Immanuel Kant adalah filsuf modern yang paling berpengaruh
setelah Aristoteles. Pemikirannya yang analisis dan tajam memasang patok-patok
yang mau tak mau menjadi acuan bagi segenap pemikiran filosofis kemudian,
terutama dalam bidang epistimologi, metafisika dan etika. Kant dilahirkan di
Konigsberg, rusia. Pada usia delapan tahun kant menjadi murid di gymnasium.
Pada tahun 1740 kant meninggalkan gymnasium dan melanjutkan studinya tentang
teologi di universits Konigsberg. Namun perhatiannya justru tercurah pada
filsafat, ilmu pasti dan fisika.
Setelah belajar filsafat, fisika dan ilmu pasti, kemudian
ia menjadi guru besar dalam ilmu logika dan metafisika, juga di Konigsbergen.
Hidupnya dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pra-kritis dan tahap
kritis, dengan kira-kira tahun 1770 sebagai garis perbatasannya, yaitu ketika
ia menerima jabatan guru besar. Sejak itu ia menyodorkan filsafatnya kepada
dunia dengan penuh kepastian, sedang sebelumnya masih terdapat perubahan
perubahan dalam tulisan tulisannya. Karya besar Kant diantaranya adalah; Critique of Pure Reason ( 1781 ), Critique of Practical Reason ( 1788 ), dan Critique of Judgement ( 1790 ).
Filsafat menurut Immanuel
Kant adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala
pengetahuan yang di dalamnya tercakup empat persoalan:
1) apakah yang dapat
kita kerjakan (jawabannya metafisika)
2)apakah yang
seharusnya kita kerjakan (etika)
3) sampai di manakah
harapan kita (agama)
4) apakah yang dinamakan manusia (antropologi).
Filsafat tidak lain dari
pengetahuan tentang segala yang ada (Plato). Filsafat adalah ilmu (pengetahuan)
meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, retorika,
etika, ekonomi, politik, dan estetika (Aristoteles).
A.
Epistemologi (Filsafat Pengetahuan)
Epistemologi atau teori
pengetahuan berhubungan dengan hakikat ilmu pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia yang
diperoleh melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya;
metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan
metode dialektis.
Dalam proses berpikir, Kant
berpendapat bahwa kondisi tertentu dalam pikiran manusia ikut menentukan
konsepsi. Apa yang dilihat dianggap sebagai fenomena dalam ruang dan waktu yang
disebut bentuk intuisi, mendahului setiap pengalaman. Menurut pendapat Kant
bahwa obyek mengarahkan diri ke subyek. Berbedahalnya dengan filsuf yang lain
yang berbendapat bahwa subyek mengarahkan diri ke obyek. Pengetahuan manusia
muncul dari dua sumber utama yaitu penerimaan kesan-kesan inderawi
(sensibility) dan pemahaman (understanding) yang membuat keputusan-keputusan
tentang kesan-kesan inderawi yang diperoleh melalui proses penerimaan. Kedua
sumber tesebut saling membutuhkan dalam rangka mencapai suatu pengetahuan. Penerimaan
bertugas menerima kesan-kesan yang masuk dan menatanya dengan pengetahuan a
apriori intuisi ruang dan waktu. Sedangakan pemahaman bertugas untuk menyatukan
dan mensintesakan pengalaman-pengalaman yang telah diterima dan selanjutnya
diputuskan.
Untuk pengambilan
keputusan itu Kant terlebih dahulu membedakan tiga macam pengetahuan atau
keputusan yaitu: pertama, keputusan
analitis a priori yang
menempatkan predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah
termuat di dalamnya (misalnya, setiap benda menempati ruang). Kedua, keputusan
sintesis aposteriori dengan
predikat dihubungkan subjek berdasarkan pengalaman inderawi, karma dinyatakan
setelah mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah
diketahui.Misalnya meja itu bagus. Ketiga, keputusan apriori menggunakan
sumber pengetahuan yang bersifat sintesis tetapi bersifat apriori juga.
Misalnya keputusan “segala kejadian mempunyai sebabnya”. Ilmu eksakta,
mekanika, dan ilmu pengetahuan alam disusun atas putusan sintesis
bersifat a priori.
Pengetahuan merupakan sintesa
dari unsur-unsur yang ada sebelum pengalaman yaitu unsur-unsur apriori dengan
unsur-unsur yang ada setelah pengalaman yaitu unsur-unsur aposteriori. Proses
sintesis ini terjadi dalam tiga tahap yaitu :
1)
Pencerapan indrawi (sinneswahrehmung) Menurut
Kant penerapan inderawi adalah tingkat pengetahuan manusia pertama dan
terendah. Data-data inderawi harus di buktikan dulu dengan 12 kategori, baru
dapat di putuskan. Demikian proses kritisisme rasionalisme ala Immanuel Kant.
Metodologi ini kemudian dikenal dengan metode induksi, dari partikular
data-data terkecil baru mencapai kesimpulan universal. Menurut Immanuel Kant,
manusia sudah mendapatkan dua belas kategori tersebut sejak lahir. Teori ini
terinspirasi dari ide Plato. Immanuel Kant beranggapan bahwa data inderawi
manusia hanya bisa menentukan fenomena saja. Fenomena adalah sesuatu yang
tampak, hanya memperlihatkan fisiknya saja.
2)
Akal budi (verstand) Tugas
akal budi adalah menyusun dan menghubungkan data-data inderawi, sehingga
menghasilkan keputusan-keputusan. Pengetahuan akal budi baru diperoleh ketika
terjadi sintesis antara pengalaman inderawi dengan bentuk-bentuk a priori yang disebut dengan kategori. Dalam
menerapkan kategori-kategori ini, akal budi bekerja sedemikian rupa sehingga
kategori-kategori itu hanya cocok dengan data-data yang dikenainya saja.
Melalui kategori, Kant seperti menjelaskan sahnya ilmu pengetahuan alam.
3)
Intelek atau
rasio (versnunft). Menurut
Kant intelekt atau rasio (versnunft) adalah
kemampuan asasi (principien) yang menciptakan pengertian-pengertian murni dan
mutlak karena rasio memasukkan pengetahuan khusus ke dalam pengetahuan yang
bersifat umum. Tugas intelek adalah menarik kesimpulan dari
pernyataan-pernyataan pada tingkat di bawahnya yakni akal budi (verstand) dan tingkat pengalaman inderawi (senneswahnehmung).
Rasio berbeda dengan akal
budi. Rasio (versnunft) menghasilkan ide-ide transcendental. Akal budi
berkaitan dengan penampakan. Rasio menerima konsep-konsep dan putusan akal budi
menemukan kesatuan (Kant, 1990). Dalam dialektika transendental Kant menyebut
tiga ide rasio murni atau idea transendental yakni idea psikis (jiwa), idea
kosmologis (dunia), dan idea teologis (Tuhan). Ide jiwa menyatakan dan
mendasari segala gejala batiniah (psikis), ide dunia menyatakan gejala jasmani,
dan ide Tuhan mendasari semua gejala, baik yang bersifat jasmani maupun rohani
(psikis) (Kant, 1990).
Dalam Kritik der Pratischen
Vernunft (1788) atau Kritik atas Rasio Praktis Kant menyatakan
bahwa rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan. Sehingga rasio
disebut sebagai rasio teoretis atau rasio murni. Selain rasio murni, ada
rasio praktis yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan atau
rasio yang memberikan perintah kepada kehendak manusia. Kant beranggapan bahwa
ada tiga hal yang harus diandaikan supaya tingkah laku manusia tidak menjadi
mustahil. Kant meyebut tiga hal tersebut sebagai postulat rasio praktis
yaitu 1) Free will yakni kehendak yang bebas; 2)
Keabadian jiwa yaitu immortalitas jiwa yang menjelaskan bahwa manusia secara
fisik mati, tetapi jiwa tak pernah mati. Sehingga ide bersifat abstrak dan
posisinya di atas segala sesuatu yang ada di dunia. 3) Tuhan.
B.
Kritisisme
Perjalanan Kant hingga
menemukan kritisisme dibagi dalam dua fase: tahap pra kritis dan kritis dengan
tahun 1770 sebagai batasnya ketika Kant menjabat sebagai guru besar filsafat
(Hadiwijono, 1980:64). Namun, sumber lain mengatakan masa pra kritis adalah
sebelum Kant bertemu dengan David Hume. Immanuel Kant mengatakan bahwa Hume
adalah pihak yang membangunkan ia dari kelelapan sejenak yang diliputi
dogmatism (Delfaauw, 1992:120).
Kritisisme dapat disebut
sebagai sintesa rasionalisme dan empirisme yang secara prinsip dituangkan Kant
dalam buku Critique of Pure Reason. Rasionalisme
dan empirisme mempunyai pengaruh besar filsafat modern (1500-1900).
Pengandaian-pengandaian terhadap sistem pengetahuan tidak bisa begitu saja
terlepas dari dua aliran ini yang saling bertentangan. Pertentangan dan
perdebatan antara kedua aliran ini yang disebut antinomy berusaha
didamaikan Kant.
Rasionalisme mempunyai
kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme,
dalam hal bahwa keduanya bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi
diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul.
Namun demikian ada perbedaan antara keduanya. Rasionalisme modern hanya
mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme kontinental René Descartes.
Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan rasionalisme modern
terhadap sains yang mengandalkan percobaan dan
pengamatan, suatu hal yang ditentang rasionalisme kontinental. Menurut Kant
rasionalisme mengutamakan unsur-unsur apriori dalam pengenalan yakni
unsur-unsur yang yang terlepas dari semua pengalaman seperti ide-ide bawaan
Descrates.
Empirisme menolak anggapan
bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika lahir. Pernyataan
ilmiah harus berdasarkan pengamatan atau pengalaman. Hipotesa ilmiah
dikembangkan dan diuji dengan metode empiris, melalui berbagai pengamatan dan
eksperimen yang harus dapat diulang dan menghasilkan secara konsisten untuk
mengembangkan teori yang bertujuan menjelaskan fenomena alam. Empirisme
menekankan unsur-unsur aposteriori yakni unsur-unsur yang berasal dari
pengalaman seperti Locke yang menganggap rasio as a white paper. Empirisme lahir di Inggris.
Tokohnya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke.
Kant mengkritik empirisme
harus dilandasi dengan teori-teori rasionalisme sebelum di anggap sah melalui
epistomologi. Karena Kant menganggap empirisme (pengalaman) itu bersifat
relatif bila tanpa ada landasan teorinya. Misalnya air akan mendidih jika
dipanaskan berlaku di daerah tropis. Tetapi jika di daerah kutub bersuhu di
bawah 0 derajat, air yang dipanaskan tidak akan mendidih karena air akan
menjadi dingin. Kant beranggapan bahwa kaum empiris memberikan tekanan terlalu
besar pada pengalaman inderawi. Padahal data inderawi harus dibuktikan atau
dicek dengan 12 kategori ‘apriori’ rasio, setelah itu baru bisa dinyatakan sah.
Kant juga mengkritik kaum
rasionalis melangkah terlalu jauh dengan pernyataan mereka tentang
seberapa banyak akal dapat memberikan sumbangan. Baik rasionalisme maupun empirisme, kata Kant,
keduanya berat sebelah. Kant beranggapan bahwa rasionalisme dan empirisme
sama-sama benar separuh, tetapi juga sama-sama salah separuh. Jadi, baik
‘indera’ maupun ‘akal’ sama-sama memainkan peranan dalam konsepsi kita mengenai
dunia (Gaarder, 1999).
Posisi empirisme dan
rasionalisme yang menurut Immanuel Kant berat sebelah kemudian berusaha
diseimbangkan dengan menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan gabungan
antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori (Scruton, 1997).
Kritisisme Kant menggabungkan dunia ide Plato ‘apriori’ dengan pengalaman yang
bersifat ‘aposteriori’. Apriori artinya sebelum dibuktikan, kita sudah percaya
misalnya Tuhan. Meski mengkritik sekaligus menggabungkan rasionalisme dan
empirisme, beberapa ilmuwan melihat Kant lebih rasional. Hal itu terlihat pada
tiga postulat dalam kritik atas rasio praktis.
C.
Metafisika
Metafisika
adalah studi keberadaan atau realitas.
Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari
suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta?
Cabang utama metafisika adalah ontologi,
studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan
lainnya. Tokoh filsuf empirisme David Hume menghancurkan segala kemungkinan
munculnya kembali sistem metafisika yang mengklaim kemampuan rasio (akal)
manusia mencapai realitas sesungguhnya. Hume hanya mau bersandar pada apa yang
bisa diamati melalui inderawi. Kritik pedas Hume pada metafisika membangunkan
Kant dari tidur dogmatisnya (Kant, 1997). Dari Hume, Kant menyadari bahwa
disiplin metafisika telah melalaikan keterbatasan pengetahuan manusia dalam
memahami realitas sesungguhnya. Pemikiran Hume dan Kant meminjam istilah
posmodernisme, disebut narasi besar yakni ingin mempertanyakan kembali wacana
wacana metafisik yang selalu bergulat. Gagasan metafisis tentang Tuhan, esensi,
substansi, hakiki, ruh sulit diterima karena bersifat apriori.
Berbeda
dengan Hume yang menolak metafisika, Kant mempertanyakan metafisika untuk
merekonstruksi metafisika yang sudah ada. Ia membuang metafisika tradisional
yang diwariskan Aristoteles (filsuf Yunani) dan Thomas (filsuf skolastik)
dengan eviden sebagai dasarnya. Eviden yang dimaksud Kant adalah dualisme
kritisisme yang ekstrem yakni pengetahuan dan kenyataan yang terpisah oleh
jurang yang tidak dapat diseberangi. Metafisika tradisional menganggap Tuhan
sebagai causa prima (penyebab
pertama dari segala sesuatu). Asumsi ini ditolak Kant. Menurutnya Tuhan
bukanlah obyek pengalaman dengan kategori kausalitas pada tingkat akal budi
(verstand), melainkan ada pada bidang atau pandangan yang melampaui akal budi,
yakni bidang rasio (vernunft).
Bagi Kant,
pembuktian Tuhan sebagai causa prima tidak bisa diterima. Ada tidaknya Tuhan
mustahil dibuktikan. Tuhan ditempatkan Kant sebagai postulat bagi tindakan
moral pada rasio praktis. Langkah awal Kant dalam merekonstruksi metafisika
adalah mengungkapkan dua keputusan yakni sintetik dan analitik seperti dimuat
dalam Critique
of Pure Reason (Kritik Rasio Murni). Keputusan sintetik
adalah keputusan dengan predikat tidak ada dalam konsep subyek yang artinya
menambahkan sesuatu yang baru pada subyek (Adian, 2000). Keputusan analitik
adalah keputusan dengan predikat terkandung dalam subyek. Misalnya proposisi
semua tubuh berkeluasan. Predikat berkeluasan sudah terkandung dalam semua
tubuh (Adian, 2000). Menurut Kant, dalam metafisika tidak terdapat
pernyataan-pernyataan sintetik a prioriseperti yang ada di dalam matematika, fisika
dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fakta empiris. Kant menamakan
metafisika sebagai “ilusi transenden” (a transcendental illusion). Menurut
Kant, pernyataan-pernyataan metafisika tidak memiliki nilai epistemologis.
D.
Etika (Filsafat
Moral)
Etika diperlukan untuk
mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan manusia. Secara metodologis, etika
memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi.
Sehingga etika merupakan suatu ilmu dengan objeknya adalah tingkah laku manusia
dengan sudut pandang normatif. Pemikiran berhubungan dengan moralitas sebelum
Kant dicari dalam tatanan alam (Stoa, Spinoza), hukum kodrat (Thomas Aquinas),
hasrat mencapai kebahagiaan (filsafat pra Kant), pengalaman nikmat atau hedon
(Epikuros), perasaan moral (David Hume), kehendak Tuhan (Agustinus, Thomas
Aquinas). Filsafat moral Kant menyatakan kesadaran moral merupakan fakta yang
tidak dapat dibantah meskipun bukan obyek inderawi, namun membuka kenyataan
bidang realitas adi inderawi. Sehingga satu-satunya cara untuk klaim moralitas
atas keabsahan universal melalui subyek itu sendiri.
Karya Kant tentang filsafat
moral antara lain The Foundations of the Methaphysics of Morals (1785),
Critique of Practical Reason (1788), dan Metaphysics of Morals (1797). Dua buku
pertama meletakkan etika dasar etika. Metafisika moral menguraikan norma dan
keutamaan moral. Kant mengembangkan prinsip etika dari paham akal budi praktis.
Kant mengandaikan baik bukan hanya dari beberapa segi, tetapi baik secara
mutlak. Menurut Kant, yang baik tanpa pembatasan sama sekali adalah kehendak
baik. Kehendak baik selalu baik dan dalam kebaikannya tidak tergantung pada
sesuatu di luarnya (otonom). Orang berkehendak baik karena menguntungkan,
tergerak oleh perasaan belas kasih, memenuhi kewajiban demi kewajiban. Kehendak
baik karena memenuhi kewajiban demi kewajiban disebut Kant sebagai moralitas. Pengukuran
moralitas menurut Kant bukan pada hasil. Karena perbuatan baik tidak
membuktikan kehendak baik. Tetapi pada kehendak pelaku apakah ditentukan oleh
kenyataan bahwa perbuatan itu kewajibannya. Kant selalu merasa bahwa perbedaan
antara benar dan salah adalah masalah akal, bukan perasaan (Gaarder, 1999).
Teori moralitas Kant disebut Imperatif Kategoris.
Imperatif kategoris
Merupakan teori yang
diciptakan Kant dengan penekanan kepada otonomi individu dalam mengambil
keputusan moral. Imperatif kategoris merupakan suatu panduan untuk menguji
apakah suatu tindakan dapat disebut bermoral atau tidak. Suatu prinsip bisa
dikatakan sebagai imperatif kategoris jika prinsip itu sudah melewati pengujian
yang dilakukan imperatif kategoris. Kita harus mengandaikan bahwa prinsip atau
maksud tindakan kita dapat dijadikan menjadi hukum universal sehingga semua
orang dapat bertindak sesuai dengan prinsip tersebut. Dengan demikian, kita
harus mengandaikan bahwa prinsip yang dipakai dapat digunakan sebagai
hukum universal, bagi siapapun seolah olah tidak ada alternatif lain. Imperatif
kategoris ini terlihat berseberangan dengan egoisme psikologis.
Egoisme Psikologis
Teori
egoisme psikologis menyatakan bahwa manusia selalu bertindak sesuai dengan
kepentingan diri (self interest) dan tidak mungkin bisa lepas dari
kepentingan diri. Bahkan ketika tindakan itu ditujukan untuk orang lain,
sebenarnya dilakukan untuk dirinya sendiri. Egoisme psikologis berusaha
membantu manusia menyadari bahwa seseorang melakukan tindakan yang tampaknya
tidak mempedulikan kepentingannya sendiri, tetapi sebenarnya ia bertindak
karena didorong oleh kepentingan diri dia sendiri. Sehingga, bisa ditarik
kesimpulan tidak ada tindakan manusia yang sepenuhnya terlepas dari kepentingan
dirinya sendiri.
Kritik
terhadap egoisme psikologis. Pertama, orang
bertindak sesuai dengan apa yang paling diinginkan tidak lagi merupakan
hipotesis empiris yang bisa dinilai benar atau salah. Kedua, kritik
logis. Fakta bahwa manusia selalu melakukan hal yang paling diinginkan
tidak selalu berarti bertindak egois dan tidak pernah bisa melakukan
tindakan moral.
Daftar
Pustaka
Shomari. Latief. 2012. Pemikiran
Immanuel Kant. http://lalerimut.blogspot.co.id
Sutardjoh. Susan. _____ Immanuel Kant. https://susansutardjo.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar