Sabtu, 10 Desember 2016

DIMENSI EPISTEMOLOGIS ILMU



DIMENSI EPISTEMOLOGIS ILMU

1.      Cara-cara Mendapatkan Pengetahuan
Pengetahuan berkembang antara lain  karena  manusia  memiliki  rasa  ingin  tahu (curiousity  is beginning  of  knowledge).  Hasrat ingin tahu  manusia  terpuaskan  bila dirinya memperoleh pengetahuan yang benar (kebenaran) mengenai apa yang  dipertanyakan.  Untuk  itu  manusia  menempuh  berbagai  cara  agar keinginan tersebut terwujud.
Berbagai  tindakan  untuk  memperoleh  pengetahuan  secara  garis besar dibedakan menjadi dua, yaitu secara nonilmiah, yang mencakup : a) akal sehat, b) prasangka, c) intuisi, d) penemuan kebetulan dan cobacoba, dan e) pendapat otoritas dan pikiran kritis,  serta tindakan secara ilmiah  (Sumadi  Suryabrata,  2000:  3).   Usaha  yang  dilakukan  secara nonilmiah  menghasilkan  pengetahuan  (knowledge),  dan  bukan  science. Sedangkan  melalui  usaha  yang  bersifat  ilmiah  menghasilkan pengetahuan ilmiah atau ilmu.
 W.  Huitt  (1998),  dalam  artikelnya  yang  berjudul  “Measurement, Evaluation, and Research : Ways of Knowing”, menyatakan bahwa ada lima  macam  cara  untuk  mendapatkan  pengetahuan  yang  benar (kebenaran)  yaitu  :  pengalaman,  intuisi,  agama,  filsafat,  dan  ilmu. Dengan  cara-cara  tersebut  dapat  diperoleh  diperoleh kebenaran pengalaman  atau  kebenaran  indera,  kebenaran  intuitif,  kebenaran religius,  kebenaran  filosofis,  dan  kebenaran  ilmiah.
2.      Kebenaran
a.       Jenis-jenis kebenaran
Telah dipaparkan di atas bahwa berdasarkan cara memperolehnya kebenaran  dibedakan  menjadi  lima  jenis,  yaitu  kebenaran pengalaman,  kebenaran  intuisi,  kebenaran  religius,  kebenaran filosofis, dan kebenaran ilmiah.
b.      Teori-teori kebenaran
Ilmu dikembangkan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar atau kebenaran ilmiah. Persoalan esensial yang perlu dijawab adalah:  kebenaran  itu  apa  ?  Atau,  bilamana  suatu  pernyataan  dinyatakan benar? Ada beberapa teori yang berbicara tentang  kebenaran, yaitu teori koherensi, teori korespondensi, dan teori pragmatisme.


1)      Teori Koherensi (coherence theory of truth)
Menurut teori koherensi, suatu pernyataan dianggap  benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataanpernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila  pernyataan  semua  logam  bila  kena  panas  memuai adalah suatu  pernyataan  yang  benar,  maka  pernyataan  bahwa  besi merupakan logam, sehingga bila besi kena panas memuai adalah pernyataan yang benar. Matematika  adalah  bentuk  pengetahuan  yang  penyusunannya dilakukan  dengan  pembuktian  berdasarkan  teori  koherensi.  Plato (427-347  SM)  dan  Aristoteles  (384-322)  telah  mengembangkan teori koherensi berdasarkan pola pemikiran yang digunakan Euclid dalam menyusun ilmu ukurnya (Jujun .S., 2005 : 57).
Teori  koherensi  menjadi  dasar  dalam  pengembangan  ilmu deduktif  atau  matematik.  Nama  ilmu  deduktif  diberikan  karena dalam  menyelesaikan  suatu  masalah  atau  membuktikan  suatu kebenaran  tidak  didasarkan  pada  pengalaman  atau  hal-hal  yang bersifat  faktual,  melainkan  didasarkan  atas  deduksi-deduksi  atau penjabaran-penjabaran.
 Apa  yang  harus  idpenuhi  agar  ciri-ciri  deduksi  dapat  diketahui dengan  tepat,  merupakan  masalah  pokok  yang  dihadapi filsafat ilmu.  Pendirian  yang  banyak  dianut  sampai  saat  ini  adalah  : deduksi merupakan penalaran yang sesuai dengan hukum-hukum serta-serta aturan logika formal, dalam hal ini orang menganggap bahwa  tidaklah  mungkin  titik  tolak-titik  tolak  yang benar menghasilkan  kesimpulan-kesimpulan  yang  tidak  benar (Beerling at al, 1996 : 23).
2)      Teori korespondensi (correspondence theory of truth)
Teori  ini  dikembangkan  oleh  Bertrand  Russel  (1872-1970). Menurut  teori  korespondensi,  suatu  pernyataan  dapat dianggap benar bila materi pengetahuan yang terkandung dalampernyataan tersebut  berkorespondensi  (berhubungan)  dengan  objek  yang dituju  oleh  pernyataan  tersebut.  Pernyataan  bahwa  si  A  sedang mengalami  depresi  berat  dapat  dipandang  sebagai  pernyataan yang  benar  bila  secara  faktual  memang  si  A  sedang  mengalami depresi berat.
Teori  korespondensi  dijadikan  dasar  dalam  pengembangan ilmu-ilmu empiris. Ilmu-ilmu empiris memperoleh bahan-bahannya melalui  pengalaman.  Tetapi  pengalaman  atau  empiria  ilmiah sesungguhnya  lebih  dari  sekadar  pengalaman  sehari-hari  serta hasil  tangkapan  inderawi,  cara  ilmiah  untuk  menangkap  sesuatu harus  dipelajari  terlebih  dahulu  dan  untuk  sebagian besar tergantung  pada  pendidikan  ilmiah  yang  harus  ditempuh  oleh peneliti (Beerling at al, 1996 : 53).
3)      Teori pragmatisme (pragmatic theory of truth)
Pencetus  teori  pragmatisme  adalah  Charles  S.  Peirce (1839-19914).  Menurut  teori  ini,  suatu  pernyataan  dianggap  benar  bila pernyataan  tersebut  bersifat  fungsional  dalam  kehidupan  praktis. Pernyataan bahwa motivasi merupakan faktor yang sangat penting untuk  meningkatkan  prestasi  belajar  anak  dapat  dianggap  benar bila  pernyataan  tersebut  mempunyai  kegunaan  praktis,  yaitu bahwa  prestasi  belajar  anak  dapat  ditingkatkan  melalui pengembangan  motivasi  belajarnya.  Teori  pragmatisme dijadikan dasar dalam pengembangan ilmu terapan.
Sumber Kuntjojo. 2014. Filsafat Ilmu (ebook). Diperoleh dari http://dakekito.blogspot.co.id


Tidak ada komentar:

Posting Komentar