Filsafat Perennial
Salah
satu filsafat yang masih “baru” ialah Filsafat Perennial. Istilah perennial
berasal dari bahasa Latin perennis yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa
Inggris perennial yang berarti kekal. Dengan demikian, Filsafat Perennial
(Philosophia Perennis) adalah filsafat yang dipandang dapat menjelaskan segala
kejadian yang bersifat hakiki, menyangkut kearifan yang diperlukan dalam
menjalani hidup yang benar, yang menjadi hakikat seluruh agama dan tradisi besar
spiritualitas manusia
Hakikat
itu menjadi inti pembicaraan Filsafat Perennial, yaitu adanya yang suci (The
Sacred) atau yang satu (The One) dalam seluruh manifestasinya seperti dalam
agama, filsafat, seni, dan sain. Jadi, dalam definisi teknisnya Filsafat
Perennial ialah pengetahuan filsafat tentang yang selalu ada. Dalam pertengahan
abad 19 mempopulerkan istilah perennial melalui bukunya The Perennial Philosophy mengemukakan bahwa
hakikat Filsafat Perennial, ada tiga yaitu metafiika, psikologi dan etika (The
Perennial Philosophy, 1945:vii).
Metafisika
untuk mengetahui adanya hakikat realitas Ilahi yang merupakan substansi dunia
ini baik yang material, biologis maupun intelektual. Psikologi adalah jalan
untuk mengetahui adanya sesuatu dalam diri manusia (yaitu soul) yang identik
dengan Realitas Ilahi. Dan etika adalah yang meletakkan tujuan kahir kehidupan
manusia. Dengan demikian, maka Filsafat Perennial memperlihatkan kaitan seluruh
eksistensi yang ada di alam semester ini dengan Realitas Ilahi itu. Realitas
pengetahuan tersebut hanya dapat dicapai melalui apa yang disebut Plotinus
intelek atau soul atau spirit yang jalannya pun hanya melalui tradisi-tradisi,
ritus-ritus, simbol-simbol, dan sarana-sarana yang diyakini oleh kalangan
perennialis sebagai berasal dari Tuhan.
Pengenalan metafisika lebih dahulu sebelum
pengetahuan lainnya mungkin disebabkan karena perkembangan filsafat pada awalnya
adalah metafisika, sehingga untuk memahami isi alam harus dipahami lebih dahulu
wujud Tuhan. Mengenai psikologi sebagai hal kedua yang harus dikenali adanya karena
kenyataan bahwa Tuhan sebagai tujuan merupakan sesuatu yang tidak terbatas yang
hanya dapat diketahui oleh bagian dari unsur “dalam” manusia. Atas dasar
tersebut dapat dikemukakan bahwa pembicaraan tentang cara mengetahui
(epistemologi) objek Filsafat Perennial sama artinya dengan pembicaraan tentang proses batin
manusia “menangkap” Realitas Absolut itu
Metafisika Filsafat Perennial mengatakan bahwa
eksistensi-eksistensi tertata secara hirarkis. Realitas selalu saling terkait,
jumlahnya meningkat ketika level-nya naik. Melalui Filsafat Perennial disadari
adanya Yang Infinite dibalik kenyataan ini (level of reality). Juga dalam diri
manusia (level of selfhood) yang terdiri dari body, mind, dan soul, dipercayai
adanya yang disebut spirit (roh). Alam semesta dan manusia pada dasarnya
hanyalah tajalli atau penampakan infinite atau spirit yang dalam Islam disebut
al-Haqq. Karena adanya dua level ini maka diyakini dunia ini bersifat hirarkis.
Tingkat-tingkat eksistensi ini menjelaskan bahwa tradisi (agama misalnya) adalah
jalan yang memberi tahu kita tentang cara menempuh “pendakian” dan tingkat
eksistensi yang lebih rendah, yaitu kehidupan sehari-hari, ke tingkat yang lebih
tinggi, yaitu Tuhan melalui pengalaman mistis atau pengalaman kesatuan.
Wujud realini dapat disamakan dengan klaim
Realisme mengenai apa yang tampak nyata. Tetapi real di sini adalah real dengan
sendirinya. Bagi orang yang telah terbiasa dengan Rasionalisme atau Empirisme
pembedaan ini agak sulit dilakukan. Bukankah manusia sudah real lalu ada realitas
lain yang lebih real yang tampak? Mengenai hal ini Houston Smith mengemukakan
alegori Plato sebagai analognya. Mengenai alegori dalam legenda Plato itu orang
yang punya bayangan orang itu adalah sesuatu yang real, tetapi orang yang punya
bayangan adalah lebih real dibandingkan dengan bayangannya. Di dalam alegori itu
hendak digambarkan juga(oleh Plato) bahwa manusia yang tidak dilengkapi dengan
“cahaya” akan terus berkutat pada bentuk tertentu dan tidak akan tiba pada
dimensi yang lebih tinggi. Hanya dengan “cahaya” itulah manusia akan mampu
melihat adanya dimensi lain yang lebih real daripada ia lihat sekarang.
Inti alegoriitu adalah untuk menggambarkan
kemungkinan adanya sesuatu kehidupan yang lebih tinggi yang sekarang sulit
dipahami karena manusia tidak mampu ikut serta dalam penampakannya. Manusia
dikelilingi oleh benda-benda, benda-benda itu membatasi manusia untuk meningkat
ke kualitas lebih tinggi. Manusia mampu meningkat ke tingkat lebih tinggi itu dengan
kemampuan “cahaya”. Dengan demikian, jelaslah bahwa ada hirarki realitas. Realitas tanpa batas hanya dapat diungkapkan
melalui citra-citra.
Melalui
pencitraan itu realitas tanpa batas dapat diukur dalam enam hal yakni energi, durasi,
ruang lingkup, kesatuan, nilai penting, dan kebaikan. Energi atau kekuatan
misalnya, merupakan suatu pengaruh yang menyebabkan yang lain memberikan respon
atas keberadaannya. William James mengatakan bahwa dikatakan real jika sesuatu
menyebabkan kita berkewajiban untuk berurusan dengannya.
Suatu wujud dikatakan tak terhingga jika ia
memasuki enam kategori di atas. Misalnya jika energi atau powertak terhingga,
ia Maha Kuasa, jika durasi tak terhingga, artinya durasinya tak terputus, maka ia
Abadi; jika ruang lingkupnya tak terbatas, ia Ada dimana-mana; jika kesatuannya
tanpa syarat, ia Murni (tidak memuat apapun); jika nilai pentingnya diutamakan,
ia menjadi Mutlak; jika kebaikannya ditonjolkan, ia Mahasempurna. Kesemuanya
itu adalah Tuhan. Pembicaraan mengenai
objek utama Filsafat Perennial tentu akan sulit bila tidak dihubungkan dengan
alam sebagai citraan Tuhan. Tuhan dan alam sesuai dengan hirarkinya
masing-masing harus dibicarakan. Pembicaraan ini berakibat pada penciptaan
eksistensi yang hirarkis dari atas ke bawah, yang lebih atas berarti lebih real
yaitu Godheadatau Yang Tak Terhingga, yaitu Tuhan menyatakan adanya level lebih
real bukan berarti level di bawahnya tidak real melainkan kurang real
dibandingkan dengan eksistensi level di atasnya.
Psikologi. Manusia adalah makhluk yang
mencerminkan alam raya, demikian juga sebaliknya. Manusia suatu saat dapat
menjadi makrokosmos pada saat yang lain menjadi mikrokosmos. Kedua kemungkinan
itu akan berpengaruh pada penilaian mana yang lebih baik dalam hirarki
kemanusiaan. Yang terbaik dalam diri manusia adalah yang paling “dalam”, ia
adalah basis dan dasar bagi wujud manusia. Pada basis yang paling dalam inilah
kaum sufi menemukan suatu lokus percakapan antara mansuia dengan Tuhan.
Untuk
memahami lebih jauh tentang kondisi “dalam” manusia, Filsafat Perennial melihat
dua kecenderungan dalam manusia, yaitu Aku-Objek (me) yang bersifat terbatas
dan Aku-Subyek (I) yang dalam kesadarannya tentang keterbatasan ini mampu
membuktikan bahwa dalam dirinya sendiri ia bebas dari keterbatasannya. Filsafat Perennial yang mencoba mencari
keabadian, memilih Aku-Subyek yang tak terhingga yang menenggelamkan diri pada
pusat diri yang paling dalam, menutup segala permukaan inderawi, persepsi maupun
pemikiran, dibungkus dalam kantung jiwa yang bersifat Ilahi, sehingga masuk
pada suatu pencapaian yang bukan jiwa, bukan personal, melainkan Segala-Diri
(all-self) yang melampaui segala kedirian.
Filsafat
Perennial menggariskan bahwa di dalam manusia “menginkarnasi” Tuhan yang tak
terhingga, jika manusia mampu membuang penutup-penutup akal indrawi, membuang
kerangkeng materi dan terbang melampaui ruang dan waktu. Kondisi semacam itulah
mungkin yang diungkapkan oleh Gabriel Marcel “Semakin dalam aku menjangkau diriku,
semakin tampak ia melampaui diriku”. Manusia mampu menangkap limpahan
Aku-Subyek yang tak terbatas di saat sedang tenggelam dalam tugas yang tidak memberikan
sedikitpun perhatian pada kepentingan pribadi. Dalam bahasa I-Metidak ada lagi
meyang tersisa. Maqamitu dapat dicapai melalui empat level. Pertama, sebuah
kehidupan yang secara primer diidentikkan dengan kesenangan dan kebutuhan fisik
(memberi atau menerima, hidup sekedar menghabiskan umur) akan bersifat atau
bernilai pinggiran;
kedua
seseorang yang dapat mengembangkan perhatian pada akal, ini dapat menjadi diri
yang menarik; ketiga, jika manusia dapat beralih pada hati, ia akan menjadi
orang baik; keempat, jika ia dapat melewatinya dan sampai ke roh, yang menjaga
dari lupa diri dan mempertahankan egalitarianisme yakni kepentingan pribadi
sama dengan kepentingan orang lain, ia akan menjadi orang sempurna (Houston
Smith, 1979:18).
Filsafat Perennial bukan berarti tidak
menghargai akal. Namun dalam menghargai akal itu yang dihargai ialah orang yang
menggunakannya bukan pada kemampuan akal itu. Etika. Suasana batin tertentu
pada tataran psikologis ternyata sanggup menembus sampai kesejatiannya. Itu
diperoleh melalui metode-metode tertentu. Metode itu ialah metode yang biasanya
digunakan oleh pejalan mistik atau suluk. Tetapi Filsafat Perennial tidak
membahas itu secara rinci.
Etika adalah kumpulan untuk mengefektifkan
usaha transformasi diri yang akan memungkinkan untuk mengalami dunia dengan
cara baru. Melakukan perubahan, reformasi dan pengaturan akan membawa ke arah
kondisi diri yang baru, mencakup bagaimana prinsip-prinsip untuk mengetahui
dunia secara lebih sejati dari sekedar penampakannya apa adanya. Isi etika
adalah bentuk-bentuk kerendahatian, kedermawanan, ketulusan.
Kerendahhatian
merupakan kapasitas untuk membuat jarak diri dengan kepentingan pribadinya,
menjauhkan ego sehingga ia dapat melihatnya secara objektif dan akurat. Tiga
kebaikan utama ini masing-masing berkaitan dengan tatanan manusia. Ketulusan
adalah kemampuan untuk mengetahui benda-benda secara aktual dan objektif.
Kedermawanan adalah melihat orang lain seperti pada dirinya sendiri, sedangkan
kerendahhatian adalah melihat diri sendiri seperti orang lain.
Sumber, Tafsir,
Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu. Bandung:
PT Remaja Bosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar