kesejatiannya. Itu diperoleh melalui metode-metode tertentu. Metode itu ialah metode yang biasanya digunakan oleh pejalan mistik atau suluk. Tetapi Filsafat Perennial tidak membahas itu secara rinci.
 Etika adalah kumpulan untuk mengefektifkan usaha transformasi diri yang akan memungkinkan untuk mengalami dunia dengan cara baru. Melakukan perubahan, reformasi dan pengaturan akan membawa ke arah kondisi diri yang baru, mencakup bagaimana prinsip-prinsip untuk mengetahui dunia secara lebih sejati dari sekedar penampakannya apa adanya. Isi etika adalah bentuk-bentuk kerendahatian, kedermawanan, ketulusan.
Kerendahhatian merupakan kapasitas untuk membuat jarak diri dengan kepentingan pribadinya, menjauhkan ego sehingga ia dapat melihatnya secara objektif dan akurat. Tiga kebaikan utama ini masing-masing berkaitan dengan tatanan manusia. Ketulusan adalah kemampuan untuk mengetahui benda-benda secara aktual dan objektif. Kedermawanan adalah melihat orang lain seperti pada dirinya sendiri, sedangkan kerendahhatian adalah melihat diri sendiri seperti orang lain.
Sumber, Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu. Bandung: PT Remaja Bosdakarya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar