5 Perbedaan Mendasar Sistem Pendidikan di Indonesia dan
Luar Negeri
1.
Berkurangnya
masa-masa bermain anak
Usia balita dan kanak-kanak adalah masa yang paling menyenangkan bagi
seorang anak, karena di waktu itu mereka dapat belajar banyak hal sembari bermain.
Namun di Indonesia, pengenalan pendidikan sejak dini sudah mulai diterapkan.
Bahkan ada yang masih dalam masa balita, seperti memasukkannya ke playgroup dan
Taman Kanak-kanak sampai dengan pemberian kursus privat.
Berkurangnya masa-masa bermain anak. Hal ini
disebabkan ada persyaratan khusus ketika sang anak akan masuk Sekolah Dasar,
minimal sudah dapat membaca. Memang bagus, karena
tujuannya agar seorang anak dapat belajar bersosialisasi dan melatih motorik
dan daya pikir mereka. Namun hal ini secara tidak
langsung akan berdampak pada masa kanak-kanak mereka yang akan hilang di usia yang masih terlalu dini tersebut,
sehingga mereka akan mulai mengenal stres. Lalu bagaimana dengan di luar negeri? Salah satu contohnya
di Finlandia, seorang anak dapat mulai masuk ke jenjang pendidikan dasar ketika
mereka sudah berusia 7 tahun. Sebelum itu, maka mereka dapat mengeksplorasi apa
yang mereka inginkan, salah satunya adalah bermain.
2.
Kelas
Unggulan dan Kelas Biasa
Mungkin di seluruh negara di luar negeri tidak mengenal sistem pembagian
kelas yang berisikan anak-anak pintar saja atau disebut kelas unggulan dan
kelas yang berisikan siswa atau mahasiswa biasa dengan grade standar. Rata-rata
semua orang akan dikumpulkan dalam satu kelas yang hanya dibedakan berdasarkan
jumlahnya saja. Seperti kelas 1A, 1B dan seterusnya. Sedangkan di Indonesia ada
pembagian kelas unggulan dan non-unggulan yang justru secara tidak langsung
dapat menciptakan gap atau tembok pembatas antara siswa pintar dan yang biasa.
Kelas unggulan dan kelas biasa memang jika dilihat dari sudut pandang
pendidikan, salah satu tujuannya adalah agar fokus siswa atau mahasiswa yang
pintar tidak terpecah ketika dicampur dengan yang biasa dan mereka dapat
bersaing dengan sesama orang cerdas dalam kelasnya. Namun secara tidak
langsung, sisi psikologis dari yang menempati kelas unggulan dan non-unggulan
tercipta. Akan ada rasa canggung dari siswa atau mahasiswa yang ditempatkan
dalam dua jenis kelas berbeda tersebut.
3.
Jam Belajar
Lebih
Di luar negeri, jam belajar untuk hal-hal yang berbau teori sangat terbatas
dan selebihnya akan diisi dengan professional development dan praktik. Hal ini
sejalan seperti yang pernah dikatakan oleh mantan Ketua PAN, Amin Raiz, yang
menjelaskan bahwa Indonesia masih menganut sistem spoon feeding, sehingga guru hanya menjadi
sumber satu-satunya.
Selain itu, tambahan-tambahan ekstrakurikuler sampai dengan kursus atau
bimbingan belajar juga menambah panjang jam belajar seseorang yang
mengakibatkan penat dan capek tidak hanya fisik saja, melainkan juga pikiran.
4.
Masa
Orientasi di Awal Masuk Sekolah
Tentunya hampir semua orang di
Indonesia pernah mengalami MOS atau Masa Orientasi Sekolah atau OSPEK atau
Orientasi Pengenalan Kampus. Walaupun sudah banyak kasus dan pernah diwacanakan
untuk dilarang diberlakukan di semua sekolah atau universitas di Indonesia,
namun kegiatan ini kerap saja dilakukan.
Di Indonesia MOS
dan OSPEK selalu diisi dengan aktivitas-aktivitas yang didominasi untuk
mempermalukan para orang baru. Seperti mengenakan topi dari tas plastik sampai
dengan memakai kaos kaki berbeda warna. Banyak panitia yang akan mengatakan
bahwa tujuannya agar orang baru tersebut dapat kuat mental dan fisik sebelum
benar-benar menjadi siswa atau mahasiswa di suatu sekolah atau universitas.
Akan tetapi ditilik dari sisi
fungsinya yang benar-benar berguna, apakah ada manfaat dari MOS dan OSPEK
tersebut? Bahkan para orang tua juga kerap khawatir ketika anak-anak mereka
akan berangkat mengikuti kegiatan tersebut. Jika di Indonesia orientasi pengenalannya seperti itu, di luar negeri,
salah satu contohnya di Amerika Serikat justru dilakukan dengan cara yang lebih
positif. Para siswa atau mahasiswa baru akan diajak berkeliling dan mengikuti
beberapa seminar juga kajian agar mereka lebih mengenal sekolah dan kampusnya.
Tidak hanya pengenalan kampus dan sekolah saja, ada pula pemberian informasi
terkait segala hal yang diberikan.
5.
Hasil Akhir
Adalah Segalanya
Memang segala macam ujian akan dinilai dengan hasil akhir sebagai
resultnya. Hal ini diterapkan di semua jenjang pendidikan di Indonesia. Bahkan
sampai ada standarisasi khusus yang banyak membuat para siswa pada khususnya
stres dan depresi karena harus mencapai nilai minimal setara standarisasi
sesuai dengan yang ditentukan pemerintah.
Di kebanyakan jenjang pendidikan di
luar negeri, contohnya saja di Australia, hasil akhir bukanlah segala-galanya.
Semua pendidik akan lebih menitikberatkan pada sektor prosesnya daripada hasil
akhir. Jika dalam prosesnya saja berantakan, maka dapat diketahui bahwa hasil
akhirnya juga amburadul.
Selain hasil akhir,
dengan banyaknya materi yang diberikan dengan jam belajar yang cukup lama juga
membuat seseorang tidak dapat mencerna pelajaran atau segala informasi yang
diberikan karena otak terlanjur ‘panas’ dan susah untuk digunakan mengingat
secara detail. Sedangkan di luar negeri, materi yang diberikan hanyalah yang
berupa poin khususnya saja dan jam pendidikannya akan lebih ditikberatkan pada
praktik, sehingga seorang siswa atau mahasiswa akan lebih mengerti dan paham
secara langsung daripada hanya menghafal teori dan materi.
Walaupun ada beberapa poin yang
menjadikan sistem dan kualitas pendidikan di Indonesia tertinggal dari banyak
negara-negara di dunia, namun bukan berarti tidak ada yang dibanggakan dengan
belajar di Tanah Air. Contohnya Anda tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk
biaya belajar dan lain sebagainya. Tentunya semua akan menjadi satu pekerjaan
rumah bagi siapa saja agar dapat mewujudkan sistem dan kualitas pendidikan di
Indonesia menjadi lebih baik lagi dan dapat bersaing dengan negara luar, serta
dibutuhkan dukungan serta perhatian dari berbagai pihak untuk hal tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar