Pengaruh
Modernisasi Terhadap Kehidupan Sosial-Budaya Suku Baduy
Indonesia
adalah Negara kepulauan yang mempunyai kekayaan dan kebergaman budaya, suku,
agama, ras, bahasa daerah, dan
lain-lain. Setiap wilayah di Indonesia memiliki budaya, ras, suku, agama, dan bahasa daerah masing-masing.
Misalnya saja kebudayaan dan suku yang ada di daerah Banten. Kebudayaan dan
suku yang tekenal di daerah Banten adalah suku baduy.
Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang berawal
dari para
peneliti Belanda yang tampaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang
merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan nama Baduy ini diambil dari nama sungai yang melewati wilayah suku baduy, yaitu adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada
di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri
sebagai urang
Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan
nama wilayah mereka. Dalam hal
ini suku baduy telah memiliki kehasan dalam
segi mata pencaharian, tatanan masyarakat dan kebudayaannya, kelompok
masyarakat, dan pemerintahan yang berbeda dengan suku-suku lainnya. Hal ini
akan penulis jelaskan sebagai berikut :
Orang Baduy
tidak terpisahkan dari padi yang harus ditanam menurut ketentuan-ketentuan
karuhun. Padi ditanam di lahan kering, huma yang berada di luar dan di dalam
desa, kecuali tidak boleh ditanam di hutan larangan yang berupa hutan tua di
wilayah baduy dalam. Baduy merupakan salah satu bentuk subsisten yang tua
usianya, padi tidak boleh dijual, ketentuan ini berlaku bagi seluruh orang
Baduy. Tetapi hasil hutan seperti buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan
seperti durian dan asam keranji,
serta madu hutan
dan jenis tanaman ladang lainnya boleh dijual untuk mendapatkan uang pembeli
benang katun, ikan asin, garam, rokok, dan tembakau.
2. Tatanan
Masyarakat dan Kebudayaannya
Masyarakat
Baduy dalam hidupnya mengasingkan diri dari keramaian dan tidak mau tersentuh
oleh kegiatan pembangunan dan teknologi.Wilayah Baduy Dalam, yang berada di
pedalaman hutan, masih terisolir, dan belum tersentuh modernisasi. Kebudayaan
mereka masih asli, peraturan yang tetap dipegang teguh hingga kini diantaranya
budaya berjalan kaki, tidak memakai alas kaki, tidak menggunakan alat
elektronik (teknologi), hanya mengenakan pakaian berwarna hitam/ putih yang
dijahit sendiri, dan semua hal yang tradisional dan tidak merusak alam. Di
perkampungan Baduy tidak ada listrik, tidak ada pengerasan jalan, tidak ada
fasilitas pendidikan formal, tidak ada fasilitas kesehatan, tidak ada sarana
transportasi, dan kondisi pemukiman penduduknya sangat sederhana. Aturan
adat melarang warganya untuk menerima modernisasi pembangunan.
Masyarakat
Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping,
dandangka.Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal
sebagai Kanekes Dalam (Baduy
Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga
kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah
pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala
putih.Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing (non WNI).
Kanekes Dalam adalah bagian dari
keseluruhan orang Kanekes.Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih
memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Kelompok
masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang
dikenal sebagai Kanekes Luar(Baduy Luar),
yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes
Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain
sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat
kepala berwarna hitam.Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar
dari adat dan
wilayah Kanekes Dalam.
Apabila
Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes
Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2
kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas
pengaruh dari luar.
Masyarakat
Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti
aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang
dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan
sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan.Secara nasional, penduduk
Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah,
yang ada di bawah camat, sedangkan
secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu
"Pu'un".
Pemimpin
adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di
tiga kampung tangtu.Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun,
namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat
lainnya.Jangka waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya
berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.Pelaksana
sehari-hari pemerintahan adat kapu'unan (kepu'unan)
dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu
jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan,
dan jaro pamarentah.
Namun seiring dengan perkembangannya zaman, saat ini suku baduy telah
memiliki banyak perubahan, perubahan ini akibat adanya modernisasi yang terjadi pada masyarakat Baduy sedikit demi
sedikit. Hal tersebut disebabkan oleh faktor-faktor pendorong perubahan. Faktor Yang Menyebabkan Munculnya Modernisasi Pada
Suku Baduy
meliputi
1.
Adanya
Kontak dengan Kebudayaan Lain
Perubahan
tersebut terjadi karena usaha-usaha masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan
keadaan lingkungan dan kondisi-kondisi baru yang timbul sejalan dengan
pertumbuhan masyarakat. Hal
ini sesuai dengan kondisi masyarakat Baduy yang tinggal di
pedalaman hutan dan masih terisolir sehingga kebudayaan luar
belum masuk.
Selain itu, orang Baduy dalam merupakan yang
paling patuh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah
ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat).Akan tetapi seiring berjalannya waktu
banyak wisatawan baik dalam maupun luar negeri
yang datang mengunjungi suku Badui dengan membawa pengaruh yang bermacam-macam, yang
jelas berbeda dengan adat Baduy. Walaupun demikian
perubahan dapat terjadi tanpa melanggar pikukuh,
karena memang perbuatan tersebut dikehendaki atau keadaan yang memaksa sehingga
perubahan terjadi diluar kehendak mereka, sehingga muncul toleransi dari pemuka
adat terhadap hal itu.
2.
Sistem
Terbuka Masyarakat (Open Stratification)
Masyarakat
Badui saat ini jauh lebih terbuka dan lebih bisa diajak bergaul ketimbang masyarakat
Badui yang terdahulu, sehingga memudahkan mereka menerima kebudayaan baru
walaupun hal itu sangat dilarang keras oleh tetua/pu’un mereka.
Pergaulan
dengan dunia luar membuat masyarakat Baduy bersentuhan dengan teknologi modern
yang selama ratusan tahun dilarang oleh adat. Seperti masyarakat lain, mereka
saat ini menonton televisi, menggunakan jam tangan, dan bahkan memiliki
radio. Sehingga mau tidak
mau mereka berfikir untuk bisa mengikuti tren saat ini dan menunjukkan bahwa
mereka juga merasa kurang puas dengan tekhnologi yang mereka punya selama ini. Mereka
ingin memiliki pengetahuan yang lebih dengan menonton tv atau mendengarkan
radio.
Adapun pengaruh modernisasi terhadap kehidupan
sosial-budaya suku baduy terjadi pada masyarakat baduy itu tersendiri. Masyarakat
baduy sebagai masyarakat tradisional dapat dikatakan sebagai masyarakat yang
sedang berkembang. Karena tidak saja perubahan yang berlangsung di dalamnya,
juga ketaatan terhadap pikukuhnya mengalami proses pergeseran. Perubahan itu
akan tampak dari pola pikir, cara bertindak, pemilikan barang organisasi sosial
yang sebelumnya tidak dikenal dalam kehidupan mereka. Sejumlah warga masyarakat
Baduy sengaja keluar dari desa kanekes untuk melonggarkan ikatan pikukuhnya,
mereka lalu bermukim di desa-desa sekitarnya.
Peningkatan
jumlah penduduk yang mengakibatkan berkurangnya luas kepemilikan lahan
pertanian setiap keluarga. Masyarakat
Baduy-Luar yang sudah tidak memiliki lahan pertanian di dalam wilayah Baduy
diharuskan mengolah lahan di luar wilayah, sedangkan masyarakat Baduy-Dalam
mulai memperpendek masa bera lahannya. Bertambahnya jumlah
penduduk juga meningkatkan kebutuhan kayu pertukangan untuk membuat rumah.
Kebutuhan akan kayu pertukangan yang menjadi masalah dalam membuat rumah.
Untuk mengatasi hal tersebut, aturan adat yang semula melarang menanam tanaman
kayu di ladang berangsur-angsur mulai mengendur. Kini masyarakat
Baduy-Luar diperbolehkan menanam tanaman kayu di ladangnya. Kayu hasil
penebangannya ada yang dipakai sendiri dan ada pula yang sebagian dijual ke
masyarakat luar.
Interaksi dengan masyarakat luar baduy, saat ini terlihat perbedaan yang jelas pada kehidupan masyarakat Baduy-Luar dan Baduy-Dalam. Perubahan status masyarakat telah terjadi pada kehidupan masyarakat Baduy. Awalnya semua masyarakat Baduy harus ikut bertapa menjaga alam lingkungannya, sekarang ini hanya Baduy-Dalam yang tugasnya bertapa. Masyarakat Baduy-Luar tugasnya hanya ikut menjaga dan membantu tapanya orang Baduy-Dalam. Masyarakat Baduy-Luar mulai diperbolehkan mencari lahan garapan ladang di luar wilayah Baduy dengan cara menyewa tanah, bagi hasil, atau membeli tanah masyarakat luar.
Masyarakat Baduy-Luar sudah mulai memakai baju buatan pabrik, kasur, gelas, piring, sendok, sendal jepit, blue jeans, sabun, sikat gigi, senter, dan patromaks; bahkan sudah cukup banyak masyarakat Baduy yang telah menggunakan telepon seluler. Larangan penggunaan kamera dan video camera hanya berlaku pada masyarakat Baduy-Dalam; sedangkan pada Baduy-Luar sudah sering stasiun TV mengekspose kehidupan mereka.
Masyarakat
Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan
masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari
perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultana Banten yang
secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak
lepas dari kesadaran mereka.Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa,
masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten
Dari
kesemua faktor-faktor di atas tersebut bisa
memicu perubahan sosial-budaya pada masyarakat Baduy tersebut baik itu faktor
secara fisik maupun kebudayaan. Kesadaran akan nilai dan norma sosial Baduy
setiap keluarga pun lambat laun bisa memudar dengan munculnya keinginan untuk
mengalami kehidupan lain, begitu pula halnya dengan institusi sosial seperti
gotong royong akan turut bergeser walaupun menyangkut kebutuhan masyarakat
tetapi akibat perputaran imbalan jasa ke arah penggunaan materi yang sekaligus
sebagai pembayaran. Hubungan
yang erat antara migran baduy dengan orang baduy kanekes juga akan memberikan
ide perubahan, karena mereka selalu berkomunikasi melalui saling mengunjungi
dan membantu dalam tiap pekerjaan.
Perubahan
yang dialami masyarakat baduy tidak lepas dari pengawasan pemuka adat yang
selalu berusaha menentang segala bentuk perubahan yang terjadi dan berusaha
mengembalikan kehidupan masyarakat yang sesuai dengan pikukuh. Penyimpangan-penyimpangan
dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh beberapa anggota keluarga pada
masyarakat panamping seperti penggunaan obat-obat dari luar misalnya,
menunjukkan adanya keraguan dalam memilih cara hidup yang sudah berlaku
(berdasarkan adat) atau melepaskannnya. Banyak mereka yang melanggar adat
dengan alasan tidak diketahui Pu’un
(kepala suku). Satu hal yang patut dicatat
perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat baduy berlangsung menurut
proses adaptasi dalam jangka waktu yang sangat panjang (relatif lama).
Sumber, Irenne,
Radenni. 2014. Pengaruh Modernisasi
Terhadap Kehidupan. http://radenirinne.blogspot.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar