Senin, 12 Desember 2016

Tidak Tahu



Tidak Tahu

Sokrates dikenal sebagai bapak dari filsafat barat. Ia hidup sekitar 470 tahun sebelum Masehi. Ia memiliki cara berfilsafat yang unik. Ia tidak berfilsafat di kelas atau ruang-ruang tertutup lainnya, melainkan di pasar di kota Athena. Ia berjalan berkeliling di pasar. Ia pun berteriak kepada banyak orang, ”Kamu harus mengenal dirimu sendiri! Kamu sungguh harus mengenal dirimu sendiri!” Ketika ada orang bertanya kepadanya, ”Hai  Sokrates, apakah kamu mengenal dirimu sendiri?” Sokrates hanya menjawab, ”Saya tidak tahu, namun saya tahu, bahwa saya tidak tahu!”
Bodhidharma dikenal sebagai orang yang membawa Zen Buddhisme  dari India ke Cina. Di India sendiri, Buddhisme sudah berkembang dari sekitar tahun 680 sebelum Masehi. Di Cina, Buddhisme sudah ada mulai dari sekitar tahun 200 setelah Masehi. Kehadiran Bodhidharma mengundang takut sekaligus kagum dari para biksu Buddhis yang sudah ada di Cina pada masa itu. Suatu hari, Bodhidharma diundang oleh penguasa setempat untuk makan bersama. Sang penguasa bertanya, ”Saya sudah membangun banyak biara Buddhis. Apa yang akan saya dapatkan?” Bodhidharma menjawab, ”Tidak ada.” Sang penguasa pun marah mendengar jawaban  itu. Ia berkata, ”Kurang ajar! Siapa kamu?” Jawab Bodhidharma, ”Saya  tidak tahu.”
Tidak Tahu Apa yang sama dari jawaban Sokrates dan Bodhidharma? Keduanya sama-sama mengatakan, bahwa mereka tidak tahu. Apa maksud dari jawaban ini? Apakah ini sungguh ketidaktahuan, ataukah ada maksud lain yang ingin mereka sampaikan?. Kita hidup diera modern, dimana semua orang merasa tahu. Ilmu pengetahuan dan filsafat merasa bisa menjelaskan tentang hakekat dari  kenyataan dan kehidupan. Berbagai agama merasa bisa menjelaskan tentang hakekat Tuhan dan apa yang terjadi setelah mati.
Namun, sesungguhnya, apakah mereka sungguh tahu, atau hanya mengira-ngira saja? Ilmu pengetahuan, filsafat dan agama mengandalkan satu hal, yakni bahasa. Mereka menjelaskan segala hal dengan bahasa. Pengetahuan dan pikiran mereka dirumuskan dan disebarkan dengan menggunakan bahasa sebagai alat utamanya. Namun, mampukah bahasa menggambarkan kerumitan dari segala kenyataan yang ada? Mampukah bahasa menggambarkan pikiran manusia? Coba kita lakukan sedikit eksperimen.
Bisakah anda melukiskan dengan jelas tindakan membuka kepalan tangan? Sulit bukan? Jika untuk kegiatan sesederhana ini, bahasa sudah mengalami kesulitan, bagaimana mungkin bahasa mampu menggambarkan segala kenyataan yang ada? Bagaimana mungkin, bahasa mampu menggambarkan secara tepat isi dari pikiran manusia? Dengan demikian, bisa dikatakan, setiap teori ilmu pengetahuan dan filsafat selalu bersifat terbatas. Keduanya tak mampu menjelaskan secara utuh apa yang ingin mereka jelaskan. Agama-agama juga tidak mampu menggambarkan secara utuh apa yang ingin mereka gambarkan. Semua penjelasan selalu bersifat terbatas, dan, pada akhirnya, salah.
 Kita semua harus jujur, bahwa kita tidak tahu. Sama seperti  Sokrates dan Bodhidharma, kita harus belajar untuk sadar, bahwa kita tidak tahu. Pengetahuan yang tertinggi, dalam arti ini, adalah ketidaktahuan. Jika sama-sama tidak tahu, kenapa kita bertengkar satu sama lain, dan merasa lebih benar dari orang lain? Arogansi?  Kebodohan? Ketidaktahuan adalah kondisi asali manusia. Artinya, manusia sejatinya adalah mahluk yang tidak tahu. Ketika lahir ke dunia, ia tidak tahu. Maka, ia lalu mencoba untuk melakukan segalanya.
Kita sering lihat, bagaimana anak kecil dengan ringannya mengambil kotoran di tanah, dan kemudian menjilatnya bukan? Pikiran-Tidak-Tahu Ketika kita hidup dengan pikiran-tidak-tahu semacam ini, kita akan menjadi terbuka pada segala kenyataan yang ada. Kita akan juga  terbuka pada segala kemungkinan yang ada. Kita tidak terjebak pada  kepastian-kepastian palsu. Kita juga tidak terjebak pada segala bentuk ilusi yang diajarkan oleh tradisi yang ada sebelum kita. Ketika kita hidup dengan pikiran-tidak-tahu, kita akan menghadapi setiap keadaan apa adanya. Kita tidak dibebani dengan masa lalu yang  kerap kali memberikan pengetahuan palsu. Kita juga tidak dibebani  oleh harapan akan masa depan yang kerap kali hanya berupa impian semu belaka.
 Setiap detik adalah suatu keadaan baru dalam hidup kita. Bagaimana supaya kita bisa mewujudkan pikiran-tidak-tahu  semacam ini dalam hidup kita? Hanya ada satu cara yang mungkin, yakni berhenti berpikir. Ketika orang berpikir, ia mulai membuat  pembedaan. Ia membuat kategori antara aku dan kamu, kami dan  mereka.  Dari pikiran, lahirlah pembedaan, dan dari pembedaan lahirlah segala bentuk kejahatan dan ketidakadilan. Perhatikan corak masyarakat modern sekarang. Orang hidup dalam kotaknya masing-masing. Mereka merasa dirinya berbeda dengan komunitas mereka.
Mereka hidup dalam kesendirian, kesepian, keterasingan dan akhirnya penderitaan. Hasilnya adalah individualisme dan egoisme ekstrem. Orang hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka hanya sibuk untuk memenuhi kepentingan dan kenikmatan mereka.  Solidaritas dan komunitas hanya  menjadi slogan papan iklan yang hampir tak memiliki makna. Ini semua adalah hasil dari pikiran yang memisahkan manusia yang satu dengan manusia yang lain, dan memisahkan manusia dari alam sekitarnya. Ketika pikiran yang memisahkan ini hilang, maka perbedaan akan hilang. Jarak akan hilang. Kita pun akan merasa satu tidak hanya dengan orang lain, tetapi juga dengan seluruh alam.
Kita tidak akan menyakiti orang lain, jika kita sadar, bahwa mereka dan kita adalah satu dan sama. Perasaan kesatuan ini adalah inti utama dari cinta. Dalam arti ini, cinta bukanlah emosi atau tindakan belaka, melainkan inti dari diri seseorang. Ketika orang sudah menjadi cinta itu sendiri, semua tindakannya akan mencerminkan cinta secara otomatis. Bagaimana mungkin kita hidup, jika tidak berpikir? Pikiran adalah alat. Ia harus diatur dan ditata oleh manusia, dan bukan sebaliknya.  Pikiran yang sebaiknya digunakan adalah pikiran ala Sokrates dan Bodhidharma, yakni pikiran-tidak-tahu.
Pikiran-tidak-tahu memecahkan masalah dengan berpijak pada masalah itu sendiri, bukan dengan ketakutan ataupun harapan palsu. Pikiran-tidak-tahu bergerak dari saat ke saat, dan tidak dibebani dengan pengetahuan palsu yang berasal dari masa lampau. Ia bersifat spontan dan alamiah. Ia melampaui bahasa dan rumusan. Namun, pikiran-tidak-tahu tidak boleh menjadi ajaran mutlak yang baru. Ketidaktahuan bukanlah suatu keadaan mutlak, melainkan cair. Ia tidak boleh jatuh hanya pada pengetahuan intelektual belaka, melainkan harus menjadi cara hidup yang menetap menjadi kebiasaan.  Yuk, mari belajar untuk menjadi tidak tahu!
Sumber, A. Wattimena, Reza A. 2016. Tentang Manusia. Yogyakarta: Maharsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar