Permasalahan
Kehidupan Manusia Dalam Kajian Filsafat
Disusun
Oleh
Dede
Halimatusa’diah
Filsafat dan ilmu pengetahuan
telah menggunakan berbagai metode untuk memahami tentang permasalahan manusia
dan kehidupannya. Di sini, manusia dipahami sebagai mahluk yang berakal budi.
Dengan akal budinya, manusia mampu bekerja sama, dan kemudian mewujudkan
harapann hidup mereka agar menjadi kenyataan. Nah apa itu harapan? bagaimana
cara mewujudkannya agar harapan itu menjadi kenyataan? Harapan atau asa adalah
bentuk dasar dari kepercayaan akan sesuatu yang diinginkan, di dapatkan atau
suatu kejadian yang akan berbuah kebaikan di waktu yang akan datang. Pada
umumnya harapan berbentuk abstrak, tidak tampak, namun dapat diyakini. Beberapa
pendapat menyatakan bahwa esensi harapan berbeda dengan “berpikir positif” yang
merupakan salah satu cara terapi atau proses sistematis dalam psikologi untuk
menangkal pikiran negative atau berpikir pesimis. Nah bagaimana harapan dalam
kehidupan manusia?
Harapan dalam kehidupan
manusia merupakan cita-cita, keinginan, penantian, kerinduan supaya sesuatu itu
terjadi. Dalam menantikan adanya sesuatu yang terjadi dan diharapkan, manusia
melibatkan manusia lain atau kekuatan lain di luar dirinya supaya sesuatu
terjadi, selain hasil usahanya yang telah dilakukan dan ditunggu hasilnya.
Jadi, yang diharapkan itu adalah hasil jerih payah dirinya dan bantuan kekuatan
lain. Bahkan harapan itu tidak bersifat egosentris, berbeda dengan keinginan
yang menurut kodratnya bersifat egosentris, usahanya ialah memiliki. Harapan
tertuju kepada “Engkau”, sedangkan keinginan kepada “Aku”. Harapan itu
ditujukan kepada orang lain atau kepada Tuhan. Keinginan itu untuk kepentingan
dirinya, meskipun pemenuhan keinginan itu melalui pemenuhan keinginan orang
lain. Misalnya melakukan perbuatan sedekah kepada orang lain: orang lain
terpenuhi keinginanya, dan sekaligus orang yang sedekah juga terpenuhi
keinginannya, yaitu kebahagiaan sewaktu berbuat baik kepada orang lain.
Adapun dalam kajian filsafat
ilmu seorang filsuf Immanuel Kant mencoba menjawab pertanyaan apa yang menjadi
harapan manusia itu dengan sebuah agama dan Tuhan. Meskipun Kant lebih dikenal
sebagai filsuf yang berkecimpung dalam bidang epistemologi dan etika, tetapi
kajian tentang Tuhan pun tak luput dari penelaahannya. Dalam bidang keagamaan
atau Teologi, Kant menolak bukti-bukti “onto-teologis” adanya Tuhan. Artinya,
menurutnya, Tuhan itu, statusnya bukan “objek” inderawi, melainkan a priori
yang terletak pada lapisan ketiga (budi tertinggi) dan berupa “postulat”
(Asumsi yg menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa perlu
membuktikannya; anggapan dasar). Immanuel Kant berargumentasi bahwa konsep
seseorang tentang Tuhan harus berasal dari penalaran; oleh karena itu, ia
menyerang bukti-bukti tentang keberadaan Tuhan, dengan menyangkali
keabsahannya. Kant berpendapat bahwa tidak dapat terpisah pengalaman yang dapat
dibuktikan melalui pengujian. Dalam hal ini, Kant mengkombinasikan rasionalisme
(kebertumpuan pada penalaran manusia) dan empirisme (pembuktian sesuatu
berdasar metode ilmiah).
Bagi Kant, Tuhan bukanlah soal
teoretis, melainkan soal praktis, soal moral, soal totalitas pengalaman, dan
arti atau makna hidup terdalam (ini dampak positifnya). Dampak negatifnya
adalah bahwa sebagai “postulat’ (penjamin) moralitas, Tuhan adalah konsekuensi
moralitas, maka moralitas merupakan dasar keberadaan Tuhan. Karena itu, muncul
tendensi pada Kant untuk meletakkan agama hanya pada tataran moralitas semata
atau perkara horizontal saja (hubungan antar manusia saja atau soal perilaku di
dunia ini saja). Konsekuensinya, agamanya Kant, tidak memerlukan credo
(kepercayaan). Kant menyatakan bahwa memang Tuhan hanya bisa didekati melalui
iman dan iman itu dilandasi oleh hukum moral. Hukum moral mewajibkan kita untuk
selalu melakukan kebaikan. Tetapi hukum moral ini mensyaratkan tiga hal utama,
yaitu: kebebasan, keabadian jiwa, dan keberadaan tuhan.
Pertama, kewajiban tentu mengandaikan kebebasan. Kita bebas untuk
tidak menjalankan hukum moral untuk melakukan kebaikan. Maka kemudian hukum
moral menjadi wajib. Kebaikan menjadi wajib dilakukan. Apabila tidak ada
kebebasan maka tidak akan ada kewajiban. Karena manusia bebas untuk melakukan
atau tidak melakukan kebaikan maka kemudian muncul kewajiban untuk melakukan
kebaikan. Kedua, adalah keabadian
jiwa. Hukum moral bertujuan untuk mencapai kebaikan tertinggi. Kebaikan
tertinggi ini mengandung elemen keutamaan dan kebahagiaan. Orang dinyatakan
memiliki keutamaan apabila perbuatannya sesuai dengan hukum moral. Dari
keutamaan inilah kemudian muncul kebahagiaan. Tetapi menurut Kant, manusia itu
tidak akan selalu mencapai kondisi keutamaan. Tidak akan pernah manusia
mencapai kesesuaian kehendak dengan hukum moral. Karena apabila manusia bisa
mencapai kesesuaian ini tanpa putus maka itu adalah kesucian dan tidak ada
manusia yang akan pernah mencapai kesucian mutlak. Manusia hanya akan selalu
berusaha untuk mencapai kesucian itu, dan itu adalah perjuangan tanpa akhir. Karena
egoisme dan sifat dasar manusia lainnya, maka perjuangan mencapai kesucian itu
adalah perjuangan tanpa akhir.
Oleh sebab itu, keutamaan yang
menjadi elemen kebaikan tertinggi yang merupakan tujuan akhir dari hukum moral
tidak akan pernah bisa direalisasikan selama manusia hidup. Dengan kata lain
kondisi ideal dimana terjadi kesesuaian antara kehendak dan hukum moral adalah
jika manusia sudah tidak memiliki kehendak (mati), tetapi apabila setelah mati
tidak ada kehidupan maka kondisi ideal itu juga tidak akan tercapai. Oleh sebab
itu, maka hukum moral mengandaikan bahwa jiwa itu abadi. Bahkan setelah raga
ini mati jiwa akan selalu abadi untuk mencapai kondisi ideal berupa kebaikan
tertinggi. Ketiga, adalah keberadaan
tuhan. Telah dijelaskan bahwa kebaikan tertinggi memiliki elemen keutamaan dan
kebahagaiaan. Keutamaan adalah kesesuaian antara kehendak dengan hukum moral
dan dari keutamaan inilah muncul kebahagiaan. Kebahagiaan sendiri adalah
kondisi di mana realitas manusia sesuai dengan keinginan dan kehendaknya. Tapi
hal itu tidaklah mungkin karena manusia bukan yang maha pengatur yang bisa
mengharmoniskan dunia fisik sesuai dengan kehendak dan keinginannya. Tapi
justru itulah yang diandaikan apabila kita memiliki keutamaan. Kebahagiaan
diandaikan sebagai sintesis dari dunia fisik, kehendak, dan keinginan. Realitas
inilah yang kemudian disebut tuhan. Tuhan adalah penyebab tertinggi alam sejauh
alam itu diandaikan untuk kebaikan tertinggi atau tuhan adalah pencipta alam
fisik yang sesuai dengan kehendak dan keinginan-Nya.
Apabila kita bertindak sesuai
hukum moral maka akan membawa kita pada keutamaan dan keutamaan akan membawa
kita pada kebahagiaan dan kebahagiaan adalah kondisi di mana terdapat kesesuaian
antara alam fisik dengan kehendak dan keinginan. Dan yang memiliki kesesuaian
ketiga elemen ini adalah Tuhan. Maka, dengan berbuat baik kita akan sampai pada
realitas keberadaan Tuhan. Artinya hukum moral mengandaikan keberadaan Tuhan. Jika
tiga syarat (kebebasan, keabadian jiwa, dan keberadaan tuhan) ini tidak
diandaikan keberadaanya, maka runtuhlah sistem moral. Padalah sistem moral itu
selalu ada. Kebaikan selalu ada dan manusia selalu mencoba mewujudkan kebaikan
tersebut. Inilah yang menjadi pemikiran Immanuel Kant Tentang Agama dan Tuhan.
Sehingga dari penjelasan
diatas dapat membuktikan bahwa harapan itu ada karena manusia hidup. Manusia
hidup penuh dengan dinamikanya, penuh dengan keinginannya atau kemauannya.
Harapan untuk setiap orang berbeda-beda kadarnya. Orang yang wawasan
berpikirnya luas, harapannya pun akan luas. Demikian pula orang yang wawasan
berpikirnya sempit, maka akan sempit pula harapannya.
Besar-kecilnya harapan
sebenarnya tidak ditentukan oleh luas atau tidaknya wawasan berpikir seseorang,
tetapi kepribadian seseorang dapat menentukan dan mengontrol jenis, macam, dan
besar-kecilnya harapan tersebut. Bila kepribadian seseorang kuat, jenis dan
besamya harapan akan berbeda dengan orang yang kepribadiannya lemah.
Kepribadian yang kuat akan mengontrol harapan seefektif dan seefisien mungkin
sehingga tidak merugikan bagi dirinya atau bagi orang lain, untuk masa kini
atau untuk masa depan, bagi masa di dunia atau masa di akhirat kelak. Harapan
seseorang juga ditentukan oleh kiprah usaha atau bekerja kerasnya seseorang.
Orang yang bekerja keras akan mempunyai harapan yang besar. Untuk memperoleh
harapan yang besar, tetapi kemampuannya kurang, biasanya disertai dengan
bantuan unsur dalam yaitu berdoa. Oleh karena itu untuk mewujudkan sebuah harapan
maka harus diringi dengan usaha atau kerja keras dan berdoa, karena harapan
jika tidak di iringi dengan sebuah tindakan maka akan menjadi sebuah harapan
saja.
Selajutnya apa yang dapat kita
ketahui? Apa yang dapat diketahui manusia hingga saat ini setidaknya telah
banyak disingkap. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dilengkapi dengan metode yang kian hari kian disempurnakan. Dengan kelahiran
ilmu pengetahuan yang dibidani oleh filsafat telah membengkak menjadi bayi
raksasa yang dibesarkan oleh air susu rasionalitas manusia. Sebuah ironi jika
akhirnya ia juga melahap wilayah kerja filsafat sampai yang tersisa dari ladang
ilmu hanya analisis bahasa. Jika demikian halnya, setelah apa-apa yang dapat
kita ketahui dengan kekuatan rasio, apa lagi yang belum atau masih akan kita
ketahui? Sampai kapan dan dimana kita tidak lagi merasa perlu mengetahui
“sesuatu”? Apakah “sesuatu” yang tidak akan dapat diketahui itu?
Bisakah kita mengetahuinya?
Kita tidak sedang menyuarakan keputusasaan dengan pertanyaan-pertanyaan di
atas. Dalam keinginan untuk mempertanyakan, tersimpan tidak hanya keraguan,
tapi juga cinta. Keraguan dan cinta: dua hal yang meresahkan dan oleh karena
itu kurang disukai dan harus ditepiskan. Mengapa demikian? Kita hidup di tengah
peradaban di mana segala sesuatu harus ditentukan, dirumuskan, didefenisikan
dan akhirnya dikotak-kotakkan. Ilmu pengetahuan dengan teknologi sebagai anak
kandungnya telah menjadi pilar utama zaman modern ini. Produk-produk yang di
ramu di laboratorium ilmu membuat hidup jadi mudah. Dunia terasa sempit dan
kecil, jarak dan waktu terjembatani. Apa yang disodorkan ilmu untuk kita adalah
barang jadi yang harus kita terima untuk kemudian diyakini. Ilmu pengetahuan
menjawab segala keraguan dan persoalan. Maka sikap mempertanyakan hanya akan
meruntuhkan jerih payah manusia yang berabad-abad lamanya membangun konstruksi
ilmu pengetahuan yang bertumpu sepenuhnya pada kekuatan rasio.
Maka dalam percepatan
pertumbuhannya, ilmu menyisakan sedikit sekali waktu dan ruang untuk kita
sejenak meragukan. Dengan ilmu pengetahuan pula, manusia menciptakan sistem dan
mekanisme dalam kehidupannya di mana pada akhirnya kita hanya menjadi satu
sekrup kecil saja dari mesin raksasa itu. Bukan kita lagi yang memegang kendali
mesin yang kini sedang menggelinding kencang, melainkan kitalah yang akhirnya
terserimpung lalu terpuruk dalam kubangannya. Manusia tidak lagi membuat
pengetahuan, tapi justru ilmu pengetahuanlah yang telah menciptakan skenario
bagi pola dan perjalanan kehidupan, dan yang pada gilirannya mencetak
sosok-sosok makhluk yang bernama manusia.
Menurut Kant, pengetahuan yang
mutlak sebenarnya memang tidak akan ada bila seluruh pengetahuan datang melalui
indera. Akan tetapi bila pengetahuan itu datang dari luar melalui akal murni,
yang tidak bergantung pada pengalaman, bahkan tidak bergantung pada indera,
yang kebenarannya a priori. Kant memulainya dengan mempertanyakan apakah ada
yang dapat kita ketahui seandainya seluruh benda dan indera dibuang. Seandainya
tidak ada benda dan tidak ada alat pengindiera, apakah ada sesuatu yang dapat
kita ketahui?
Menurut Kant, pengetahuan
manusia muncul dari dua sumber utama yaitu pengalaman pancaindra dan pemahaman
akal budi (rasio). Pengalaman yang diperoleh melalui pancaindra kita kemudian
diolah oleh pemahaman rasio kita dan menghasilkan pengetahuan. Itu sebabnya
pengetahuan manusia selalui bersifat apriori dan aposteriori secara bersamaan.
Tanpa pengalaman indrawi maka pengetahuan hanyalah konsep-konsep belaka, tetapi
tanpa pemahaman rasio pun pengalaman indrawi hanya merupakan kesan-kesan panca
indra belaka yang tidak akan sampai pada keseluruhan pengertian yang teratur
yang menjadikannya sebagai sebuah pengetahuan.
Pengetahuan bermula dari
pengalaman pancaindra yang kemudian diolah oleh pemahaman rasio untuk
menghasilkan sebuah pengetahuan yang menyeluruh dan teratur. Oleh sebab itu,
maka segala sesuatu yang tidak bisa dialami oleh pancaindra tidak bisa
dijadikan sebagai sumber pengetahuan, tetapi hanya sebagai sebuah hipotesis
belaka. Menurutnya, proses pengetahuan melalui tiga tahap yakni, pertama,
pengetahuan inderawi: segala data pada awalnya masuk melalui indera kita (a
posteriori/pengalaman iderawi). Kedua, Verstand merupakan bagaian akal
sederhana (a priori) yang lebih dominan. Ketiga, Vernumft merupakan bagian akal
yang lebih canggih (a priori) yang lebih dominan
Pengetahuan ada tiga macam
yaitu: pertama, pengetahuan analitis a priori (statement yang berupa definisi
tentang subjek): pengetahuan yang hanya menganalisis tentang subjek. Kedua,
pengetahuan sintetis a posteriori: ada unsur baru yang ditempelkan pada subjek
berdasarkan pengalaman dengan subjek. Ketiga, pengetahuan sintetis a priori:
pengetahuan yang lekat dengan matematika, sehingga ada unsur-unsur baru tetapi
hanya merupakan hasil kalkulasi angka-angka matematis. Oleh sebab itu,
Metafisika bisa digolongkan sebagai pengetahuan jenis ketiga ini. Mengapa
metafisika? Karena Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika
mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu
realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta? Dan
sebagainnya. Sehingga dengan adanya ilmu pengetahuan kita jadi tahu apa yang
harus kita ketahui.
Setelah kita mengetahui apa
yang harus kita ketahui, dan dapat terjawab melalui ilmu pengetahuan dan
metafisika selanjutnya kita akan mepertanyakan apa yang seharusnya kita
lakukan? Dalam hal ini filsafat mencoba menjawab melalui sebuah etika? Apa itu
etika? Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethikos", yang artinya
"timbul dari kebiasaan". Etika ialah suatu hal yang di mana dan
bagaimana suatu cabang utama filsafat yang mempelajari suatu nilai atau
kualitas yang menjadi studi mengenai suatu standar dan penilaian moral. Jadi
etika ialah suatu kebiasaan tata cara dalam berprilaku didalam lingkungan
masyarakat.
Adapun pengertian etika
menurut Dr. James J. Spillane menyatakan bahwa Etika ialah mempertimbangkan
atau memperhatikan suatu tingkah laku manusia didalam mengambil suatu keputusan
yang berhubungan dengan moral. Etika lebih mengarah pada suatu penggunaan akal
budi manusia dengan suatu objektivitas untuk menentukan benar atau salahnya dan
tingkah laku seseorang kepada orang lain. Sedangkan menurut Drs. Sidi Gajabla
menyatakan bahwa etika adalah sebagai suatu teori tentang suatu perilaku atau
perbuatan manusia yang dipandang dari sisi baik & buruknya yang sejauh mana
bisa ditentukan oleh akal manusia.
Etika dimulai
bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan
kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena
pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk
itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan
oleh manusia. Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat
dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis
dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai
suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda
dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki
sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk
terhadap perbuatan manusia.
Mengapa etika? Karena etika
disebut juga filsafat moral (moral philosophy).
Etika berasal dari kata ethos (Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari
kata mos atau mores (Latin) yang artinya kebiasaan. Objek material etika adalah
tingkah laku atau perbuatan manusia, sedang objek formal etika adalah kebaikan
atau keburukan, bermoral atau tidak bermoral. Moralitas manusia adalah objek
kajian etika yang telah berusia sangat lama. Sejak manusia terbentuk, persoalan
perilaku yang sesuai dengan moralitas telah menjadi bahasan. Berkaitan dengan
hal itu, kemudian muncul dua teori yang menjelaskan bagaimana suatu perilaku
itu dapat diukur secara etis yaitu Deontologis dan Teologis. Teori Deontologis
dihasilkan oleh pemikiran Immanuel Kant. Deontologi berasal dari kata Deon
(Yunani) yang berarti kewajiban. Menurut teori ini perbuatan adalah baik jika
dilakukan berdasarkan “imperatif kategoris” (perintah tak bersyarat). Yang
menjadi dasar bagi baik buruknya perbuatan adalah kewajiban dan tujuan yang
baik tidak menjadikan perbuatan itu baik.
Etika Immanuel Kant diawali
dengan pernyataan bahwa satu-satunya hal baik yang tak terbatasi dan tanpa
pengecualian adalah “kehendak baik”. Sejauh orang berkehendak baik maka orang
itu baik, penilaian bahwa sesorang itu baik sama sekali tidak tergantung pada
hal-hal diluar dirinya, tak ada yang baik dalam dirinya sendiri kecuali
kehendak baik. Wujud dari kehendak baik yang dimiliki seseorang adalah bahwa ia
mau menjalankan Kewajiban. Setiap tindakan yang kita lakukan adalah untuk
menjalankan kewajiban sebagai hukum batin yang di taati, tindakan itulah yang
mencapai moralitas. Etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik
dan watak yang kuat dari perilaku. Kemauan baik adalah syarat mutlak untuk
bertindak secara moral. Tindakan yang baik adalah tindakan yang tidak saja
sesuai dengan kewajiban melainkan juga yang dijalankan demi kewajiban.
Kewajiban menurutnya adalah
keharusan tindakan demi hormat terhadap hukum, tidak peduli apakah itu membuat
kita nyaman atau tidak, senang atau tidak, cocok atau tidak, pokoknya aku wajib
menaatinya. Ketaatan ini muncul dari sikap batin yang merupakan wujud dari
kehendak baik yang ada didalam diri. Tiga prinsip yang harus dipenuhi: Pertama,
supaya suatu tindakan mempunyai nilai moral, tindakan itu harus dijalankan
berdasarkan kewajiban. Kedua, nilai moral dari tindakan itu tidak tergantung
pada tercapainya tujuan dari tindakan itu melainkan tergantung pada kemauan
baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan itu (walaupun tujuannya
tidak tercapai, tindakan itu sudah dinilai baik). Ketiga, sebagai konsekuensi
dari kedua prinsip itu, kewajiban adalah hal tindakan yang dilakukan
berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal.
Menurut Kant ada tiga
kemungkinan seseorang menjalankan kewajibannya, pertama, ia memenuhi kewajiban
karena hal itu menguntungkannya. Kedua, ia memenuhi kewajibannya karena
ia terdorong dari perasaan yang ada didalam hatinya, misalnya rasa kasihan.
Ketiga, ia memenuhi kewajibannya kerena kewajibannya tersebut, karena memang ia
mau memenuhi kewajibannya. Kriteria kewajiban moral menurut Kant, landasan
epistemologinya bahwa tindakan moral manusia merupakan apriori akal budi
praktis murni yang mana sesuatu yang menjadi kewajiban kita tidak didasarkan
pada realitas empiris, tidak berdasarkan perasaan, isi atau tujuan dari
tindakan. Kriteria kewajiban moral ini menurut Kant adalah Imperatif Kategoris.
Perintah Mutlak demikian istilah lain dari Imperatif Kategoris, ia berlaku umum
selalu dan dimana-mana, bersifat universal dan tidak berhubungan dengan tujuan
yang mau dicapai. Dalam arti perintah yang dimaksudkan adalah perintah yang
rasional yang merupakan keharusan obyektif, bukan sesuatu yang berlawanan
dengan kodrat manusia, misalnya “kamu wajib terbang !”, bukan juga paksaan,
melainkan melewati pertimbangan yang membuat kita menaatinya.
Setelah kita mengetahui apa
yang diharapkan manusia, apa yang dapat kita ketahui dan apa yang harus di
lakukan manusia. Mungkin dalam benak kita bertanya-tanya tentang manusai itu
sendiri. Nah sipakah manusia itu? Menurut kajian filsafat manusia atau yang biasa
disebut dengan antropologi filsafati adalah bagian integral dari sistem
filsafat yang secera spesifik menyoroti hakikat atau esensi manusia. Seperti
halnya ilmu-ilmu lain antara lain sosiologi, antropologi, psikologi, filsafat
manusia juga menggunakan manusia sebagai objek kajiannya. Akan tetapi filsafat
manusia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh ilmu-ilmu lainnya yaitu
bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mendasar yang menjadi inti dari
pelajaran tentang manusia, yaitu hakikat atau esensi dari manusia itu sendiri.
Dan hal itu juga yang membedakan filsafat manusia dengan filsafat ilmu. Maka
siapakah manusia itu sebenarnya?
Berbicara mengenai siapa dan apa sebenarnya
manusia masih terlalu banyak pro dan kontra yang belum menemui suatu pencerahan
dari permasalahan ini. Maka sebelum membahas mendalam mengenai manusia kita
perlu mengetahui apa saja yang menjadi unsur pokok pembentuk manusia itu
sendiri. Manusia terdiri dari 2 unsur pokok yang bersifat materil dan
non-materil/rohani. Materil ini dapat diartikan dengan fisik manusia atau
hal-hal yang dapat dilihat nyata. Sedangkan non-materil/rohani itu dapat diartikan
sebagai jiwa yang mengatur semua aktvitas manusia dan jiwa ini tidak dapat
dilihat oleh mata akan tetapi semua manusia merasakan keberadaannya.
Dalam hal ini Immanuel Kant
mengatakan bahwa hanya manusialah tujuan pada dirinya, dan bukan semata-mata
alat atau sarana yang boleh diperlakukan sewenang-wenang. Di dalam segala
tindakan manusia baik yang ditujukan kepada dirinya sendiri maupun kepada orang
lain, manusia harus dipandang serentak sebagai tujuan. Bagi Kant, manusialah
aktor yang mengkonstruksi dunianya sendiri. Melalui a priori formal, jiwa
manusia mengatur data kasar pengalaman (pengindraan) dan kemudian membangun
ilmu-ilmu matematika dan fisika. Melalui kehendak yang otonomlah jiwa membangun
moralitas. Sedangkan Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany mengatakan bahwa
manusia adalah mahluk yang paling mulia, manusia adalah mahluk yang berfikir,
dan manusia adalah mahluk yang memiliki 3 dimensi (badan, akal, dan ruh),
manusia dalam pertumbuhannya dipengaruhi faktor keturunan dan lingkungan. Dan
Erbe Sentanu mengatakan bahwa manusia adalah mahluk sebaik-baiknya ciptaan-Nya.
Bahkan bisa dibilang manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna
dibandingkan dengan mahluk yang lain.
Sehingga dapat disimpulkan
bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki derajat
tertinggi dibandingkan, makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya. Ini disebabkan
karena manusia memiliki kelebihan yang tidak dimiliki makhluk lainnya, yaitu
akal budi. Manusia memiliki kecerdasan untuk berpikir. Sehingga manusia
dapat membedakan hal yang baik maupun yang tidak. Oleh sebab itulah, manusia
digolongkan sebagai Homo Sapiens, dari bahasa latin yang berarti
manusia yang tahu. Spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak
berkemampuan tinggi. Sedangkan secara bahasa manusia berasal dari kata “manu”
(Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti berpikir, berakal budi dan makhluk
yang berasal budi. Penggolongan manusia yang paling utama adalah berdasarkan
jenis kelaminnya, yang dibedakan menjadi dua, yaitu: laki-laki dan perempuan.
Adapun dasar manusia
diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan kedudukan sebagai makhluk individu
dan makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk individu mempunyai sifat-sifat
individu khas yang berbeda dengan manusia lainnya. Manusia berbeda dengan
manusia lainnya. Manusia sebagai individu bersifat nyata, yaitu mereka
berupaya untuk selalu merealisasikan kepentingan, kebutuhan, dan potensi pribadi
yang dimilikinya. Hal tersebut akan terus menerus berkembang menyesuaikan
dengan perkembangan kehidupan yang dialaminya dan pertumbuhan yang ada pada
dirinya. Setiap manusia senantiasa akan berusaha mengembangkan kemampuan
pribadinya guna memenuhi berbagai kebutuhan dan mempertahankan hidupnya.
Manusia pada hakikatnya adalah
makhluk sosial, artinya makhluk yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang
lain. Setiap manusia normal memerlukan orang lain dan hidup bersama-sama
dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kenyataan ini sesuai
dengan pendapat Aristoteles, menyatakan bahwa manusia adalah zoom politicon,
yang berarti selain sebagai makhluk individu, manusia juga termasuk dalam
makhluk sosial yang harus berinteraksi dengan manusia lain. Dengan semakin
meningkat kebutuhan hidupnya, manusia membutuhkan orang lain untuk mendukung
kehidupannya. Pada perkembangan secara lebih luas dan kompleks, manusia
membutuhkan tata masyarakat, lembaga-lembaga sosial, dan juga membutuhkan
negara.
Dari apa yang telah saya
jelaskan di atas, maka dapat saya simpulkan bahwa semua itu merupakan
permasalahan dalam kehidupan manusia. Manusia selalu bertanya-tanya apa yang di
harapannya, apa yang dapat ia ketahui, dan apa yang harus ia lakukan dan bahkan
manusia itu bertanya tentang dirinya sendiri, ya siapa aku, karena manusia itu
makhluk yang berbeda dengan makhluk lainnya. Dengan di bekalinya akal itu
menjadikan manusia penasaran apa yang mendasari kehidupannya.
Daftar Pustaka
A. Wattimena, Reza A. 2016. Tentang Manusia. Yogyakarta:
Maharsa