Sabtu, 10 Desember 2016

Globalisasi dan Modernisasi Banten



Pengaruh Modernisasi Terhadap Kehidupan Sosial-Budaya Suku Baduy

Indonesia adalah Negara kepulauan yang mempunyai kekayaan dan kebergaman budaya, suku, agama, ras, bahasa daerah,  dan lain-lain. Setiap wilayah di Indonesia memiliki budaya, ras,  suku, agama, dan bahasa daerah masing-masing. Misalnya saja kebudayaan dan suku yang ada di daerah Banten. Kebudayaan dan suku yang tekenal di daerah Banten adalah suku baduy.
 Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang berawal  dari  para peneliti Belanda yang tampaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan nama Baduy ini diambil dari nama sungai yang melewati wilayah suku baduy, yaitu adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka. Dalam hal ini suku baduy telah memiliki kehasan  dalam segi mata pencaharian, tatanan masyarakat dan kebudayaannya, kelompok masyarakat, dan pemerintahan yang berbeda dengan suku-suku lainnya. Hal ini akan penulis jelaskan sebagai berikut :
1.      Mata pencaharian
Orang Baduy tidak terpisahkan dari padi yang harus ditanam menurut ketentuan-ketentuan karuhun. Padi ditanam di lahan kering, huma yang berada di luar dan di dalam desa, kecuali tidak boleh ditanam di hutan larangan yang berupa hutan tua di wilayah baduy dalam. Baduy merupakan salah satu bentuk subsisten yang tua usianya, padi tidak boleh dijual, ketentuan ini berlaku bagi seluruh orang Baduy. Tetapi hasil hutan seperti buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan dan jenis tanaman ladang lainnya boleh dijual untuk mendapatkan uang pembeli benang katun, ikan asin, garam, rokok, dan tembakau.
2.      Tatanan Masyarakat dan Kebudayaannya
Masyarakat Baduy dalam hidupnya mengasingkan diri dari keramaian dan tidak mau tersentuh oleh kegiatan pembangunan dan teknologi.Wilayah Baduy Dalam, yang berada di pedalaman hutan, masih terisolir, dan belum tersentuh modernisasi. Kebudayaan mereka masih asli, peraturan yang tetap dipegang teguh hingga kini diantaranya budaya berjalan kaki, tidak memakai alas kaki, tidak menggunakan alat elektronik (teknologi), hanya mengenakan pakaian berwarna hitam/ putih yang dijahit sendiri, dan semua hal yang tradisional dan tidak merusak alam. Di perkampungan Baduy tidak ada listrik, tidak ada pengerasan jalan, tidak ada fasilitas pendidikan formal, tidak ada fasilitas kesehatan, tidak ada sarana transportasi, dan kondisi pemukiman penduduknya sangat sederhana.  Aturan adat melarang warganya untuk menerima modernisasi pembangunan.
3.      Kelompok masyarakat
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtupanamping, dandangka.Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih.Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing (non WNI).
Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes.Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar(Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam.
Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.
4.      Pemerintahan
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan.Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un".
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung tangtu.Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya.Jangka waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapu'unan (kepu'unan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu  jaro tangtu, jaro dangka,  jaro tanggungan, dan jaro pamarentah.
Namun seiring dengan perkembangannya zaman, saat ini suku baduy telah memiliki banyak perubahan, perubahan ini akibat adanya modernisasi yang  terjadi pada masyarakat Baduy sedikit demi sedikit. Hal tersebut disebabkan oleh faktor-faktor  pendorong perubahan. Faktor Yang Menyebabkan Munculnya Modernisasi Pada Suku Baduy meliputi
1.      Adanya Kontak dengan Kebudayaan Lain
Perubahan tersebut terjadi karena usaha-usaha masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan dan kondisi-kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Hal ini sesuai dengan kondisi masyarakat Baduy yang  tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir sehingga  kebudayaan luar belum masuk.
 Selain itu, orang Baduy dalam merupakan yang paling patuh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat).Akan tetapi seiring berjalannya waktu banyak wisatawan baik dalam maupun luar negeri yang datang mengunjungi suku Badui dengan membawa pengaruh yang bermacam-macam, yang jelas berbeda dengan adat Baduy. Walaupun demikian perubahan dapat terjadi tanpa melanggar pikukuh, karena memang perbuatan tersebut dikehendaki atau keadaan yang memaksa sehingga perubahan terjadi diluar kehendak mereka, sehingga muncul toleransi dari pemuka adat terhadap hal itu.
2.      Sistem Terbuka Masyarakat (Open Stratification)
Masyarakat Badui saat ini jauh lebih terbuka dan lebih bisa diajak bergaul ketimbang masyarakat Badui yang terdahulu, sehingga memudahkan mereka menerima kebudayaan baru walaupun hal itu sangat dilarang keras oleh tetua/pu’un mereka.
3.      Ketidakpuasan Masyarakat terhadap Bidang-Bidang Tertentu
Pergaulan dengan dunia luar membuat masyarakat Baduy bersentuhan dengan teknologi modern yang selama ratusan tahun dilarang oleh adat. Seperti masyarakat lain, mereka saat ini menonton televisi, menggunakan jam tangan, dan bahkan memiliki radio.  Sehingga mau tidak mau mereka berfikir untuk bisa mengikuti tren saat ini dan menunjukkan bahwa mereka juga merasa kurang puas dengan tekhnologi  yang mereka punya selama ini. Mereka ingin memiliki pengetahuan yang lebih dengan menonton tv atau mendengarkan radio.

Adapun pengaruh modernisasi terhadap kehidupan sosial-budaya suku baduy terjadi pada masyarakat baduy itu tersendiri. Masyarakat baduy sebagai masyarakat tradisional dapat dikatakan sebagai masyarakat yang sedang berkembang. Karena tidak saja perubahan yang berlangsung di dalamnya, juga ketaatan terhadap pikukuhnya mengalami proses pergeseran. Perubahan itu akan tampak dari pola pikir, cara bertindak, pemilikan barang organisasi sosial yang sebelumnya tidak dikenal dalam kehidupan mereka. Sejumlah warga masyarakat Baduy sengaja keluar dari desa kanekes untuk melonggarkan ikatan pikukuhnya, mereka lalu bermukim di desa-desa sekitarnya.
Peningkatan jumlah penduduk yang mengakibatkan berkurangnya luas kepemilikan lahan pertanian setiap keluarga. Masyarakat Baduy-Luar yang sudah tidak memiliki lahan pertanian di dalam wilayah Baduy diharuskan mengolah lahan di luar wilayah, sedangkan masyarakat Baduy-Dalam mulai memperpendek masa bera lahannya. Bertambahnya jumlah penduduk juga meningkatkan kebutuhan kayu pertukangan untuk membuat rumah. Kebutuhan akan kayu pertukangan yang menjadi masalah dalam membuat rumah.  Untuk mengatasi hal tersebut, aturan adat yang semula melarang menanam tanaman kayu di ladang berangsur-angsur mulai mengendur.  Kini masyarakat Baduy-Luar diperbolehkan menanam tanaman kayu di ladangnya.  Kayu hasil penebangannya ada yang dipakai sendiri dan ada pula yang sebagian dijual ke masyarakat luar. 

Interaksi dengan masyarakat luar baduy, saat ini terlihat perbedaan yang jelas pada kehidupan masyarakat Baduy-Luar dan Baduy-Dalam.  Perubahan status masyarakat telah terjadi pada kehidupan masyarakat Baduy. Awalnya semua masyarakat Baduy harus ikut bertapa menjaga alam lingkungannya, sekarang ini hanya Baduy-Dalam yang tugasnya bertapa. Masyarakat Baduy-Luar tugasnya hanya ikut menjaga dan membantu tapanya orang Baduy-Dalam. Masyarakat Baduy-Luar mulai diperbolehkan mencari lahan garapan ladang di luar wilayah Baduy dengan cara menyewa tanah, bagi hasil, atau membeli tanah masyarakat luar.

Masyarakat Baduy-Luar sudah mulai memakai baju buatan pabrik, kasur, gelas, piring, sendok, sendal jepit, blue jeans, sabun, sikat gigi, senter, dan patromaks; bahkan sudah cukup banyak masyarakat Baduy yang telah menggunakan telepon seluler.  Larangan penggunaan kamera dan video camera hanya berlaku pada masyarakat Baduy-Dalam; sedangkan pada Baduy-Luar sudah sering stasiun TV mengekspose kehidupan mereka.

Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultana Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka.Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten 
Dari kesemua faktor-faktor di atas tersebut  bisa memicu perubahan sosial-budaya pada masyarakat Baduy tersebut baik itu faktor secara fisik maupun kebudayaan. Kesadaran akan nilai dan norma sosial Baduy setiap keluarga pun lambat laun bisa memudar dengan munculnya keinginan untuk mengalami kehidupan lain, begitu pula halnya dengan institusi sosial seperti gotong royong akan turut bergeser walaupun menyangkut kebutuhan masyarakat tetapi akibat perputaran imbalan jasa ke arah penggunaan materi yang sekaligus sebagai pembayaran. Hubungan yang erat antara migran baduy dengan orang baduy kanekes juga akan memberikan ide perubahan, karena mereka selalu berkomunikasi melalui saling mengunjungi dan membantu dalam tiap pekerjaan.
Perubahan yang dialami masyarakat baduy tidak lepas dari pengawasan pemuka adat yang selalu berusaha menentang segala bentuk perubahan yang terjadi dan berusaha mengembalikan kehidupan masyarakat yang sesuai dengan pikukuh. Penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh beberapa anggota keluarga pada masyarakat panamping seperti penggunaan obat-obat dari luar misalnya, menunjukkan adanya keraguan dalam memilih cara hidup yang sudah berlaku (berdasarkan adat) atau melepaskannnya. Banyak mereka yang melanggar adat dengan alasan tidak diketahui Pu’un (kepala suku). Satu hal yang patut dicatat perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat baduy berlangsung menurut proses adaptasi dalam jangka waktu yang sangat panjang (relatif lama).
Sumber, Irenne, Radenni. 2014. Pengaruh Modernisasi Terhadap Kehidupan.   http://radenirinne.blogspot.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar