Tidak Tahu
Sokrates dikenal sebagai bapak dari
filsafat barat. Ia hidup sekitar 470 tahun sebelum Masehi. Ia memiliki cara
berfilsafat yang unik. Ia tidak berfilsafat di kelas atau ruang-ruang tertutup
lainnya, melainkan di pasar di kota Athena. Ia berjalan berkeliling di pasar. Ia
pun berteriak kepada banyak orang, ”Kamu harus mengenal dirimu sendiri! Kamu
sungguh harus mengenal dirimu sendiri!” Ketika ada orang bertanya kepadanya,
”Hai Sokrates, apakah kamu mengenal
dirimu sendiri?” Sokrates hanya menjawab, ”Saya tidak tahu, namun saya tahu,
bahwa saya tidak tahu!”
Bodhidharma dikenal sebagai orang yang
membawa Zen Buddhisme dari India ke
Cina. Di India sendiri, Buddhisme sudah berkembang dari sekitar tahun 680
sebelum Masehi. Di Cina, Buddhisme sudah ada mulai dari sekitar tahun 200
setelah Masehi. Kehadiran Bodhidharma mengundang takut sekaligus kagum dari
para biksu Buddhis yang sudah ada di Cina pada masa itu. Suatu hari,
Bodhidharma diundang oleh penguasa setempat untuk makan bersama. Sang penguasa bertanya,
”Saya sudah membangun banyak biara Buddhis. Apa yang akan saya dapatkan?”
Bodhidharma menjawab, ”Tidak ada.” Sang penguasa pun marah mendengar
jawaban itu. Ia berkata, ”Kurang ajar!
Siapa kamu?” Jawab Bodhidharma, ”Saya tidak
tahu.”
Tidak Tahu Apa yang sama dari jawaban
Sokrates dan Bodhidharma? Keduanya sama-sama mengatakan, bahwa mereka tidak
tahu. Apa maksud dari jawaban ini? Apakah ini sungguh ketidaktahuan, ataukah
ada maksud lain yang ingin mereka sampaikan?. Kita hidup diera modern, dimana
semua orang merasa tahu. Ilmu pengetahuan dan filsafat merasa bisa menjelaskan
tentang hakekat dari kenyataan dan
kehidupan. Berbagai agama merasa bisa menjelaskan tentang hakekat Tuhan dan apa
yang terjadi setelah mati.
Namun, sesungguhnya, apakah mereka
sungguh tahu, atau hanya mengira-ngira
saja? Ilmu pengetahuan, filsafat dan agama mengandalkan satu hal, yakni bahasa.
Mereka menjelaskan segala hal dengan bahasa. Pengetahuan dan pikiran mereka
dirumuskan dan disebarkan dengan menggunakan bahasa sebagai alat utamanya.
Namun, mampukah bahasa menggambarkan kerumitan dari segala kenyataan yang ada? Mampukah
bahasa menggambarkan pikiran manusia? Coba kita lakukan sedikit eksperimen.
Bisakah anda melukiskan dengan jelas
tindakan membuka kepalan tangan? Sulit bukan? Jika untuk kegiatan sesederhana
ini, bahasa sudah mengalami kesulitan, bagaimana mungkin bahasa mampu menggambarkan
segala kenyataan yang ada? Bagaimana mungkin, bahasa mampu menggambarkan secara
tepat isi dari pikiran manusia? Dengan demikian, bisa dikatakan, setiap teori
ilmu pengetahuan dan filsafat selalu bersifat terbatas. Keduanya tak mampu
menjelaskan secara utuh apa yang ingin mereka jelaskan. Agama-agama juga tidak
mampu menggambarkan secara utuh apa yang ingin mereka gambarkan. Semua penjelasan
selalu bersifat terbatas, dan, pada akhirnya, salah.
Kita
semua harus jujur, bahwa kita tidak tahu. Sama seperti Sokrates dan Bodhidharma, kita harus belajar
untuk sadar, bahwa kita tidak tahu. Pengetahuan yang tertinggi, dalam arti ini,
adalah ketidaktahuan. Jika sama-sama tidak tahu, kenapa kita bertengkar satu
sama lain, dan merasa lebih benar dari orang lain? Arogansi? Kebodohan? Ketidaktahuan adalah kondisi asali
manusia. Artinya, manusia sejatinya adalah mahluk yang tidak tahu. Ketika lahir
ke dunia, ia tidak tahu. Maka, ia lalu mencoba untuk melakukan segalanya.
Kita sering lihat, bagaimana anak kecil
dengan ringannya mengambil kotoran di tanah, dan kemudian menjilatnya bukan?
Pikiran-Tidak-Tahu Ketika kita hidup dengan pikiran-tidak-tahu semacam ini,
kita akan menjadi terbuka pada segala kenyataan yang ada. Kita akan juga terbuka pada segala kemungkinan yang ada. Kita
tidak terjebak pada kepastian-kepastian
palsu. Kita juga tidak terjebak pada segala bentuk ilusi yang diajarkan oleh
tradisi yang ada sebelum kita. Ketika kita hidup dengan pikiran-tidak-tahu,
kita akan menghadapi setiap keadaan apa adanya. Kita tidak dibebani dengan masa
lalu yang kerap kali memberikan
pengetahuan palsu. Kita juga tidak dibebani
oleh harapan akan masa depan yang kerap kali hanya berupa impian semu
belaka.
Setiap detik adalah suatu keadaan baru dalam
hidup kita. Bagaimana supaya kita bisa mewujudkan pikiran-tidak-tahu semacam ini dalam hidup kita? Hanya ada satu
cara yang mungkin, yakni berhenti berpikir. Ketika orang berpikir, ia mulai
membuat pembedaan. Ia membuat kategori
antara aku dan kamu, kami dan mereka. Dari pikiran, lahirlah pembedaan, dan dari
pembedaan lahirlah segala bentuk kejahatan dan ketidakadilan. Perhatikan corak
masyarakat modern sekarang. Orang hidup dalam kotaknya masing-masing. Mereka
merasa dirinya berbeda dengan komunitas mereka.
Mereka hidup dalam kesendirian, kesepian,
keterasingan dan akhirnya penderitaan. Hasilnya adalah individualisme dan
egoisme ekstrem. Orang hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka hanya sibuk
untuk memenuhi kepentingan dan kenikmatan mereka. Solidaritas dan komunitas hanya menjadi slogan papan iklan yang hampir tak
memiliki makna. Ini semua adalah hasil dari pikiran yang memisahkan manusia yang
satu dengan manusia yang lain, dan memisahkan manusia dari alam sekitarnya.
Ketika pikiran yang memisahkan ini hilang, maka perbedaan akan hilang. Jarak
akan hilang. Kita pun akan merasa satu tidak hanya dengan orang lain, tetapi
juga dengan seluruh alam.
Kita tidak akan menyakiti orang lain,
jika kita sadar, bahwa mereka dan kita adalah satu dan sama. Perasaan kesatuan
ini adalah inti utama dari cinta. Dalam arti ini, cinta bukanlah emosi atau
tindakan belaka, melainkan inti dari diri seseorang. Ketika orang sudah menjadi
cinta itu sendiri, semua tindakannya akan mencerminkan cinta secara otomatis. Bagaimana
mungkin kita hidup, jika tidak berpikir? Pikiran adalah alat. Ia harus diatur
dan ditata oleh manusia, dan bukan sebaliknya.
Pikiran yang sebaiknya digunakan adalah pikiran ala Sokrates dan Bodhidharma,
yakni pikiran-tidak-tahu.
Pikiran-tidak-tahu memecahkan masalah
dengan berpijak pada masalah itu sendiri, bukan dengan ketakutan ataupun
harapan palsu. Pikiran-tidak-tahu bergerak dari saat ke saat, dan tidak
dibebani dengan pengetahuan palsu yang berasal dari masa lampau. Ia bersifat spontan
dan alamiah. Ia melampaui bahasa dan rumusan. Namun, pikiran-tidak-tahu tidak
boleh menjadi ajaran mutlak yang baru. Ketidaktahuan bukanlah suatu keadaan
mutlak, melainkan cair. Ia tidak boleh jatuh hanya pada pengetahuan intelektual
belaka, melainkan harus menjadi cara hidup yang menetap menjadi kebiasaan. Yuk, mari belajar untuk menjadi tidak tahu!
Sumber, A. Wattimena, Reza A. 2016. Tentang Manusia. Yogyakarta: Maharsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar