DIMENSI
EPISTEMOLOGIS ILMU
1. Cara-cara
Mendapatkan Pengetahuan
Pengetahuan
berkembang antara lain karena manusia
memiliki rasa ingin
tahu (curiousity is beginning
of knowledge). Hasrat ingin tahu manusia
terpuaskan bila dirinya
memperoleh pengetahuan yang benar (kebenaran) mengenai apa yang dipertanyakan. Untuk
itu manusia menempuh
berbagai cara agar keinginan tersebut terwujud.
Berbagai tindakan
untuk memperoleh pengetahuan secara
garis besar dibedakan menjadi dua, yaitu secara nonilmiah, yang mencakup
: a) akal sehat, b) prasangka, c) intuisi, d) penemuan kebetulan dan cobacoba,
dan e) pendapat otoritas dan pikiran kritis,
serta tindakan secara ilmiah
(Sumadi Suryabrata, 2000:
3). Usaha yang
dilakukan secara nonilmiah menghasilkan
pengetahuan (knowledge), dan
bukan science. Sedangkan melalui
usaha yang bersifat
ilmiah menghasilkan pengetahuan
ilmiah atau ilmu.
W.
Huitt (1998), dalam
artikelnya yang berjudul
“Measurement, Evaluation, and Research : Ways of Knowing”, menyatakan
bahwa ada lima macam cara
untuk mendapatkan pengetahuan
yang benar (kebenaran) yaitu
: pengalaman, intuisi,
agama, filsafat, dan
ilmu. Dengan cara-cara tersebut
dapat diperoleh diperoleh kebenaran pengalaman atau kebenaran indera,
kebenaran intuitif, kebenaran religius, kebenaran
filosofis, dan kebenaran
ilmiah.
2. Kebenaran
a. Jenis-jenis
kebenaran
Telah
dipaparkan di atas bahwa berdasarkan cara memperolehnya kebenaran dibedakan
menjadi lima jenis,
yaitu kebenaran pengalaman, kebenaran
intuisi, kebenaran religius,
kebenaran filosofis, dan kebenaran ilmiah.
b. Teori-teori
kebenaran
Ilmu
dikembangkan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar atau kebenaran ilmiah.
Persoalan esensial yang perlu dijawab adalah:
kebenaran itu apa
? Atau, bilamana
suatu pernyataan dinyatakan benar? Ada beberapa teori yang
berbicara tentang kebenaran, yaitu teori
koherensi, teori korespondensi, dan teori pragmatisme.
1) Teori
Koherensi (coherence theory of truth)
Menurut
teori koherensi, suatu pernyataan dianggap
benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan
pernyataanpernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila pernyataan
semua logam bila
kena panas memuai adalah suatu pernyataan
yang benar, maka
pernyataan bahwa besi merupakan logam, sehingga bila besi kena
panas memuai adalah pernyataan yang benar. Matematika adalah
bentuk pengetahuan yang
penyusunannya dilakukan
dengan pembuktian berdasarkan
teori koherensi. Plato (427-347 SM)
dan Aristoteles (384-322)
telah mengembangkan teori
koherensi berdasarkan pola pemikiran yang digunakan Euclid dalam menyusun ilmu
ukurnya (Jujun .S., 2005 : 57).
Teori koherensi
menjadi dasar dalam
pengembangan ilmu deduktif atau
matematik. Nama ilmu
deduktif diberikan karena dalam
menyelesaikan suatu masalah
atau membuktikan suatu kebenaran tidak
didasarkan pada pengalaman
atau hal-hal yang bersifat faktual,
melainkan didasarkan atas
deduksi-deduksi atau
penjabaran-penjabaran.
Apa
yang harus idpenuhi
agar ciri-ciri deduksi
dapat diketahui dengan tepat,
merupakan masalah pokok
yang dihadapi filsafat ilmu. Pendirian
yang banyak dianut
sampai saat ini
adalah : deduksi merupakan
penalaran yang sesuai dengan hukum-hukum serta-serta aturan logika formal,
dalam hal ini orang menganggap bahwa
tidaklah mungkin titik
tolak-titik tolak yang benar menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang
tidak benar (Beerling at al, 1996
: 23).
2) Teori
korespondensi (correspondence theory of truth)
Teori ini
dikembangkan oleh Bertrand
Russel (1872-1970). Menurut teori
korespondensi, suatu pernyataan
dapat dianggap benar bila materi pengetahuan yang terkandung
dalampernyataan tersebut
berkorespondensi
(berhubungan) dengan objek
yang dituju oleh pernyataan
tersebut. Pernyataan bahwa
si A sedang mengalami depresi
berat dapat dipandang
sebagai pernyataan yang benar
bila secara faktual
memang si A
sedang mengalami depresi berat.
Teori korespondensi
dijadikan dasar dalam
pengembangan ilmu-ilmu empiris. Ilmu-ilmu empiris memperoleh
bahan-bahannya melalui pengalaman. Tetapi
pengalaman atau empiria
ilmiah sesungguhnya lebih dari
sekadar pengalaman sehari-hari
serta hasil tangkapan inderawi,
cara ilmiah untuk
menangkap sesuatu harus dipelajari
terlebih dahulu dan
untuk sebagian besar
tergantung pada pendidikan
ilmiah yang harus
ditempuh oleh peneliti (Beerling
at al, 1996 : 53).
3) Teori
pragmatisme (pragmatic theory of truth)
Pencetus teori
pragmatisme adalah Charles
S. Peirce (1839-19914). Menurut
teori ini, suatu
pernyataan dianggap benar
bila pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan
praktis. Pernyataan bahwa motivasi merupakan faktor yang sangat penting
untuk meningkatkan prestasi
belajar anak dapat
dianggap benar bila pernyataan
tersebut mempunyai kegunaan
praktis, yaitu bahwa prestasi
belajar anak dapat
ditingkatkan melalui
pengembangan motivasi belajarnya.
Teori pragmatisme dijadikan dasar
dalam pengembangan ilmu terapan.
Sumber
Kuntjojo. 2014. Filsafat Ilmu (ebook).
Diperoleh dari http://dakekito.blogspot.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar