Jumat, 21 Oktober 2016

Persoalan Filsafat Menurut Immanuel Kant



Immanuel Kant adalah filsuf modern yang paling berpengaruh setelah Aristoteles. Pemikirannya yang analisis dan tajam memasang patok-patok yang mau tak mau menjadi acuan bagi segenap pemikiran filosofis kemudian, terutama dalam bidang epistimologi, metafisika dan etika. Kant dilahirkan di Konigsberg, rusia. Pada usia delapan tahun kant menjadi murid di gymnasium. Pada tahun 1740 kant meninggalkan gymnasium dan melanjutkan studinya tentang teologi di universits Konigsberg. Namun perhatiannya justru tercurah pada filsafat, ilmu pasti dan fisika.
Setelah belajar filsafat, fisika dan ilmu pasti, kemudian ia menjadi guru besar dalam ilmu logika dan metafisika, juga di Konigsbergen. Hidupnya dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pra-kritis dan tahap kritis, dengan kira-kira tahun 1770 sebagai garis perbatasannya, yaitu ketika ia menerima jabatan guru besar. Sejak itu ia menyodorkan filsafatnya kepada dunia dengan penuh kepastian, sedang sebelumnya masih terdapat perubahan perubahan dalam tulisan tulisannya. Karya besar Kant diantaranya adalah; Critique of Pure Reason ( 1781 ), Critique of Practical Reason ( 1788 ), dan Critique of Judgement ( 1790 ).
Filsafat menurut Immanuel Kant adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang di dalamnya tercakup empat persoalan:
 1) apakah yang dapat kita kerjakan (jawabannya metafisika)
 2)apakah yang seharusnya kita kerjakan (etika)
 3) sampai di manakah harapan kita (agama)
4) apakah yang dinamakan manusia (antropologi).
Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada (Plato). Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (Aristoteles).
A.    Epistemologi (Filsafat Pengetahuan)
Epistemologi atau teori pengetahuan berhubungan dengan hakikat ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia yang diperoleh melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Dalam proses berpikir, Kant berpendapat bahwa kondisi tertentu dalam pikiran manusia ikut menentukan konsepsi. Apa yang dilihat dianggap sebagai fenomena dalam ruang dan waktu yang disebut bentuk intuisi, mendahului setiap pengalaman. Menurut pendapat Kant bahwa obyek mengarahkan diri ke subyek. Berbedahalnya dengan filsuf yang lain yang berbendapat bahwa subyek mengarahkan diri ke obyek. Pengetahuan manusia muncul dari dua sumber utama yaitu penerimaan kesan-kesan inderawi (sensibility) dan pemahaman (understanding) yang membuat keputusan-keputusan tentang kesan-kesan inderawi yang diperoleh melalui proses penerimaan. Kedua sumber tesebut saling membutuhkan dalam rangka mencapai suatu pengetahuan. Penerimaan bertugas menerima kesan-kesan yang masuk dan menatanya dengan pengetahuan a apriori intuisi ruang dan waktu. Sedangakan pemahaman bertugas untuk menyatukan dan mensintesakan pengalaman-pengalaman yang telah diterima dan selanjutnya diputuskan.
Untuk  pengambilan keputusan itu Kant terlebih dahulu membedakan tiga macam pengetahuan atau keputusan yaitu: pertama, keputusan analitis a priori yang menempatkan predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (misalnya, setiap benda menempati ruang). Kedua, keputusan sintesis aposteriori dengan predikat dihubungkan subjek berdasarkan pengalaman inderawi, karma dinyatakan setelah mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui.Misalnya meja itu bagus. Ketiga, keputusan apriori menggunakan sumber pengetahuan yang bersifat sintesis tetapi bersifat apriori juga. Misalnya keputusan “segala kejadian mempunyai sebabnya”. Ilmu eksakta, mekanika, dan ilmu pengetahuan alam disusun  atas putusan sintesis bersifat a priori.
Pengetahuan merupakan sintesa dari unsur-unsur yang ada sebelum pengalaman yaitu unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur yang ada setelah pengalaman yaitu unsur-unsur aposteriori. Proses sintesis ini terjadi dalam tiga tahap yaitu :
1)         Pencerapan indrawi (sinneswahrehmung) Menurut Kant penerapan inderawi adalah tingkat pengetahuan manusia pertama dan terendah. Data-data inderawi harus di buktikan dulu dengan 12 kategori, baru dapat di putuskan. Demikian proses kritisisme rasionalisme ala Immanuel Kant. Metodologi ini kemudian dikenal dengan metode induksi, dari partikular data-data terkecil baru mencapai kesimpulan universal. Menurut Immanuel Kant, manusia sudah mendapatkan dua belas kategori tersebut sejak lahir. Teori ini terinspirasi dari ide Plato. Immanuel Kant beranggapan bahwa data inderawi manusia hanya bisa menentukan fenomena saja. Fenomena adalah sesuatu yang tampak, hanya memperlihatkan fisiknya saja.
2)         Akal budi (verstand) Tugas akal budi adalah menyusun dan menghubungkan data-data inderawi, sehingga menghasilkan keputusan-keputusan. Pengetahuan akal budi baru diperoleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman inderawi dengan bentuk-bentuk a priori yang disebut dengan kategori. Dalam menerapkan kategori-kategori ini, akal budi bekerja sedemikian rupa sehingga kategori-kategori itu hanya cocok dengan data-data yang dikenainya saja. Melalui kategori, Kant seperti menjelaskan sahnya ilmu pengetahuan alam.
3)          Intelek atau rasio (versnunft). Menurut Kant intelekt atau rasio (versnunft) adalah kemampuan asasi (principien) yang menciptakan pengertian-pengertian murni dan mutlak karena rasio memasukkan pengetahuan khusus ke dalam pengetahuan yang bersifat umum. Tugas intelek adalah menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan pada tingkat di bawahnya yakni akal budi (verstand) dan tingkat pengalaman inderawi (senneswahnehmung).
Rasio berbeda dengan akal budi. Rasio (versnunft) menghasilkan ide-ide transcendental. Akal budi berkaitan dengan penampakan. Rasio menerima konsep-konsep dan putusan akal budi menemukan kesatuan (Kant, 1990). Dalam dialektika transendental Kant menyebut tiga ide rasio murni atau idea transendental yakni idea psikis (jiwa), idea kosmologis (dunia), dan idea teologis (Tuhan). Ide jiwa menyatakan dan mendasari segala gejala batiniah (psikis), ide dunia menyatakan gejala jasmani, dan ide Tuhan mendasari semua gejala, baik yang bersifat jasmani maupun rohani (psikis) (Kant, 1990).
Dalam Kritik der Pratischen Vernunft (1788)  atau  Kritik atas Rasio Praktis Kant menyatakan bahwa rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan.  Sehingga  rasio disebut sebagai rasio teoretis  atau rasio murni. Selain rasio murni, ada rasio praktis yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan atau rasio yang memberikan perintah kepada kehendak manusia. Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus diandaikan supaya tingkah laku manusia tidak menjadi mustahil. Kant meyebut tiga hal tersebut sebagai postulat rasio praktis yaitu 1) Free will yakni kehendak yang bebas; 2) Keabadian jiwa yaitu immortalitas jiwa yang menjelaskan bahwa manusia secara fisik mati, tetapi jiwa tak pernah mati. Sehingga ide bersifat abstrak dan posisinya di atas segala sesuatu yang ada di dunia. 3) Tuhan.
B.     Kritisisme
Perjalanan Kant hingga menemukan kritisisme dibagi dalam dua fase: tahap pra kritis dan kritis dengan tahun 1770 sebagai batasnya ketika Kant menjabat sebagai guru besar filsafat (Hadiwijono, 1980:64). Namun, sumber lain mengatakan masa pra kritis adalah sebelum Kant bertemu dengan David Hume. Immanuel Kant mengatakan bahwa Hume adalah pihak yang membangunkan ia dari kelelapan sejenak yang diliputi dogmatism (Delfaauw, 1992:120).
Kritisisme dapat disebut sebagai sintesa rasionalisme dan empirisme yang secara prinsip dituangkan Kant dalam buku Critique of Pure Reason. Rasionalisme dan empirisme mempunyai pengaruh besar filsafat modern (1500-1900). Pengandaian-pengandaian terhadap sistem pengetahuan tidak bisa begitu saja terlepas dari dua aliran ini yang saling bertentangan. Pertentangan dan perdebatan antara kedua aliran ini yang disebut antinomy berusaha didamaikan Kant.
Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan  humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa keduanya bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul. Namun demikian ada perbedaan antara keduanya. Rasionalisme modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme kontinental RenĂ© Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan rasionalisme modern terhadap  sains yang mengandalkan percobaan dan pengamatan, suatu hal yang ditentang rasionalisme kontinental. Menurut Kant rasionalisme mengutamakan unsur-unsur apriori dalam pengenalan yakni unsur-unsur yang yang terlepas dari semua pengalaman seperti ide-ide bawaan Descrates.
Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika lahir. Pernyataan ilmiah harus berdasarkan pengamatan atau pengalaman. Hipotesa ilmiah dikembangkan dan diuji dengan metode empiris, melalui berbagai pengamatan dan eksperimen yang harus dapat diulang dan menghasilkan secara konsisten untuk mengembangkan teori yang bertujuan menjelaskan fenomena alam. Empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori yakni unsur-unsur yang berasal dari pengalaman seperti Locke yang menganggap rasio as a white paper. Empirisme lahir di Inggris. Tokohnya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke.
Kant mengkritik empirisme harus dilandasi dengan teori-teori rasionalisme sebelum di anggap sah melalui epistomologi. Karena Kant menganggap empirisme (pengalaman) itu bersifat relatif bila tanpa ada landasan teorinya. Misalnya air akan mendidih jika dipanaskan berlaku di daerah tropis. Tetapi jika di daerah kutub bersuhu di bawah 0 derajat, air yang dipanaskan tidak akan mendidih karena air akan menjadi dingin. Kant beranggapan bahwa kaum empiris memberikan tekanan terlalu besar pada pengalaman inderawi. Padahal data inderawi harus dibuktikan atau dicek dengan 12 kategori ‘apriori’ rasio, setelah itu baru bisa dinyatakan sah.
Kant juga mengkritik kaum rasionalis melangkah terlalu jauh dengan pernyataan mereka tentang seberapa banyak akal dapat memberikan sumbangan. Baik rasionalisme maupun empirisme, kata Kant, keduanya berat sebelah. Kant beranggapan bahwa rasionalisme dan empirisme sama-sama benar separuh, tetapi juga sama-sama salah separuh. Jadi, baik ‘indera’ maupun ‘akal’ sama-sama memainkan peranan dalam konsepsi kita mengenai dunia (Gaarder, 1999).
Posisi empirisme dan rasionalisme yang menurut Immanuel Kant berat sebelah kemudian berusaha diseimbangkan dengan menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan gabungan antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori (Scruton, 1997). Kritisisme Kant menggabungkan dunia ide Plato ‘apriori’ dengan pengalaman yang bersifat ‘aposteriori’. Apriori artinya sebelum dibuktikan, kita sudah percaya misalnya Tuhan. Meski mengkritik sekaligus menggabungkan rasionalisme dan empirisme, beberapa ilmuwan melihat Kant lebih rasional. Hal itu terlihat pada tiga postulat dalam kritik atas rasio praktis.
C.    Metafisika
Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta? Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Tokoh filsuf empirisme David Hume menghancurkan segala kemungkinan munculnya kembali sistem metafisika yang mengklaim kemampuan rasio (akal) manusia mencapai realitas sesungguhnya. Hume hanya mau bersandar pada apa yang bisa diamati melalui inderawi. Kritik pedas Hume pada metafisika membangunkan Kant dari tidur dogmatisnya (Kant, 1997). Dari Hume, Kant menyadari bahwa disiplin metafisika telah melalaikan keterbatasan pengetahuan manusia dalam memahami realitas sesungguhnya. Pemikiran Hume dan Kant meminjam istilah posmodernisme, disebut narasi besar yakni ingin mempertanyakan kembali wacana wacana metafisik yang selalu bergulat. Gagasan metafisis tentang Tuhan, esensi, substansi, hakiki, ruh sulit diterima karena bersifat apriori.
Berbeda dengan Hume yang menolak metafisika, Kant mempertanyakan metafisika untuk merekonstruksi metafisika yang sudah ada. Ia membuang metafisika tradisional yang diwariskan Aristoteles (filsuf Yunani) dan Thomas (filsuf skolastik) dengan eviden sebagai dasarnya. Eviden yang dimaksud Kant adalah dualisme kritisisme yang ekstrem yakni pengetahuan dan kenyataan yang terpisah oleh jurang yang tidak dapat diseberangi. Metafisika tradisional menganggap Tuhan sebagai causa prima (penyebab pertama dari segala sesuatu). Asumsi ini ditolak Kant. Menurutnya Tuhan bukanlah obyek pengalaman dengan kategori kausalitas pada tingkat akal budi (verstand), melainkan ada pada bidang atau pandangan yang melampaui akal budi, yakni bidang rasio (vernunft).
Bagi Kant, pembuktian Tuhan sebagai causa prima tidak bisa diterima. Ada tidaknya Tuhan mustahil dibuktikan. Tuhan ditempatkan Kant sebagai postulat bagi tindakan moral pada rasio praktis. Langkah awal Kant dalam merekonstruksi metafisika adalah mengungkapkan dua keputusan yakni sintetik dan analitik seperti dimuat dalam Critique of Pure Reason (Kritik Rasio Murni). Keputusan sintetik adalah keputusan dengan predikat tidak ada dalam konsep subyek yang artinya menambahkan sesuatu yang baru pada subyek (Adian, 2000). Keputusan analitik adalah keputusan dengan predikat terkandung dalam subyek. Misalnya proposisi semua tubuh berkeluasan. Predikat berkeluasan sudah terkandung dalam semua tubuh (Adian, 2000). Menurut Kant, dalam metafisika tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik a prioriseperti yang ada di dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fakta empiris.  Kant menamakan metafisika sebagai “ilusi transenden” (a transcendental illusion). Menurut Kant, pernyataan-pernyataan metafisika tidak memiliki nilai epistemologis.  

D.    Etika (Filsafat Moral)
Etika diperlukan untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan manusia. Secara metodologis, etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Sehingga etika merupakan suatu ilmu dengan objeknya adalah tingkah laku manusia dengan sudut pandang normatif. Pemikiran berhubungan dengan moralitas sebelum Kant dicari dalam tatanan alam (Stoa, Spinoza), hukum kodrat (Thomas Aquinas), hasrat mencapai kebahagiaan (filsafat pra Kant), pengalaman nikmat atau hedon (Epikuros), perasaan moral (David Hume), kehendak Tuhan (Agustinus, Thomas Aquinas). Filsafat moral Kant menyatakan kesadaran moral merupakan fakta yang tidak dapat dibantah meskipun bukan obyek inderawi, namun membuka kenyataan bidang realitas adi inderawi. Sehingga satu-satunya cara untuk klaim moralitas atas keabsahan universal melalui subyek itu sendiri.
Karya Kant tentang filsafat moral antara lain The Foundations of the Methaphysics of Morals (1785), Critique of Practical Reason (1788), dan Metaphysics of Morals (1797). Dua buku pertama meletakkan etika dasar etika. Metafisika moral menguraikan norma dan keutamaan moral. Kant mengembangkan prinsip etika dari paham akal budi praktis. Kant mengandaikan baik bukan hanya dari beberapa segi, tetapi baik secara mutlak. Menurut Kant, yang baik tanpa pembatasan sama sekali adalah kehendak baik. Kehendak baik selalu baik dan dalam kebaikannya tidak tergantung pada sesuatu di luarnya (otonom). Orang berkehendak baik karena menguntungkan, tergerak oleh perasaan belas kasih, memenuhi kewajiban demi kewajiban. Kehendak baik karena memenuhi kewajiban demi kewajiban disebut Kant sebagai moralitas. Pengukuran moralitas menurut Kant bukan pada hasil. Karena perbuatan baik tidak membuktikan kehendak baik. Tetapi pada kehendak pelaku apakah ditentukan oleh kenyataan bahwa perbuatan itu kewajibannya. Kant selalu merasa bahwa perbedaan antara benar dan salah adalah masalah akal, bukan perasaan (Gaarder, 1999). Teori moralitas Kant disebut Imperatif Kategoris.
Imperatif kategoris
Merupakan teori yang diciptakan Kant dengan penekanan kepada otonomi individu dalam mengambil keputusan moral. Imperatif kategoris merupakan suatu panduan untuk menguji apakah suatu tindakan dapat disebut bermoral atau tidak. Suatu prinsip bisa dikatakan sebagai imperatif kategoris jika prinsip itu sudah melewati pengujian yang dilakukan imperatif kategoris. Kita harus mengandaikan bahwa prinsip atau maksud tindakan kita dapat dijadikan menjadi hukum universal sehingga semua orang dapat bertindak sesuai dengan prinsip tersebut. Dengan demikian, kita harus mengandaikan bahwa prinsip yang dipakai  dapat digunakan sebagai hukum universal, bagi siapapun seolah olah tidak ada alternatif lain. Imperatif kategoris ini terlihat berseberangan dengan egoisme psikologis.
Egoisme Psikologis
Teori egoisme psikologis menyatakan bahwa manusia selalu bertindak sesuai dengan kepentingan diri (self interest) dan tidak mungkin bisa lepas dari kepentingan diri. Bahkan ketika tindakan itu ditujukan untuk orang lain, sebenarnya dilakukan untuk dirinya sendiri. Egoisme psikologis berusaha membantu manusia menyadari bahwa seseorang melakukan tindakan yang tampaknya tidak mempedulikan kepentingannya sendiri, tetapi sebenarnya ia bertindak karena didorong oleh kepentingan diri dia sendiri. Sehingga, bisa ditarik kesimpulan tidak ada tindakan manusia yang sepenuhnya terlepas dari kepentingan dirinya sendiri.
Kritik terhadap egoisme psikologis. Pertama, orang bertindak sesuai dengan apa yang paling diinginkan tidak lagi merupakan hipotesis empiris yang bisa dinilai benar atau salah. Kedua, kritik logis. Fakta bahwa manusia selalu melakukan hal yang paling diinginkan tidak selalu berarti bertindak egois dan tidak pernah bisa melakukan tindakan moral.
Daftar Pustaka
Shomari. Latief. 2012. Pemikiran Immanuel Kant. http://lalerimut.blogspot.co.id

Sutardjoh. Susan. _____ Immanuel Kant. https://susansutardjo.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar