Jumat, 30 Desember 2016

Eksistensialisme



Eksistensialisme

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala gejala yang dengan berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara berada di dunia. Cara berada manusai di dunia berbeda dengan cara berada makhluk-makhluk lain. Benda mati dan hewan tidak menyadari keberadaannya, tapi manusia sadar bahwa di aberada di dunia. Manusia sadar bahwa ia bereksistensi. Itulah sebabnya, segalanya mempunyai arti sejauh berkaitan dengan manusia. Dengan kata lain, manusia memberi arti kepada segalanya. Manusia menentukan perbuatannya sendiri. Ia memahami diri sebagai pribadi yang bereksistensi.
Jadi, eksistensi berpandangan bahwa pada manusia eksistensi mendahului esensi (hakekat), sebaliknya pada benda-benda lain esensi mendahului eksistensi. Manusia berada lalu menentukan diri sendiri menurut proyeksinya sendiri. Hidupnya tidak di tentukan lebih dulu. Sebaliknya benda-benda lain bertindak menurut esensi atau kodrat yang mamang tidak dapat dielakkan.
Tokoh-tokoh terpenting eksistensialisme adalah Martin Heidegger (1883-1976), Jean Paul Sartre (1905-1980), Karl Jaspers (1883-1969) dan Gabriel Marcel (1889-1973), Soren Kiergaard (1813-1855), Friedrich Nietzzche (1844-1900), Nicholas Alexandrovitch Berdyaev (1874-1948) juga sering dimaksudkan kedalam kelompok filsuf-filsuf eksistensialis.
Patut dicatat bahwa sebetulnya diantara para filsuf eksistensialis terdapat perbedaan. Sebagian mereka bahkan tidak mau dikelompokkan sebagai para filsuf eksistensialis. Akan tetapi mereka semua mempunyai kesamaan padangan bahwa filsafat harus bertitik tolak pada manusia konkret, manusia yang bereksistensi. Dalam kaitan denan ini mereka berpendapat pada manusia eksistensi mendahului esensi.
Sebagian filsuf eksistensialisme adalah atheis, seperti Jean-Paul Sartre, tetapai tetap ada juga yang mengakui Allah, seperti Gabriel Marcel. Jean-Paul Sartre adalah satu-satunya filsuf kontemporer yang menenpatkan kebebasan pada titik yang sangat ekstrim. Dia berpendapat bahwa manusia itu bebas atau sama sekali tidak bebas. Tentang kebebasan, Sarte mengatakan :”manusia bebas, manusia adalah kebebasan”. Dalam sejarah filsafat tidak pernah ada ungkapan begitu ekstrim tentang kebabasan. Sarte tidak memandang kebebasan sebagi salah satu ciri manusia, tapi menganggap manusia sebagai kebebasan.
Konsep kebebasan ini membawa Sartre kepada penolakan adanya Allah. Menurut Sartre, jika ada Allah maka manusia tidaka akan bebas lagi, sebab Allah sudah menentukan esensi manusia. Pisau yang dibuat tukang, kata Sartre sudah ada dalam konsep tukang yang membuatnya sebelum pisau itu hadir dalam bentuk tertentu. Dalam pikirannya, tukang pisau sudah memikirkan bahwa pisau ituterbuat dari baja atau besi, tajam, berujung runcing, diberi gagang tanduk rusa, digunakan untuk memeotong daging atau mencukur rambut, dan ciri-ciri lainnya. Itulah esensi pisau yang sudah ada di kepala  tukang sebelum pisau itu betul-betul hadir dalam wujud tertentu.
Kalau ada Allah, kara Sartre maka Allah pasti sudah mngetahui esensi manusia, itu berarti manusia tidak bebas lagi, manusia akan melakukan apa yang sudah ditentukan oleh Allah itu. Tapi ibni tidak mungkin sebab pada manusia eksistensi mendahului esensi, sebab itu tidak ada Allah.
Menurut Sartre manusia tidak memiliki kodrat. Ia ada begitu saja, baru sesudahnya ia membuat kodratnya sendiri. Mengapa? Karena memnag tidak ada Allah yang mengkonsepkan itu.
Menusia tidak memiliki kewajiban terhadap suatu yang lain, kecuali dirinya sendiri. Seandainya Allah ada, manusia kehilangan kodrat manusianya. Maka mustahil bagi Allah dan manusia ada berdampingan. Manusia yang hanya merupakan alat tangan di tangan Allah, kata Sartre, bukan manusia bebas.
Dalam bukunya Exixtentialism and Humanism Sarte memberikan tanggapan kepda orang-orang yang mengatakan bahwa eksistensialisme adalah ateisme. Sartre mengatakan bahwa eksistensialisme sama sekali bukan ateisme ytang menolak adanya Allah. Seandainya Allah itu ada, itu sama sekali tidak akan mengubah apa-apa. Kata Sartre.

Essai "Permasalahan Kehidupan Manusia Dalam Kajian Filsafat"




Permasalahan Kehidupan Manusia Dalam Kajian Filsafat 
Disusun Oleh
Dede Halimatusa’diah

Filsafat dan ilmu pengetahuan telah menggunakan berbagai metode untuk memahami tentang permasalahan manusia dan kehidupannya. Di sini, manusia dipahami sebagai mahluk yang berakal budi. Dengan akal budinya, manusia mampu bekerja sama, dan kemudian mewujudkan harapann hidup mereka agar menjadi kenyataan. Nah apa itu harapan? bagaimana cara mewujudkannya agar harapan itu menjadi kenyataan? Harapan atau asa adalah bentuk dasar dari kepercayaan akan sesuatu yang diinginkan, di dapatkan atau suatu kejadian yang akan berbuah kebaikan di waktu yang akan datang. Pada umumnya harapan berbentuk abstrak, tidak tampak, namun dapat diyakini. Beberapa pendapat menyatakan bahwa esensi harapan berbeda dengan “berpikir positif” yang merupakan salah satu cara terapi atau proses sistematis dalam psikologi untuk menangkal pikiran negative atau berpikir pesimis. Nah bagaimana harapan dalam kehidupan manusia?
Harapan dalam kehidupan manusia merupakan cita-cita, keinginan, penantian, kerinduan supaya sesuatu itu terjadi. Dalam menantikan adanya sesuatu yang terjadi dan diharapkan, manusia melibatkan manusia lain atau kekuatan lain di luar dirinya supaya sesuatu terjadi, selain hasil usahanya yang telah dilakukan dan ditunggu hasilnya. Jadi, yang diharapkan itu adalah hasil jerih payah dirinya dan bantuan kekuatan lain. Bahkan harapan itu tidak bersifat egosentris, berbeda dengan keinginan yang menurut kodratnya bersifat egosentris, usahanya ialah memiliki. Harapan tertuju kepada “Engkau”, sedangkan keinginan kepada “Aku”. Harapan itu ditujukan kepada orang lain atau kepada Tuhan. Keinginan itu untuk kepentingan dirinya, meskipun pemenuhan keinginan itu melalui pemenuhan keinginan orang lain. Misalnya melakukan perbuatan sedekah kepada orang lain: orang lain terpenuhi keinginanya, dan sekaligus orang yang sedekah juga terpenuhi keinginannya, yaitu kebahagiaan sewaktu berbuat baik kepada orang lain.
Adapun dalam kajian filsafat ilmu seorang filsuf Immanuel Kant mencoba menjawab pertanyaan apa yang menjadi harapan manusia itu dengan sebuah agama dan Tuhan. Meskipun Kant lebih dikenal sebagai filsuf yang berkecimpung dalam bidang epistemologi dan etika, tetapi kajian tentang Tuhan pun tak luput dari penelaahannya. Dalam bidang keagamaan atau Teologi, Kant menolak bukti-bukti “onto-teologis” adanya Tuhan. Artinya, menurutnya, Tuhan itu, statusnya bukan “objek” inderawi, melainkan a priori yang terletak pada lapisan ketiga (budi tertinggi) dan berupa “postulat” (Asumsi yg menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa perlu membuktikannya; anggapan dasar). Immanuel Kant berargumentasi bahwa konsep seseorang tentang Tuhan harus berasal dari penalaran; oleh karena itu, ia menyerang bukti-bukti tentang keberadaan Tuhan, dengan menyangkali keabsahannya. Kant berpendapat bahwa tidak dapat terpisah pengalaman yang dapat dibuktikan melalui pengujian. Dalam hal ini, Kant mengkombinasikan rasionalisme (kebertumpuan pada penalaran manusia) dan empirisme (pembuktian sesuatu berdasar metode ilmiah).
Bagi Kant, Tuhan bukanlah soal teoretis, melainkan soal praktis, soal moral, soal totalitas pengalaman, dan arti atau makna hidup terdalam (ini dampak positifnya). Dampak negatifnya adalah bahwa sebagai “postulat’ (penjamin) moralitas, Tuhan adalah konsekuensi moralitas, maka moralitas merupakan dasar keberadaan Tuhan. Karena itu, muncul tendensi pada Kant untuk meletakkan agama hanya pada tataran moralitas semata atau perkara horizontal saja (hubungan antar manusia saja atau soal perilaku di dunia ini saja). Konsekuensinya, agamanya Kant, tidak memerlukan credo (kepercayaan). Kant menyatakan bahwa memang Tuhan hanya bisa didekati melalui iman dan iman itu dilandasi oleh hukum moral. Hukum moral mewajibkan kita untuk selalu melakukan kebaikan. Tetapi hukum moral ini mensyaratkan tiga hal utama, yaitu: kebebasan, keabadian jiwa, dan keberadaan tuhan.
Pertama, kewajiban tentu mengandaikan kebebasan. Kita bebas untuk tidak menjalankan hukum moral untuk melakukan kebaikan. Maka kemudian hukum moral menjadi wajib. Kebaikan menjadi wajib dilakukan. Apabila tidak ada kebebasan maka tidak akan ada kewajiban. Karena manusia bebas untuk melakukan atau tidak melakukan kebaikan maka kemudian muncul kewajiban untuk melakukan kebaikan. Kedua, adalah keabadian jiwa. Hukum moral bertujuan untuk mencapai kebaikan tertinggi. Kebaikan tertinggi ini mengandung elemen keutamaan dan kebahagiaan. Orang dinyatakan memiliki keutamaan apabila perbuatannya sesuai dengan hukum moral. Dari keutamaan inilah kemudian muncul kebahagiaan. Tetapi menurut Kant, manusia itu tidak akan selalu mencapai kondisi keutamaan. Tidak akan pernah manusia mencapai kesesuaian kehendak dengan hukum moral. Karena apabila manusia bisa mencapai kesesuaian ini tanpa putus maka itu adalah kesucian dan tidak ada manusia yang akan pernah mencapai kesucian mutlak. Manusia hanya akan selalu berusaha untuk mencapai kesucian itu, dan itu adalah perjuangan tanpa akhir. Karena egoisme dan sifat dasar manusia lainnya, maka perjuangan mencapai kesucian itu adalah perjuangan tanpa akhir.
Oleh sebab itu, keutamaan yang menjadi elemen kebaikan tertinggi yang merupakan tujuan akhir dari hukum moral tidak akan pernah bisa direalisasikan selama manusia hidup. Dengan kata lain kondisi ideal dimana terjadi kesesuaian antara kehendak dan hukum moral adalah jika manusia sudah tidak memiliki kehendak (mati), tetapi apabila setelah mati tidak ada kehidupan maka kondisi ideal itu juga tidak akan tercapai. Oleh sebab itu, maka hukum moral mengandaikan bahwa jiwa itu abadi. Bahkan setelah raga ini mati jiwa akan selalu abadi untuk mencapai kondisi ideal berupa kebaikan tertinggi. Ketiga, adalah keberadaan tuhan. Telah dijelaskan bahwa kebaikan tertinggi memiliki elemen keutamaan dan kebahagaiaan. Keutamaan adalah kesesuaian antara kehendak dengan hukum moral dan dari keutamaan inilah muncul kebahagiaan. Kebahagiaan sendiri adalah kondisi di mana realitas manusia sesuai dengan keinginan dan kehendaknya. Tapi hal itu tidaklah mungkin karena manusia bukan yang maha pengatur yang bisa mengharmoniskan dunia fisik sesuai dengan kehendak dan keinginannya. Tapi justru itulah yang diandaikan apabila kita memiliki keutamaan. Kebahagiaan diandaikan sebagai sintesis dari dunia fisik, kehendak, dan keinginan. Realitas inilah yang kemudian disebut tuhan. Tuhan adalah penyebab tertinggi alam sejauh alam itu diandaikan untuk kebaikan tertinggi atau tuhan adalah pencipta alam fisik yang sesuai dengan kehendak dan keinginan-Nya.
Apabila kita bertindak sesuai hukum moral maka akan membawa kita pada keutamaan dan keutamaan akan membawa kita pada kebahagiaan dan kebahagiaan adalah kondisi di mana terdapat kesesuaian antara alam fisik dengan kehendak dan keinginan. Dan yang memiliki kesesuaian ketiga elemen ini adalah Tuhan. Maka, dengan berbuat baik kita akan sampai pada realitas keberadaan Tuhan. Artinya hukum moral mengandaikan keberadaan Tuhan. Jika tiga syarat (kebebasan, keabadian jiwa, dan keberadaan tuhan) ini tidak diandaikan keberadaanya, maka runtuhlah sistem moral. Padalah sistem moral itu selalu ada. Kebaikan selalu ada dan manusia selalu mencoba mewujudkan kebaikan tersebut. Inilah yang menjadi pemikiran Immanuel Kant Tentang Agama dan Tuhan.
Sehingga dari penjelasan diatas dapat membuktikan bahwa harapan itu ada karena manusia hidup. Manusia hidup penuh dengan dinamikanya, penuh dengan keinginannya atau kemauannya. Harapan untuk setiap orang berbeda-beda kadarnya. Orang yang wawasan berpikirnya luas, harapannya pun akan luas. Demikian pula orang yang wawasan berpikirnya sempit, maka akan sempit pula harapannya.
Besar-kecilnya harapan sebenarnya tidak ditentukan oleh luas atau tidaknya wawasan berpikir seseorang, tetapi kepribadian seseorang dapat menentukan dan mengontrol jenis, macam, dan besar-kecilnya harapan tersebut. Bila kepribadian seseorang kuat, jenis dan besamya harapan akan berbeda dengan orang yang kepribadiannya lemah. Kepribadian yang kuat akan mengontrol harapan seefektif dan seefisien mungkin sehingga tidak merugikan bagi dirinya atau bagi orang lain, untuk masa kini atau untuk masa depan, bagi masa di dunia atau masa di akhirat kelak. Harapan seseorang juga ditentukan oleh kiprah usaha atau bekerja kerasnya seseorang. Orang yang bekerja keras akan mempunyai harapan yang besar. Untuk memperoleh harapan yang besar, tetapi kemampuannya kurang, biasanya disertai dengan bantuan unsur dalam yaitu berdoa. Oleh karena itu untuk mewujudkan sebuah harapan maka harus diringi dengan usaha atau kerja keras dan berdoa, karena harapan jika tidak di iringi dengan sebuah tindakan maka akan menjadi sebuah harapan saja. 
Selajutnya apa yang dapat kita ketahui? Apa yang dapat diketahui manusia hingga saat ini setidaknya telah banyak disingkap. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilengkapi dengan metode yang kian hari kian disempurnakan. Dengan kelahiran ilmu pengetahuan yang dibidani oleh filsafat telah membengkak menjadi bayi raksasa yang dibesarkan oleh air susu rasionalitas manusia. Sebuah ironi jika akhirnya ia juga melahap wilayah kerja filsafat sampai yang tersisa dari ladang ilmu hanya analisis bahasa. Jika demikian halnya, setelah apa-apa yang dapat kita ketahui dengan kekuatan rasio, apa lagi yang belum atau masih akan kita ketahui? Sampai kapan dan dimana kita tidak lagi merasa perlu mengetahui “sesuatu”? Apakah “sesuatu” yang tidak akan dapat diketahui itu?
Bisakah kita mengetahuinya? Kita tidak sedang menyuarakan keputusasaan dengan pertanyaan-pertanyaan di atas. Dalam keinginan untuk mempertanyakan, tersimpan tidak hanya keraguan, tapi juga cinta. Keraguan dan cinta: dua hal yang meresahkan dan oleh karena itu kurang disukai dan harus ditepiskan. Mengapa demikian? Kita hidup di tengah peradaban di mana segala sesuatu harus ditentukan, dirumuskan, didefenisikan dan akhirnya dikotak-kotakkan. Ilmu pengetahuan dengan teknologi sebagai anak kandungnya telah menjadi pilar utama zaman modern ini. Produk-produk yang di ramu di laboratorium ilmu membuat hidup jadi mudah. Dunia terasa sempit dan kecil, jarak dan waktu terjembatani. Apa yang disodorkan ilmu untuk kita adalah barang jadi yang harus kita terima untuk kemudian diyakini. Ilmu pengetahuan menjawab segala keraguan dan persoalan. Maka sikap mempertanyakan hanya akan meruntuhkan jerih payah manusia yang berabad-abad lamanya membangun konstruksi ilmu pengetahuan yang bertumpu sepenuhnya pada kekuatan rasio.
Maka dalam percepatan pertumbuhannya, ilmu menyisakan sedikit sekali waktu dan ruang untuk kita sejenak meragukan. Dengan ilmu pengetahuan pula, manusia menciptakan sistem dan mekanisme dalam kehidupannya di mana pada akhirnya kita hanya menjadi satu sekrup kecil saja dari mesin raksasa itu. Bukan kita lagi yang memegang kendali mesin yang kini sedang menggelinding kencang, melainkan kitalah yang akhirnya terserimpung lalu terpuruk dalam kubangannya. Manusia tidak lagi membuat pengetahuan, tapi justru ilmu pengetahuanlah yang telah menciptakan skenario bagi pola dan perjalanan kehidupan, dan yang pada gilirannya mencetak sosok-sosok makhluk yang bernama manusia.
Menurut Kant, pengetahuan yang mutlak sebenarnya memang tidak akan ada bila seluruh pengetahuan datang melalui indera. Akan tetapi bila pengetahuan itu datang dari luar melalui akal murni, yang tidak bergantung pada pengalaman, bahkan tidak bergantung pada indera, yang kebenarannya a priori. Kant memulainya dengan mempertanyakan apakah ada yang dapat kita ketahui seandainya seluruh benda dan indera dibuang. Seandainya tidak ada benda dan tidak ada alat pengindiera, apakah ada sesuatu yang dapat kita ketahui?
Menurut Kant, pengetahuan manusia muncul dari dua sumber utama yaitu pengalaman pancaindra dan pemahaman akal budi (rasio). Pengalaman yang diperoleh melalui pancaindra kita kemudian diolah oleh pemahaman rasio kita dan menghasilkan pengetahuan. Itu sebabnya pengetahuan manusia selalui bersifat apriori dan aposteriori secara bersamaan. Tanpa pengalaman indrawi maka pengetahuan hanyalah konsep-konsep belaka, tetapi tanpa pemahaman rasio pun pengalaman indrawi hanya merupakan kesan-kesan panca indra belaka yang tidak akan sampai pada keseluruhan pengertian yang teratur yang menjadikannya sebagai sebuah pengetahuan.
Pengetahuan bermula dari pengalaman pancaindra yang kemudian diolah oleh pemahaman rasio untuk menghasilkan sebuah pengetahuan yang menyeluruh dan teratur. Oleh sebab itu, maka segala sesuatu yang tidak bisa dialami oleh pancaindra tidak bisa dijadikan sebagai sumber pengetahuan, tetapi hanya sebagai sebuah hipotesis belaka. Menurutnya, proses pengetahuan melalui tiga tahap yakni, pertama, pengetahuan inderawi: segala data pada awalnya masuk melalui indera kita (a posteriori/pengalaman iderawi).  Kedua, Verstand merupakan bagaian akal sederhana (a priori) yang lebih dominan. Ketiga, Vernumft merupakan bagian akal yang lebih canggih (a priori) yang lebih dominan
Pengetahuan ada tiga macam yaitu: pertama, pengetahuan analitis a priori (statement yang berupa definisi tentang subjek): pengetahuan yang hanya menganalisis tentang subjek. Kedua, pengetahuan sintetis a posteriori: ada unsur baru yang ditempelkan pada subjek berdasarkan pengalaman dengan subjek. Ketiga, pengetahuan sintetis a priori: pengetahuan yang lekat dengan matematika, sehingga ada unsur-unsur baru tetapi hanya merupakan hasil kalkulasi angka-angka matematis. Oleh sebab itu, Metafisika bisa digolongkan sebagai pengetahuan jenis ketiga ini. Mengapa metafisika? Karena Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta? Dan sebagainnya. Sehingga dengan adanya ilmu pengetahuan kita jadi tahu apa yang harus kita ketahui.
Setelah kita mengetahui apa yang harus kita ketahui, dan dapat terjawab melalui ilmu pengetahuan dan metafisika selanjutnya kita akan mepertanyakan apa yang seharusnya kita lakukan? Dalam hal ini filsafat mencoba menjawab melalui sebuah etika? Apa itu etika? Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethikos", yang artinya "timbul dari kebiasaan". Etika ialah suatu hal yang di mana dan bagaimana suatu cabang utama filsafat yang mempelajari suatu nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai suatu standar dan penilaian moral. Jadi etika ialah suatu kebiasaan tata cara dalam berprilaku didalam lingkungan masyarakat.
Adapun pengertian etika menurut Dr. James J. Spillane menyatakan bahwa Etika ialah mempertimbangkan atau memperhatikan suatu tingkah laku manusia didalam mengambil suatu keputusan yang berhubungan dengan moral. Etika lebih mengarah pada suatu penggunaan akal budi manusia dengan suatu objektivitas untuk menentukan benar atau salahnya dan tingkah laku seseorang kepada orang lain. Sedangkan menurut Drs. Sidi Gajabla menyatakan bahwa etika adalah sebagai suatu teori tentang suatu perilaku atau perbuatan manusia yang dipandang dari sisi baik & buruknya yang sejauh mana bisa ditentukan oleh akal manusia.
   Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.
Mengapa etika? Karena etika disebut juga filsafat moral (moral philosophy). Etika berasal dari kata ethos (Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari kata mos atau mores (Latin) yang artinya kebiasaan. Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia, sedang objek formal etika adalah kebaikan atau keburukan, bermoral atau tidak bermoral. Moralitas manusia adalah objek kajian etika yang telah berusia sangat lama. Sejak manusia terbentuk, persoalan perilaku yang sesuai dengan moralitas telah menjadi bahasan. Berkaitan dengan hal itu, kemudian muncul dua teori yang menjelaskan bagaimana suatu perilaku itu dapat diukur secara etis yaitu Deontologis dan Teologis. Teori Deontologis dihasilkan oleh pemikiran Immanuel Kant. Deontologi berasal dari kata Deon (Yunani) yang berarti kewajiban. Menurut teori ini perbuatan adalah baik jika dilakukan berdasarkan “imperatif kategoris” (perintah tak bersyarat). Yang menjadi dasar bagi baik buruknya perbuatan adalah kewajiban dan tujuan yang baik tidak menjadikan perbuatan itu baik.
Etika Immanuel Kant diawali dengan pernyataan bahwa satu-satunya hal baik yang tak terbatasi dan tanpa pengecualian adalah “kehendak baik”. Sejauh orang berkehendak baik maka orang itu baik, penilaian bahwa sesorang itu baik sama sekali tidak tergantung pada hal-hal diluar dirinya, tak ada yang baik dalam dirinya sendiri kecuali kehendak baik. Wujud dari kehendak baik yang dimiliki seseorang adalah bahwa ia mau menjalankan Kewajiban. Setiap tindakan yang kita lakukan adalah untuk menjalankan kewajiban sebagai hukum batin yang di taati, tindakan itulah yang mencapai moralitas. Etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang kuat dari perilaku. Kemauan baik adalah syarat mutlak untuk bertindak secara moral. Tindakan yang baik adalah tindakan yang tidak saja sesuai dengan kewajiban melainkan juga yang dijalankan demi kewajiban.
Kewajiban menurutnya adalah keharusan tindakan demi hormat terhadap hukum, tidak peduli apakah itu membuat kita nyaman atau tidak, senang atau tidak, cocok atau tidak, pokoknya aku wajib menaatinya. Ketaatan ini muncul dari sikap batin yang merupakan wujud dari kehendak baik yang ada didalam diri. Tiga prinsip yang harus dipenuhi: Pertama, supaya suatu tindakan mempunyai nilai moral, tindakan itu harus dijalankan berdasarkan kewajiban. Kedua, nilai moral dari tindakan itu tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan itu (walaupun tujuannya tidak tercapai, tindakan itu sudah dinilai baik). Ketiga, sebagai konsekuensi dari kedua prinsip itu, kewajiban adalah hal tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal.
Menurut Kant ada tiga kemungkinan seseorang menjalankan kewajibannya, pertama, ia memenuhi kewajiban karena hal itu menguntungkannya.  Kedua, ia memenuhi kewajibannya karena ia terdorong dari perasaan yang ada didalam hatinya, misalnya rasa kasihan. Ketiga, ia memenuhi kewajibannya kerena kewajibannya tersebut, karena memang ia mau memenuhi kewajibannya. Kriteria kewajiban moral menurut Kant, landasan epistemologinya bahwa tindakan moral manusia merupakan apriori akal budi praktis murni yang mana sesuatu yang menjadi kewajiban kita tidak didasarkan pada realitas empiris, tidak berdasarkan perasaan, isi atau tujuan dari tindakan. Kriteria kewajiban moral ini menurut Kant adalah Imperatif Kategoris. Perintah Mutlak demikian istilah lain dari Imperatif Kategoris, ia berlaku umum selalu dan dimana-mana, bersifat universal dan tidak berhubungan dengan tujuan yang mau dicapai. Dalam arti perintah yang dimaksudkan adalah perintah yang rasional yang merupakan keharusan obyektif, bukan sesuatu yang berlawanan dengan kodrat manusia, misalnya “kamu wajib terbang !”, bukan juga paksaan, melainkan melewati pertimbangan yang membuat kita menaatinya.  
Setelah kita mengetahui apa yang diharapkan manusia, apa yang dapat kita ketahui dan apa yang harus di lakukan manusia. Mungkin dalam benak kita bertanya-tanya tentang manusai itu sendiri. Nah sipakah manusia itu? Menurut kajian filsafat manusia atau yang biasa disebut dengan antropologi filsafati adalah bagian integral dari sistem filsafat yang secera spesifik menyoroti hakikat atau esensi manusia. Seperti halnya ilmu-ilmu lain antara lain sosiologi, antropologi, psikologi, filsafat manusia juga menggunakan manusia sebagai objek kajiannya. Akan tetapi filsafat manusia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh ilmu-ilmu lainnya yaitu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mendasar yang menjadi inti dari pelajaran tentang manusia, yaitu hakikat atau esensi dari manusia itu sendiri. Dan hal itu juga yang membedakan filsafat manusia dengan filsafat ilmu. Maka siapakah manusia itu sebenarnya?
 Berbicara mengenai siapa dan apa sebenarnya manusia masih terlalu banyak pro dan kontra yang belum menemui suatu pencerahan dari permasalahan ini. Maka sebelum membahas mendalam mengenai manusia kita perlu mengetahui apa saja yang menjadi unsur pokok pembentuk manusia itu sendiri. Manusia terdiri dari 2 unsur pokok yang bersifat materil dan non-materil/rohani. Materil ini dapat diartikan dengan fisik manusia atau hal-hal yang dapat dilihat nyata. Sedangkan non-materil/rohani itu dapat diartikan sebagai jiwa yang mengatur semua aktvitas manusia dan jiwa ini tidak dapat dilihat oleh mata akan tetapi semua manusia merasakan keberadaannya.
Dalam hal ini Immanuel Kant mengatakan bahwa hanya manusialah tujuan pada dirinya, dan bukan semata-mata alat atau sarana yang boleh diperlakukan sewenang-wenang. Di dalam segala tindakan manusia baik yang ditujukan kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain, manusia harus dipandang serentak sebagai tujuan. Bagi Kant, manusialah aktor yang mengkonstruksi dunianya sendiri. Melalui a priori formal, jiwa manusia mengatur data kasar pengalaman (pengindraan) dan kemudian membangun ilmu-ilmu matematika dan fisika. Melalui kehendak yang otonomlah jiwa membangun moralitas. Sedangkan Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany mengatakan bahwa manusia adalah mahluk yang paling mulia, manusia adalah mahluk yang berfikir, dan manusia adalah mahluk yang memiliki 3 dimensi (badan, akal, dan ruh), manusia dalam pertumbuhannya dipengaruhi faktor keturunan dan lingkungan. Dan Erbe Sentanu mengatakan bahwa manusia adalah mahluk sebaik-baiknya ciptaan-Nya. Bahkan bisa dibilang manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibandingkan dengan mahluk yang lain.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki derajat tertinggi dibandingkan, makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya. Ini disebabkan karena manusia memiliki kelebihan yang tidak dimiliki makhluk lainnya, yaitu akal budi. Manusia memiliki kecerdasan untuk berpikir. Sehingga manusia dapat membedakan hal yang baik maupun yang tidak. Oleh sebab itulah, manusia digolongkan sebagai Homo Sapiens, dari bahasa latin yang berarti manusia yang tahu. Spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Sedangkan secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti berpikir, berakal budi dan makhluk yang berasal budi. Penggolongan manusia yang paling utama adalah berdasarkan jenis kelaminnya, yang dibedakan menjadi dua, yaitu: laki-laki dan perempuan.
 Adapun dasar manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan kedudukan sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk individu mempunyai sifat-sifat individu khas yang berbeda dengan manusia lainnya.  Manusia berbeda dengan manusia lainnya.  Manusia sebagai individu bersifat nyata, yaitu mereka berupaya untuk selalu merealisasikan kepentingan, kebutuhan, dan potensi pribadi yang dimilikinya. Hal tersebut akan terus menerus berkembang menyesuaikan dengan perkembangan kehidupan yang dialaminya dan pertumbuhan yang ada pada dirinya.  Setiap manusia senantiasa akan berusaha mengembangkan kemampuan pribadinya guna memenuhi berbagai kebutuhan dan mempertahankan hidupnya.
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial, artinya makhluk yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain.  Setiap manusia normal memerlukan orang lain dan hidup bersama-sama dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kenyataan ini sesuai dengan pendapat Aristoteles, menyatakan bahwa manusia adalah zoom politicon, yang berarti selain sebagai makhluk individu, manusia juga termasuk dalam makhluk sosial yang harus berinteraksi dengan manusia lain.  Dengan semakin meningkat kebutuhan hidupnya, manusia membutuhkan orang lain untuk mendukung kehidupannya.  Pada perkembangan secara lebih luas dan kompleks, manusia membutuhkan tata masyarakat, lembaga-lembaga sosial, dan juga membutuhkan negara.
Dari apa yang telah saya jelaskan di atas, maka dapat saya simpulkan bahwa semua itu merupakan permasalahan dalam kehidupan manusia. Manusia selalu bertanya-tanya apa yang di harapannya, apa yang dapat ia ketahui, dan apa yang harus ia lakukan dan bahkan manusia itu bertanya tentang dirinya sendiri, ya siapa aku, karena manusia itu makhluk yang berbeda dengan makhluk lainnya. Dengan di bekalinya akal itu menjadikan manusia penasaran apa yang mendasari kehidupannya.
Daftar Pustaka
Anonim. Jenis-Jenis Etika. Diperoleh dari https://coffeestreet99.wordpress.com
Anonym. Pengertian Harapan. Diperoleh dari http://arti-definisi-pengertian.info
A. Wattimena, Reza A. 2016. Tentang Manusia. Yogyakarta: Maharsa
Aziz, Abdul. 2015. Pengertian Manusia. diperoleh dari https://abdulaziz96.wordpress.com
Farkhatunnisa. Filsafat Manusia Menjawab Tentang Esensi Manusia. diperoleh dari http://www.kompasiana.com
Kartika, Thamara. 2016. Pemikiran Immanuel Kant. Diperoleh dari http://thamarakartika.blogspot.co.id
Wikipedia. Harapan. Diperoleh dari https://id.m.wikipedia.org
Wikipedia. Manusia. Diperoleh dari http://id.wikipedia.org